Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Jumat, 06 Agustus 2010

Kasih Di Antara Remaja (Jilid 2)


“Hik hik,” Balita tertawa mengejek. “Kanda Cia Sun, kalau tidak ada aku, bukankah kau sudah menjadi mayat di tangan tiga orang anjing gundul tadi? Kanda Cia Sun, biarlah aku tinggal di rumahmu ini sebagai penjaga keselamatanmu.”

“Balita, kenapa kau masih saja menggangguku? Pergilah, aku lebih baik mati dari pada kau dekati!” Cia Sun menjawab marah.

Balita hendak memaki, sepasang matanya sudah mendelik, mukanya sudah menjadi merah sekali, akan tetapi tiba-tiba dari pintu depan muncul seorang wanita muda cantik menggendong anak kecil pula. Melihat wanita itu, tiba-tiba sikap Balita berubah. Ia pura-pura tidak melihat, akan tetapi lalu berkata dengan suara mohon dikasihani, “Kanda Cia Sun, kenapa kau begitu kejam kepadaku? Tidak ingatkah kau betapa selama tiga hari tiga malam kita saling mencinta sebagai suami isteri? Tidak ingatkah kau bahwa yang kugendong ini adalah anakmu? Ah, kanda Cia Sun ….. apakah kau tidak kasihan kepadaku dan anakmu ini …..?”

Cia Sun juga melihat betapa isterinya keluar dan menjadi pucat sekali mendengar dan melihat sikap Balita, malah isterinya lalu menangis dan sambil merintih lari lagi masuk ke dalam gedung.

“Siluman, jangan kau ngaco tidak karuan!” bentaknya.

Balita tertawa. Sikapnya berubah lagi setelah isteri Cia Sun masuk ke dalam.

“Hik hik hik! Cia Sun, kau tidak tahu bahayanya menyakiti hati seorang wanita. Baik, kau tunggulah saja pembalasanku. Hik hik hik!” Balita lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, cepat sekali seperti melayang dan sebentar saja lenyap di balik batu-batu putih yang mengelilingi puncak itu.

Cia Sun berdiri seperti patung. Hatinya gelisah sekali. Baginya sendiri, ia tidak takut menghadapi bahaya. Akan tetapi dalam ancaman Balita tadi terkandung sesuatu yang mengerikan. Bagaimana kalau iblis wanita itu mengganggu isteri dan anak-anaknya? Balita memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa dan ia tahu andaikata Balita menghendaki nyawanya, nyawa isteri dan anak-anaknya, dia sendiri tidak berdaya menolaknya. Tidak ada yang akan dapat menolongnya, demikian pikirnya dengan gelisah.

Tiba-tiba ia teringat akan seorang sakti yang masih terhitung susiok (paman guru) ayahnya. Orang sakti itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai (Raja Arak Pengemis Setan) bernama Tang Pok, seorang pengemis aneh yang telah diangkat menjadi kai-ong (raja pengemis) dari seluruh perkumpulan pengemis di daerah selatan. Untuk daerah selatan, boleh dibilang Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah orang sakti nomor satu yang jarang ada lawannya.

“Kalau saja susiok-couw sudi membantuku, tentu dia dapat mengusir Balita ……” Cia Sun berkata seorang diri sambil menarik napas panjang. Akan tetapi di mana dia bisa mencari susiok-couw itu? Tempat tinggal Ciu-ong Mo-kai tidak tentu, dia seorang perantau yang tidak pernah bertempat tinggal di suatu tempat. Muncul di sana sini dan wataknya amat aneh. Andaikata dapat ditemukannya juga, belum tentu sudi membantunya.

Kembali Cia Sun menarik napas panjang, kemudian ia teringat kepada isterinya. Tentu dia cemburu, pikirnya. Tentu dikiranya aku bermain gila dengan Balita sampai mempunyai anak yang tidak sah. Cia Sun tersenyum pahit. Balita telah melakukan pembalasan, biarpun hanya dengan menimbulkan kebakaran dalam rumah tangganya. Memang patut ia dihukum karena perbuatannya yang ia sendiri anggap tidak patut itu. Dengan perlahan ia lalu berjalan menuju ke pintu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras. Cepat ia membalikkan tubuh dan masih sempat melihat betapa sebuah batu putih yang besar telah hancur berkeping-keping. Kemudian di bekas tempat batu itu berdiri seorang tosu yang bertubuh tegap dan bersikap keren. Di punggung tosu itu terselip sebatang pedang. Entah dari mana datangnya tosu itu, dan sepasang matanya membuat Cia Sun terpaku di mana ia berdiri. Mata tosu itu bukan seperti mata manusia, bersinar-sinar menakutkan. Rambutnya digelung ke atas, jenggot dan kumisnya lebat. Sukar menaksir usianya, karena rambut dan brewoknya masih hitam, akan tetapi pada mukanya terbayang usia tua.

Karena terpesona oleh sinar mata yang luar biasa itu, Cia Sun sampai tak dapat mengeluarkan suara untuk menegur atau menyambut, hanya berdiri memandang. Ia seorang yang pemberani dan tabah, namun sinar mata itu benar-benar membuat hatinya berdebar. Di dalam sinar mata itu terkandung ancaman yang bahkan lebih mengerikan dari pada ancaman Balita.

Tosu itu membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang parau dan serak seperti suara burung gagak. “Bocah she Cia! Kau berikan surat wasiat Lie Cu Seng kepada pinto (aku)!”

Cia Sun tercengang. Sudah dua kali orang menyebut-nyebut tentang surat wasiat Lie Cu Seng yang sama sekali tidak mengerti di mana tempatnya.

“Totiang,” jawabnya sebal. “Aku benar-benar tidak tahu apa itu surat wasiat Lie Cu Seng.”

Tosu itu tidak berubah air mukanya, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia marah. “Bocah tidak tahu diri, kau kira sedang berhadapan dengan siapa berani membantah?” Setelah demikian, tosu itu menggerakkan tangan kiri ke depan perlahan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya Cia Sun ketika ia merasakan adanya dorongan yang tidak kelihatan, hawa pukulan yang bukan main kuatnya sehingga biarpun ia sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja ia terjatuh terjengkang! Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi manusia sehebat ini pukulan jarak jauhnya. Bahkan Balita sendiri kiranya tidak sekuat ini!

“Apa sekarang kau masih berani banyak membantah?” terdengar lagi tosu menyeramkan itu mendesak.

Cia Sun sudah merayap bangun, wajahnya pucat. Jarak antara dia dan tosu itu ada lima tombak jauhnya, namun dengan pukulan jarak jauh seenaknya saja tosu itu mampu merobohkannya. Benar-benar bukan lawannya. Akan tetapi kalau betul-betul dia tidak tahu menahu tentang surat wasiat itu, bagaimana?

“Totiang, aku benar-benar tidak tahu tentang surat wasiat yang totiang maksudkan itu …..”

Sepasang mata tosu itu mengeluarkan sinar yang membuat Cia Sun seakan-akan merasa dibelek dadanya dan dilongok isi hatinya. Kemudian tosu itu berkata lagi, “Tidak diberikan ya tidak apa. Rebahlah kau!” Kini tangan kirinya kembali didorongkan ke depan, tidak perlahan seperti tadi melainkan disentakkan.

Cia Sun hendak mengelak karena dapat menduga bahwa ia diserang secara hebat sekali, akan tetapi tiba-tiba saja tosu itu menarik kembali tangannya dan wajahnya memperlihatkan penasaran. Dari belakang rumah gedung itu berkelebat bayangan seorang pengemis jangkung kurus yang pakaiannya penuh tambalan, rambut dan jenggotnya awut-awutan dan memegang sebuah tempat arak. Hanya sekelebatan saja Cia Sun melihat bayangan ini yang tertawa terkekeh-kekeh, lalu lenyap kembali. Tosu itu juga berkelebat lenyap dan Cia Sun hanya mendengar suara tinggi kecil berkata mencela.

“Hoa Hoa Cinjin masih suka menggoda segala orang muda, lucu sekali!” Dalam ucapan ini terkandung ejekan berat.

Lalu terdengar suara parau si tosu tadi, “Pengemis iblis, kau mencari apa keliaran di sini?”

Suara-suara itu terdengar dari tempat jauh sekali, tanda bahwa dua orang aneh itu sudah pergi jauh, meninggalkan Cia Sun yang berdiri termangu-mangu. Itulah Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, pikirnya. Tak salah lagi. Ayahnya dulu pernah menggambarkan keadaan susiok-couwnya, seorang pengemis yang membawa tempat arak. Akan tetapi ia merasa kecewa sekali mengapa kakek itu tidak mau singgah di rumahnya. Betapapun juga ia dapat merasa bahwa munculnya kakek pengemis itu telah menolong nyawanya dari ancaman tosu yang bernama Hoa Hoa Cinjin.

Hoa Hoa Cinjin! Teringat akan nama ini tiba-tiba jalan darah di tubuh Cia Sun serasa membeku. Mengapa tadi ia lupa? Hoa Hoa Cinjin! Ah, siapa orangnya yang tidak pernah mendengar nama ini? Seorang saikong yang amat jahat, ditakuti seluruh orang kang-ouw, memiliki kepandaian yang jarang keduanya di kolong langit. Bagaimana orang seperti ini yang jarang dijumpai orang, tiba-tiba muncul di situ? Dan kemunculan Ciu-ong Mo-kai, apa pula artinya ini?

Cia Sun menarik napas panjang. Di dunia ini banyak sekali orang-orang sakti, pikirnya. Ia merasa dirinya kecil, lupa bahwa dia sendiri juga dianggap sebagai seorang pendekar yang sakti oleh puluhan ribu orang, karena tingkat kepandaian Cia Sun sebetulnya sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak sembarang orang dapat menandinginya.

****

Tepat seperti yang diduga oleh Cia Sun, isterinya menangis saja di dalam kamar tanpa mau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ia tahu betapa besar cinta isterinya kepadanya, dan tahu pula watak isterinya yang amat cemburu di samping cintanya. Tentu munculnya Balita tadi menusuk perasaannya dan membakar hatinya.

“Isteriku, jangan kau percaya obrolan wanita tadi. Dia itu seorang iblis betina,” Cia Sun menghibur isterinya.

“Kau manusia kejam …. ahh …. lebih baik aku mati saja ….” ratap nyonya Cia sambil menangis kemudian menutupi kepalanya dengan bantal, tidak mau lagi mendengarkan suaminya.

Percuma saja Cia Sun menghibur isterinya karena tidak didengarkan lagi. Sambil menghela napas duka Cia Sun mengangkat anak perempuannya yang menangis dan didiamkan ibunya, menimang-nimangnya sampai anak itu tertidur, hatinya berduka sekali.

Semua pelayan dalam rumah yang berjumlah tiga orang, yaitu dua orang pelayan laki-laki dan seorang pelayan wanita tua yang semenjak Cia Sun masih kecil telah menjadi pelayan Cia Hui Gan, merasa ketakutan dengan adanya peristiwa-peristiwa siang tadi. Dua orang pelayan laki-laki sudah bersembunyi di kamar belakang tidak berani keluar.

Pelayan wanita she Lui yang amat setia, dengan tubuh gemetar dan muka pucat menjaga di depan pintu kamar majikannya, mendengar tangis nyonyanya dan iapun ikut menangis. Siang tadi sambil bersembunyi ia melihat segala kejadian, melihat pula kedatangan wanita cantik dengan rambut riap-riapan yang menggendong anak. Sebagai seorang wanita yang sudah tua dan banyak pengalaman, ia dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu tuannya telah mempunyai anak di luar dan kini terjadi percekcokan antara tuan dan nyonyanya.

Malam itu amat menyeramkan bagi uwak Lui dan dua orang pelayan laki-laki. Malam gelap dan sunyi sekali, seakan-akan meramalkan datangnya malapetaka yang mengerikan. Uwak Lui yang berada di luar kamar akhirnya tertidur di atas lantai. Ia tidak merasa betapa angin malam bertiup perlahan mendatangkan hawa dingin sekali.

Tengah malam lewat, keadaan makin sunyi. Tiba-tiba uwak Lui terkejut karena kakinya ditarik-tarik Ketika ia membuka mata, ia melihat Lim-ong, monyet kecil itulah yang menarik-narik kakinya. Kemudian monyet itu meloncat dan melesat pergi, lenyap ditelan gelap. Akan tetapi uwak Lui tidak memperdulikannya lagi karena ia amat tertarik oleh suara-suara yang terdengar di saat itu.

Mula-mula terdengar suara wanita tertawa menyeramkan, suaranya terdengar dari dalam kamar majikannya. Hatinya tidak enak. Biarpun suara ketawa ini menimbulkan bulu badannya berdiri semua, dengan nekat ia membuka pintu kamar dan terhuyung-huyung masuk. Pelita di atas meja masih bernyala, mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan di dalam kamar yang setengah gelap itu.

Hampir saja uwak Lui terguling roboh pingsan ketika matanya yang tua melihat apa yang berada di kamar itu. Majikan perempuan, nyonya Cia telentang di atas ranjang mandi darah, lehernya hampir putus! Dan majikannya Cia Sun, menggeletak di lantai dekat ranjang, juga mandi darah dengan dada penuh luka-luka! Matanya yang kurang awas masih melihat berkelebatnya bayangan keluar jendela.

“Ya, Tuhan …….!” Suara ini hanya mengganjal tenggorokannya saja. Dengan mata terbelalak ia melangkah maju ke tempat tidur dua orang anak kecil yang berada di pojok kamar. Ia melihat Han Sin, anak laki-laki berusia dua tahun itu duduk di atas kasur menggosok-gosok matanya dan Bi Eng, bayi berusia tiga bulan itu mulai menangis. Cepat uwak Lui merahi bayi itu, digendongnya dengan tangan kiri dan memondong Han Sin dengan tangan kanan, lalu lari keluar tersaruk-saruk. Dari tenggorokannya keluarlah kini teriakan-teriakan menyayat hati.

“Tolong …..! Tolong …..! Ya, Tuhan …… tolonglah ……!” Ia membawa dua orang anak itu lari ke kamar belakang, menuju ke kamar belakang, menuju ke kamar dua orang pelayan laki-laki. Sampai disitu ia menggedor-gedor pintu, akan tetapi dua orang pelayan laki-laki itu saling peluk di kamar, tidak berani keluar!

Sambil menangis tidak karuan uwak Lui lalu tinggalkan kamar itu, lari ke kamarnya sendiri. Ia menurunkan Han Sin dan Bi Eng di atas tempat tidurnya. Dua orang anak itu mulai menangis dan uwak yang setia ini, sekarang sibuk menghibur dan menidur-nidurkan mereka.”

Ketika memandang kepada Bi Eng, hampir ia menjerit. Ini bukan Bi Eng! Bukan! Bukan bayi yang setiap hari ia gendong, bukan anak majikannya! Ia menoleh kepada Han Sin. Anak laki-laki itu memang betul Han Sin, putera sulung majikannya. Akan tetapi bayi perempuan ini, biarpun sebaya dengan Bi Eng, terang sekali bukan bayi perempuan majikannya! Uwak Lui bingung bukan main. Dari mana datangnya bayi perempuan yang juga amat montok dan mungil ini? Bayi ini mempunyai tanda kecil merah di bawah telinga sedangkan Bi Eng tidak. Di mana Bi Eng …..?

Uwak Lui teringat kembali kepada majikan-majikannya ketika dua orang anak itu sudah tertidur. Ia harus kembali ke kamar itu. Ia bergidik dan kembali dadanya sesak. Air matanya mengucur keluar. Tidak kuasa ia memandang isi kamar yang amat mengerikan itu. Akan tetapi, masa harus didiamkan saja? Dan siapa tahu, barangkali Bi Eng masih berada di kamar itu.

“Aduuuhh …….. Cia-siauwya ……. Cia-hujin …..” dengan air mata mengucur dan langkah terhuyung-huyung, nyonya tua yang amat setia dan sudah menganggap majikan-majikannya seperti anak-anaknya sendiri, menuju ke kamar maut tadi.

Hampir ia tidak kuat berdiri lagi ketika sudah memasuki kamar. Hampir ia tidak kuat menahan jerit tangisnya. Akan tetapi ia menguatkan hatinya dan matanya mulai mencari-cari, siapa tahu Bi Eng masih ketinggalan di situ. Akan tetapi tidak ada anak lain lagi. Sekarang baru ia menuju ke tempat tidur dan menubruk majikannya.

“Cia-hujin …..!” Tiba-tiba matanya terbellak. Penuh kengerian ia memandang muka nyonya Cia. Muka yang biasanya tersenyum ramah dan cantik itu kini telah rusak, pecah-pecah pipi dan keningnya. Ia terbelalak heran. Tadi ia tahu benar bahwa nyonyanya ini hanya terluka di lehernya saja, hampir putus. Akan tetapi mukanya tidak apa-apa. Kenapa sekarang menjadi rusak muka itu seperti ada orang yang datang lagi merusaknya?

Ia menengok ke arah tubuh Cia Sun yang menggeletak di lantai. Kembali ia terbelalak dan hampir menjerit. Matanya penuh ketakutan memandang ke sana ke mari, mencari-cari apakah di situ tidak ada orang lain. Benar-benar aneh dan mengerikan. Tadi Cia Sun menggeletak dengan baju penuh darah karena luka-luka di dada. Akan tetapi sekarang darah itu tidak kelihatan lagi karena tubuhnya telah tertutup oleh sehelai selimut yang aneh. Selimut indah dari sutera kuning, selimut yang belum pernah ia lihat sebelumnya! Saking herannya uwak Lui menghampiri mayat Cia Sun.

Benar saja selimut itu asing, jangankan di dalam rumah, malah selamanya ia belum pernah melihat selimut seperti itu. Corak dan warnanya aneh sekali, akan tetapi amat indahnya. Tak terasa lagi nyonya tua ini memegangi selimut itu, meraba-raba kainnya yang halus dan hangat.

Dengan selimut masih d tangan dan mulutnya sesambatan sambil menangis, tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari atas genteng! Suara tangis terisak-isak.

“Ah …. kanda Cia Sun …… kanda Cia Sun ……. kau tega tinggalkan aku ……!” Tangis itu makin tersedu-sedu dan uwak Lui dapat mengenal suara itu. Suara Balita. Siang tadi ia telah mendengar pula suara wanita cantik yang aneh itu.

Kemudian tangis terhenti dan berubah suara ketawa yang merdu sekali akan tetapi yang membuat uwak Lui menggigil seluruh tubuhnya. Ia teringat akan dua orang anak kecil yang ditinggalkan, maka saking khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang kurang baik, ia cepat berlari meninggalkan kamar majikannya, menuju ke kamarnya sendiri. Saking bingung, duka, takut, dan kaget, uwak Lui yang tua ini sampai lupa bahwa selimut kuning itu masih ia pegang dan terbawa olehnya ketika ia lari ke kamarnya.

Setelah tiba di kamar, ia cepat-cepat menjenguk Han Sin yang masih tidur di samping adiknya. Akan tetapi ketika ia memandang kepada bayi perempuan yang mempunyai tanda merah di dekat telinga, uwak ini menjerit dan selimut yang dipegangnya tadi jatuh ke atas lantai. Ia mundur dua tindak, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandangi wajah anak perempuan yang tidur nyenyak. Kemudian ia melangkah maju lagi untuk memandang lebih teliti.

Naik sedu sedan dari dada uwak itu. Wajahnya lebih pucat dari wajah mayat-mayat yang berada di kamar majikannya. Anak perempuan yang berada di situ ternyata telah berubah pula! Ini bukan anak yang ada tanda merah di dekat telinganya tadi. Anak ini juga perempuan juga sebaya, juga montok dan mungil, akan tetapi bukan Bi Eng juga bukan anak perempuan yang bertanda merah tadi! Heran, ajaib! Apakah yang terjadi? Tidak kuat uwak ini menghadapi semua ini.

“Siluman …..! Iblis …..! Tolong …. tolong ……!” Ia berlari sampai terjatuh-jatuh menuju ke kamar dua orang pelayan, dan kini ia menggedor terus pintu kamar pelayan-pelayan itu yang dengan tubuh menggigil membuka pintu dan mereka mendapatkan uwak Lui sudah terguling roboh di depan kaki mereka, pingsan!

****

Ketika pelayan-pelayan yang tiga orang itu mengurus jenazah Cia Sun dan isterinya pada tengah malam itu, mereka merasa ketakutan. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk, seperti orang-orang berjalan di dalam rumah dan meja kursi terbalik. Akan tetapi tidak kelihatan orangnya, hanya ada angin bersiutan yang beberapa kali membuat pelita padam. Dengan tangan menggigil pelayan-pelayan itu menyalakan kembali pelita tanpa berani melihat apakah yang menyebabkan datangnya suara-suara itu. Uwak Lui lalu memasang hio dan bersembahyang, mohon kepada Thian supaya melindungi mereka dan mengusir siluman-siluman itu!

Pada keesokan harinya suara-suara itu lenyap dan setelah terang barulah ketahuan bahwa rumah gedung itu telah digeledah dengan teliti sekali. Sampai-sampai kamar mandi diperiksa semua. Peti-peti dibuka, lemari-lemari dibongkar. Akan tetapi anehnya tidak ada barang yang hilang.

Seorang di antara pelayan laki-laki lalu lari ke bawah puncak, ke dusun terdekat untuk minta bantuan penduduk dusun. Karena nama Cia Sun sudah dikenal baik sebagai seorang dermawan dan sudah banyak pendekar ini menolong mereka, maka berduyun-duyun penduduk dusun itu datang untuk melayat dan membantu penguburan jenazah Cia Sun dan isterinya.

Uwak Lui diam-diam mengasuh Han Sin dan adiknya. Sama sekali ia tidak mau bicara tentang ditukarnya Bi Eng sampai dua kali, karena ia tahu bahwa kalau ia bicara tentang itu, tentu menimbulkan geger dan juga bagi dia sama saja apakah asuhannya itu benar-benar Bi Eng atau bukan. Anak kecil yang terakhir ditukarkan ini amat manis dan montok, sehat dan mungil tidak kalah oleh Bi Eng yang asli. Maka ia berjanji di dalam hati tidak akan membuka rahasia ini dan tetap menyebut anak kecil itu dengan nama Bi Eng.

Malam tadi tidak hanya terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat pada tiga orang pelayan itu. Juga di dalam hutan tak jauh dari puncak itu terjadi hal yang aneh. Kelihatan di dalam hutan itu Balita menggendong anak sambil sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar tertawa.

Tiba-tiba dari atas dahan pohon melompat seekor kera terus menyerangnya dan mencoba untuk merampas bayi yang dipondongnya, Monyet ini bukan lain adalah Lim-ong, monyet peliharaan Cia Sun yang memang biasanya suka bermalam di pohon-pohon. Serangan monyet ini bagi orang lain tentu ganas dan berbahaya. Akan tetapi tidak demikian terhadap Balita. Sekali saja wanita ini menggerakkan tangannya, tubuh monyet itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi! Setelah Balita pergi, baru monyet itu bergerak perlahan, mengerang dan merayap perlahan memasuki segerombolan pohon.

Di lain bagian dari hutan itu, Ang-jiu Toanio juga menggendong anaknya, berlari-lari. Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat sehingga hutan bagian itu seakan-akan tergetar. Kemudian munculah seekor harimau yang besar sekali, sikapnya galak, kulitnya loreng dan taringnya besar runcing. Di belakang harimau ini muncul pula seorang laki-laki tinggi gundul, telinganya pakai anting-anting, mukanya lucu, kepalanya yang gundul meruncing ke atas. Dilihat dari wajahnya, jelas bahwa dia bukan orang Han.

Baik harimau maupun orang aneh itu tidak memandang kepada Ang-jiu Toanio, melainkan kepada bayi yang digendongnya, nampaknya keduanya merasa mengilar sekali!

Ang-jiu Toanio adalah seorang berkepandaian tinggi yang tentu saja tidak takut melihat harimau itu, malah ia menjadi marah dan membentak keras, “Setan! Suruh pergi kucingmu itu sebelum kubikin mampus dia. Bikin kaget anakku saja.”

Akan tetapi orang gundul itu tertawa ha ha, he he, lalu bicara dengan suara bindeng (suara hidung), “Belikang anakmu padanya, dia lapang!”

Selain bindeng, juga bicaranya tidak jelas, tanda bahwa dia itu seorang asing.

Ang-jiu Toanio yang sudah banyak melakukan perantauan, mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang Mongol. Sebetulnya ia merasa geli mendengar suara yang bindeng itu, akan tetapi karena mendengar kata-kata yang minta anaknya untuk dijadikan mangsa macan itu, ia menjadi marah sekali dan lenyap geli hatinya.

“Binatang, jangan main gila di depan Ang-jiu Toanio!” bentaknya.

“He he he, aku Kalisang tidak takuti segala tangang melah atau tangang hitam!”

Ang-jiu Toanio makin marah, akan tetapi tiba-tiba macan itu menubruk dengan kekuatan yang dahsyat dan cepat sekali. Ang-jiu Toanio mengelak dan hendak mengirim pukulan, akan tetapi orang Mongol yang bernama Kalisang itu sudah melompat ke depan dan mengulur tangannya yang panjang untuk menjambret pundaknya. Ia cepat menggunakan tenaga Ang-see-chiu untuk menangkis.

“Plak!” Dua tangan bertemu dan orang Mongol itu miring tubuhnya, kesakitan dan panas sekali tangannya bertemu dengan si Tangan Merah. Akan tetapi alangkah kagetnya Ang-jiu Toanio ketika tangan kiri lawannya tiba-tiba mulur panjang sekali dan tahu-tahu tangan itu sudah dapat merampas anaknya dari gendongan.

“Jahanam, kembalikan anakku!” Ang-jiu Toanio menubruk maju menyerang si tangan panjang yang lihai itu. Akan tetapi Kalisang sudah melompat ke belakang dan terus saja lari cepat bukan main. Kedua kakinya yang kecil panjang-panjang itu berlari seperti terbang saja.

Ang-jiu Toanio terus mengejar, akan tetapi harimau besar itu menghadangnya dan menubruk dari pinggir. Dalam kegemasannya, Ang-jiu Toanio memukul dada harimau dengan tenaga Ang-see-chiu.

“Bukk!” Tubuh harimau yang besar terlempar ke belakang. Akan tetapi tubuh harimau itu kuat sekali dan karena dia bukan manusia sehingga jalan darah dan otot-ototnya tidak sama dengan manusia pula, maka pukulan tadi hanya membuat ia sakit dan terlempar, sama sekali tidak mendatangkan luka di dalam tubuh. Ia menggereng keras dan menyerang lagi.

Ang-jiu Toanio gemas bukan main. Dengan halangan ini, terpaksa ia tidak dapat mengejar si tangan panjang. Ia lalu menghujani pukulan dan tendangan, tidak memberi kesempatan kepada harimau ini. Akhirnya ia dapat menyambar ekor harimau dan dengan tenaga luar biasa wanita muda itu membanting tubuh harimau sekuatnya.

“Blekk!” Harimau itu mengaum dan lari terbirit-birit, takut menandingi wanita kosen itu. Ang-jiu Toanio tidak memperdulikan binatang hutan tadi dan cepat lari ke depan mencari bayangan Kalisang. Akan tetapi betapa kaget dan cemasnya karena ia tidak dapat mencari Kalisang yang lenyap di waktu gelap. Ang-jiu Toanio menjadi cemas sekali. Ia mengejar terus, lari secepat mungkin sambil memaki-maki dan kadang-kadang menangis.

Sementara itu, sambil tertawa-tawa serem Kalisang membawa anak kecil itu bersembunyi di dalam semak-semak, mendekap mulut anak itu supaya jangan menangis. Setelah Ang-jiu Toanio berlari jauh sekali, ia keluar dan memanggil harimaunya. Harimau besar itu datang dan melihat anak kecil dalam pondongan, ia mengaum dan memperlihatkan taringnya.

“Heh heh, anakku, kau udah lapang (lapar) sekali! Heh heh heh!”

Setelah berkata demikian, ia melemparkan anak bayi itu ke atas tanah di depan binatang buas itu! Si harimau mendekam, matanya bersinar-sinar, mulutnya meringis dan kaki belakangnya sudah menegang, siap menubruk dan menikmati daging bocah yang tentu lunak, segar dan lezat itu.

Akan tetapi tiba-tiba pada saat harimau maju hendak menubruk, binatang ini sebaliknya terlempar ke samping, menggeram kesakitan dan bergulingan.

Adapun bayi itu tahu-tahu telah disambar orang dan di lain saat telah berada dalam pelukan tangan kiri seorang saikong yang memegang pedang.

Inilah Hoa Hoa Cinjin, saikong sakti yang kemaren sudah muncul di depan Cia Sun.

Melihat hal itu, Kalisang marah sekali. Ia menubruk maju dan kedua tangannya mulur sampai panjangnya hampir dua meter! Akan tetapi, pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin berkelebat dan Kalisang menjerit kaget sambil menarik kembali tangannya. Betapapun juga, ujung jari tangan kirinya terbabat sehingga terluka dan sapat di bagian kukunya.

“Setan Mongol, kau tidak mengenal Hoa Hoa Cinjin?” bentak saikong itu keren.

Nama besar Hoa Hoa Cinjin memang sudah terkenal. Bahkan orang Mongol ini pernah mendengar nama itu. Tadipun ia telah membuktikan sendiri kelihaian saikong yang matanya begitu mengerikan, lebih mencorong dari pada mata harimaunya. Hatinya jerih dan sambil memekik aneh orang Mongol itu lari pergi dari situ, diikuti oleh harimaunya yang juga takut menghadapi saikong yang bermata setan itu.

Hoa Hoa Cinjin tertawa dan memandang bocah dalam pelukannya.

“Anak baik ……. anak baik ….. kau patut menjadi muridku. Hemm ….. hendak kulihat kelak siapa yang bisa mengalahkan kau.” Iapun pergilah dari hutan itu sambil membawa bocah yang tidak menangis karena kini merasa hangat dalam pelukan, dibungkus dalam jubah lebar tebal, menempel pada dada yang panas.

Semua kejadian ini tidak ada orang lain melihatnya, hanya monyet kecil. Lim-ong yang melihatnya. Monyet yang sudah terluka parah oleh pukulan Balita ini, diam-diam mengintai dan menyaksikan semua itu. Ia lalu menyelinap di antara daun-daun pohon dan di lain saat iapun menggendong seekor monyet kecil, monyet jantan yang masih kecil sekali. Ia mengeluarkan bunyi cecowetan dan aneh, dari kedua matanya keluar dua butir air mata. Monyet betina itu, Lim-ong menangis.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali jenazah Cia Sun dan isterinya telah dibersihkan, diberi pakaian baik-baik dan dimasukkan dalam dua buah peti sederhana yang diusahakan oleh penduduk dusun. Kemudian hio dipasang dan semua orang bersembahyang memberi penghormatan terakhir kepada pendekar budiman dan isterinya itu. Uwak atau Bibi Lui meratap-ratap dan menangis ketika membawa Han Sin dan Bi Eng yang diajak sembahyang pula. Dua orang anak kecil yang tidak tahu dan mengerti apa-apa ini, tidak menangis. Akan tetapi ketika mendengar uwak Lui dan semua penduduk menangis pilu, mereka pun mulai menangis. Suara tangis mereka memenuhi ruangan depan gedung itu di mana dua peti mati itu ditaruh berjajar.

“Kanda Cia Sun …… ohh, kanda Cia Sun ……!”

Mendengar seruan ini, wajah uwak Lui menjadi pucat dan otomatis tangisnya berhenti. Juga para penduduk memandang orang yang datang ini dengan heran dan tertarik. Balita dengan mengendong anak, rambutnya tetap riap-riapan dan pakaiannya sobek sana sini, datang terhuyung-huyung sambil menangis.

Setelah ia tiba di ruangan depan itu, tiba-tiba uwak Lui mempunyai pikiran yang cerdik. Uwak yang setia ini segera berdiri dan menyambut kedatangannya, sedikitpun tidak takut biarpun ia tahu bahwa wanita ini adalah seorang iblis betina yang menyeramkan dan mungkin sekali menjadi pembunuh majikan dan nyonyanya. Ia melirik ke arah bocah di dalam gendongan Balita, akan tetapi Balita agaknya sengaja menutupi bocah itu sehingga tubuh dan muka anak kecil itu tidak kelihatan sama sekali.

“Toanio apakah sahabat mendiang majikanku dan hendak bersembahyang? Silahkan …. silahkan, biarlah kugendongkan dulu anak toanio itu,” kata uwak Lui dengan ramah tamah sambil cepat menghampiri Balita dan memegang kaki anak kecil itu untuk digendong. Bayi anak majikannya sendiri sudah tadi-tadi ia baringkan ketika ia mendapatkan akal untuk melihat dan mengenal anak digendongan Balita.

AKAN tetapi Balita merenggut anaknya, matanya mendelik kepada uwak Lui yang baru saja memegang kaki anak itu. “Pergi kau! Aku bisa bersembahyang sambil menggendong anakku!”

Uwak Lui kaget dan mundur, akan tetapi di dalam hatinya ia terheran-heran dan makin bingung, karena anak di gendongan Balita itu bukanlah puteri majikannya, bukan Bi Eng! Tadi ia sengaja memegang kaki anak itu, karena biarpun tidak melihat muka anak itu, dari kakinya saja ia dapat mengenal kalau anak itu Bi Eng adanya. Di kaki sebelah kiri Bi Eng, di dekat mata kaki, terdapat sebuah tahi lalat hitam yang merupakan tanda anak itu yang tak akan lenyap.

Akan tetapi ketika ia tadi memegang kaki kiri bayi di gendongan Balita itu dan melihat dengan teliti, kaki kiri anak itu bersih saja dan tidak ada tahi lalatnya. Anak itu bukan Bi Eng, dan anak kecil yang ia tidurkan itupun bukan Bi Eng. Di manakah lenyapnya Bi Eng yang asli? Diam-diam uwak Lui bingung dan berduka, akan tetapi ia hendak menyimpan rahasia ini di dalam hatinya sendiri. Biarlah, anak bayi perempuan yang sekarang berada dalam asuhannya, dia itulah Cia Bi Eng.

Balita tidak mempergunakan hio, langsung ia berlutut di depan peti mati Cia Sun sambil menangis sesambatan dan memeluki peti itu. “Kanda Cia Sun …… tega benar kau kepadaku …. kanda Cia Sun, hidup ini tiada artinya bagi Balita …….” Ia menangis tersedu-sedu, lalu dengan beringas ia pindah ke depan peti mati nyonya Cia Sun, menggedor-gedorkan kepalanya yang berambut riap-riapan itu pada peti mati nyonya Cia!

Uwak Lui menjadi khawatir sekali dan baiknya Balita hanya menggedorkan kepalanya perlahan saja. Akan tetapi jangan kira bahwa gedoran kepala ini hanya tanda kedukaannya, karena diam-diam ia mengerahkan tenaga lweekang untuk menghancurkan isi peti mati itu.

Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dan tahu-tahu seorang pengemis yang rambutnya awut-awutan sudah berdiri di belakang peti nyonya Cia Sun. Ia menepuk-nepuk peti itu sambil berkata, “Cia-hujin, tenanglah. Orang-orang ini benar gila, menangisi kau yang sudah senang. Ha ha ha!”

Balita kaget bukan main ketika kepalanya terasa sakit begitu digedorkan kepada peti mati. Ia maklum bahwa serangannya untuk menghancurkan mayat nyonya Cia telah digagalkan oleh tepukan-tepukan tangan pengemis itu pada belakang peti mati. Ia mengangkat kepala memandang dan melihat pengemis yang rambutnya awut-awutan itu memegang sebuah guci arak, ia terkejut. Ia pernah mendengar nama Ciu-ong Mo-kai si Raja Pengemis dari seluruh perkumpulan pengemis di daerah selatan.

“Ha ha ha,” kembali pengemis itu tertawa dengan suara tinggi. “Memang dunia ini palsu. Orang yang terbebas dari derita hidup ditangisi, di balik air mata muncul kepalsuan-kepalsuan jahat. Aduh, lebih enak yang mati dari pada yang hidup harus menyaksikan segala macam kepalsuan!”

Balita mundur sambil mendekap anaknya. Menghadapi seorang pengemis sakti seperti ini ia harus hati-hati, apa lagi ia sedang menggendong anak.

“Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, omonganmu benar. Kalau kau lebih suka mati, biar aku coba mengantarmu ke neraka.” Tangan kanan Balita menampar ke depan dan angin pukulannya dari jarak jauh menyambar ke arah dada pengemis itu.

Ciu-ong Mo-kai Tang pok, pengemis sakti itu sambil tertawa menegak arak dari guci araknya, kemudian menyemburkan araknya ke depan. Arak itu merupakan senjata penangkis pukulan dan begitu bertemu dengan hawa pukulan Balita arak itupun tertahan dan terpental kembali!

“Ha ha, hebat! Kau perempuan Hui benar hebat!” pengemis itu memuji dan pujian ini memang setulusnya hati karena siapa orangnya tidak kagum melihat seorang perempuan semuda itu memiliki pukulan jarak jauh yang demikian kuatnya? Sebaliknya, Balita maklum bahwa pengemis itu merupakan tandingan sangat berat. Ia tidak bisa melepas anaknya untuk berkelahi, maka sambil melompat pergi ia berkata.

“Pengemis tua bangka, lain waktu aku Balita tentu mencarimu!”

Pengemis itu hanya tertawa-tawa kemudian menjawab kepada bayangan Balita yang sudah pergi jauh. “Jembel tua bangka buruk rupa macam aku ini mana ada harga kau cari-cari? Tentu kau lebih suka mencari yang muda rupawan, bagus dan tampan. Ha ha ha!”

Uwak Lui dan dua orang pelayan keluarga Cia serta semua penduduk dusun yang berada di situ memandang kepada pengemis itu tak senang. Mereka ini tentu saja sama sekali tidak tahu betapa pengemis ini telah menolong mayat nyonya Cia dari kehancuran. Bagi mereka, pengemis itu terlalu kurang ajar dan sebaliknya nyonya muda tadi patut dikasihani. Bukankah nyonya muda tadi datang untuk berbelangsungkawa sedangkan pengemis itu datang-datang mengacau? Apalagi sekarang pengemis itu sambil tertawa-tawa dan minum arak berkata kepada mereka,

“Kalian jangan menangis, tidak boleh menangisi orang mati!”

Semua orang yang berada di situ saling pandang. Mereka merasa takut melihat pengemis ini, karena sikapnya dan rambutnya yang awut-awutan itu lebih pantas disebut orang yang sudah miring otaknya. Akan tetapi uwak Lui yang amat setia menjadi tak senang karena upacara perkabungan majikannya dikacau. Ia maju menghampiri pengemis itu sambil menggendong Bi Eng. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkan sekeping uang perak, lalu diberikan kepada pengemis itu.

“Nih, sedekahnya, harap sekarang kau suka pergi dan jangan mengganggu kami. Tidak tahukah kau bahwa kami sedang berduka, mengabungi kematian majikan-majikanku yang tercinta?”

Pengemis itu memandang kepada uwak Lui dengan mata meram-melek sambil menyeringai, lalu berkata seperti orang bersajak.

“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati?
Siapa bilang mati harus diantar susah hati?
Samua berasal dari tiada.
Dan kembali kepada tiada
Bila musimnya tiba?
Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”

Kemudian sambil menghelus-elus peti mati Cia Sun, pengemis itu berkata seperti kepada diri sendiri, “Cia Sun semasa hidup memenuhi kewajiban sebagai satria sejati, melanjutkan sepak terjang ayahnya sebagai pendekar pembela rakyat. Matipun tidak penasaran!”

Mendengar ucapan ini, uwak Lui menangis dan memeluki Bi Eng. “Pengemis aneh, jangan kau menyusahkan hati kami yang sudah berduka. Boleh kau bilang apa saja, akan tetapi tidak kasihankah kau kepada dua orang anak ini yang ditinggal mati ayah bundanya? Mereka menjadi yatim piatu, ah …… yatim piatu …..” Uwak Lui menangis terisak-isak dan semua penduduk dusun yang berkumpul di situ juga ikut menangis.

“Diam! Diam semua!” Pengemis itu membentak, lalu sekali ulur tangan ia telah merampas Bi Eng dari gendongan uwak Lui yang menjadi kaget sekali.

“Anak baik ….. ah, anak bertulang baik.” Pengemis yang seperti orang gila itu lalu mengayun-ayun bayi itu malah kemudian ia melemparkan bayi itu ke atas diterima lagi dan dilemparkan lagi seperti seorang anak nakal bermain dengan sebuah bola!

Uwak Lui menjerit dan melompat maju merampas anak itu. Pengemis tadi memberikan Bi Eng kepada uwak Lui sambil berkata, “Jaga baik-baik muridku ini!”

“Muridmu? Apa artinya ini?” tanya uwak Lui sambil mendekap anak itu.

“Bibi yang baik, jangan salah menyangka orang. Aku adalah paman guru Cia Hui Gan! Aku datang untuk menyelidiki siapa orangnya yang membunuh Cia Sun dan isterinya.”

Suara pengemis itu berubah keren dan sikapnya agung, membuat uwak Lui surut mundur. Uwak Lui lalu menjura dengan hormat sambil berkata. “Terserah kebijaksanaan, taisu!”

Pengemis itu tertawa-tawa lagi lalu maju melangkah ke arah peti mati. Tutup peti mati telah dipaku, akan tetapi sekali angkat saja tutup peti mati Cia Sun telah dibukanya! Ia membungkuk dan melihat tanda-tanda luka di dada mayat itu. Muka mayat pendekar itu tenang, malah mulutnya agak tersenyum. Setelah memeriksa beberapa lama, pengemis itu berkali-kali mengeluarkan seruan tertahan.

“Aneh …. aneh sekali ….. pedang biasa, tusukan biasa ….. masa dia mati karena serangan macam itu ….?”

Kemudian ia menutup lagi peti mati dan sekali tekan paku-paku itu telah amblas mengunci tutup peti. Kemudian ia membuka peti mati nyonya Cia Sun. Mayat nyonya muda ini lebih menyedihkan karena selain lehernya putus, juga mukanya luka-luka. Ciu-ong Mo-kai memeriksa leher yang terluka dan kembali ia menggelengkan kepala.

“Bukan karena tenaga, melainkan karena tajamnya pedang. Heran …. heran …. lebih patut kalau dikatakan pembunuhnya seorang kanak-kanak lemah!” Akan tetapi ketika ia melihat muka nyonya muda yang sudah menjadi mayat itu, ia mengerutkan kening.

“Perempuan Hui itu masih melampiaskan marahnya melihat saingannya sudah mati. Terlalu sekali ….!” Juga lalu menutup kembali peti mati dan menoleh kepada semua orang yang melihat perbuatannya ini dengan penuh rasa ngeri dan heran.

“Cia Sun tidak berkeluarga kecuali dua orang anaknya. Orang yang boleh diandalkan adalah bibi pengasuh ini, maka mulai sekarang semua kekuasaan mengurus rumah dan memelihara dua orang anak ini kuserahkan kepada bibi pengasuh. Siapa yang berani mengganggunya berurusan dengan aku! Sekarang, saudara-saudara dari dusun di bawah puncak boleh pulang. Biar aku dan bibi pengasuh mengurusnya sendiri.”

Karena semua orang merasa takut, mendengar perintah ini tanpa banyak cakap mereka lalu pergi dari situ. Uwak Lui tidak berani membantah! Dia bersama dua orang pelayan laki-laki yang berada di situ hanya bisa saling pandang.

“Kenapa kalian dua orang masih tidak mau pergi?” Pengemis itu bertanya ketika masih ada dua orang laki-laki berjongkok di ruang itu.

“Taisu, dua orang ini adalah pelayan-pelayan di sini, semenjak kecil mereka membantu majikan kami,” kata uwak Lui.
Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Kalau kalian masih suka, mulai sekarang kalian menjadi pelayan dia ini.” Dia menunjuk uwak Lui dan dua orang pelayan itu mengangguk. “Ayoh, kalian ambilkan arak untukku!”

Ketika dua orang pelayan itu ragu-ragu, uwak Lui memberi isyarat supaya mereka memenuhi permintaan Ciu-ong Mo-kai. Uwak Lui sudah terlalu lama mengikut Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh dan sakti. Sekarang ia percaya bahwa pengemis itu tentulah orang sakti yang benar-benar datang untuk menyelidik pembunuhan majikannya. Ia merasa lega karena biarpun pengemis itu wataknya aneh menakutkan, namun keselamatannya, terutama keselamatan dua orang anak kecil yang sejak itu diasuhnya sebagai anak-anak sendiri, akan terjaga dan terjamin.

Ciu-ong Mo-kai tidak mau menggunakan cawan perak yang dibawakan oleh para pelayan. Ia menuang arak dari guci besar ke dalam tempat araknya sendiri lalu minum arak dari mulut gucinya yang kecil. Sambil minum arak ia bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang tidak karuan.

Tiba-tiba uwak Lui dan dua orang pelayan itu mendengar suara roda kereta datang di depan gedung. Mereka kembali melongo dan saling pandang. Bagaimana ada kereta bisa sampai di tempat itu? Dengan jalan kakipun amat sukar sampai di situ, apalagi berkereta. Kudapun tidak bisa naik di antara batu-batu putih yang mengitari gedung. Apakah kuda dan kereta itu bisa terbang?

Benar saja. Sebuah gerobak kecil roda dua ditarik oleh seekor keledai berhenti di depan gedung itu dan dari dalamnya melompat keluar seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk, bertopi dan berkumis lucu seperti kumis kucing. Laki-laki itu mengambil sebuah swipoa (alat menghitung) dengan tangan kiri dan membawa sebuah cambuk di tangan kanan, lalu melangkah lebar ke ruang depan dengan mulut tersenyum lebar. Mukanya yang gemuk itu kemerahan dan berkali-kali ia mengusap muka dengan ujung lengan bajunya untuk menghapus peluhnya.

Memang bagi orang-orang biasa, aneh sekali ada orang bisa naik gerobak ke tempat seperti puncak gunung Min-san ini. Orang-orang dusun situ yang sudah biasa mendaki puncak masih merasa sukar untuk mendatangi puncak yang menjadi tempat tinggal Cia Sun. Apalagi menunggang gerobak, hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Lebih-lebih lagi bagi seorang berpakaian seperti saudagar yang bertubuh gemuk itu!

Akan tetapi bagi Ciu-ong Mo-kai yang melihat kedatangan orang ini, bukanlah merupakan hal yang aneh atau mengherankan. Yang baru datang ini, yang ke mana saja membawa-bawa alat swipoa dan pecut bukan lain adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (Si Raja Swipoa)! Bukan saudagar sembarang saudagar biarpun ke mana saja membawa-bawa swipoa, akan tetapi seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang bukannya tidak terkenal!

Lie Ko Sianseng memang seorang saudagar dan dalam hal pekerjaan ini usahanya luas sekali, bukan hanya berdagang barang-barang yang meliputi macam barang dari hasil bumi, hewan ternak sampai sayur mayur dan emas intan. Akan tetapi adakalanya ia juga berdagang jiwa dan kepala orang.

Dengan langkah lebar Lie Ko Sianseng menuju kedua buah peti mati yang berjajar di ruangan depan itu, tanpa melirik kepada Ciu-ong Mo-kai yang duduk bersila sambil minum arak di belakang peti-peti itu. Dari saku dalam jubahnya yang lebar, jubah saudagar, Lie Ko Sianseng mengeluarkan sebungkus dupa dan menyalakan dupa-dupa itu pada lilin yang bernyala di meja sembayang depan peti. Lalu ia acung-acungkan hio itu di atas menghadapi peti mati dan mulutnya yang tadi menyeringai sekarang bergerak-gerak, bibirnya kemak-kemik, matanya meram-melek. Sikapnya lucu sekali akan tetapi uwak Lui dan dua orang pelayan memandang dengan hormat melihat saudagar ini bersembahyang di depan peti mati majikan mereka.

“Ha ha ha!” Ciu-ong Mo-kai tertawa geli, kemudian ia bernyanyi sambil memukul-mukulkan guci araknya pada peti mati untuk mengiringi nyanyiannya.

“Acung-acungkan hio, mulut berkemak-kemik
Pikir diputar-putar, mata melirik-lirik
Isi hati saudagar selalu mencari untung
Orang lain siapa bisa hitung?”

Kembali Ciu-ong Mo-kai tertawa-tawa sambil minum araknya. Wajah Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menjadi makin merah dan untuk menutupi kejengkelannya karena disindir oleh raja pengemis itu, saudagar ini lalu perdengarkan doanya, tidak lagi berkemak-kemik dan tidak berbunyi seperti tadi.

“Cia-enghiong, sungguh menyesal sekali sebelum sempat berkunjung memberi hormat, kau telah meninggal dunia bersama nyonyamu. Semoga arwahmu dan arwah nyonyamu mendapat tempat yang aman dan tenteram.”

Ia lalu menancapkan hio di tempat, bersoja dan duduk bersila di atas lantai, wajahnya memperlihatkan kedukaan besar. Keadaannya demikian sungguh-sungguh membuat uwak Lui terharu sekali.

Akan tetapi Ciu-ong Mo-kai menjenguk dari balik peti mati dan berkata, “Ah, makelar ulung! Kau menyesal dan kecewa melihat Cia Sun mati, bukankah karena kau tidak bisa lagi mencatut barangnya, sebuah surat wasihat ……?”

Tiba-tiba wajah saudagar itu berubah dan kini kelihatan bersemangat sekali. Ia memandang kepada Ciu-ong Mo-kai dan suaranya lemah lembut, suara seorang saudagar yang sedang menjalankan siasat menjual dagangan atau membeli dagangan atau untuk mencari untung.

“Ciu-ong yang baik, sudah lima tahun lebih tidak bertemu denganmu. Apakah baik-baik saja? Maaf tadi aku tidak melihatmu karena terlalu sedih dan terharu melihat peti mati-peti mati Cia-enghiong dan isterinya. Eh, Ciu-ong, terimalah sedekahku ini, dikumpulkan selama lima tahun walau sehari setengah chi juga menjadi banyak. Terimalah!” Saudagar itu mengeluarkan sebuah uang emas dan secara sembarangan melontarkannya ke arah Mo-kai.

Bagi orang lain yang berada di situ, tentu saja perbuatan ini dianggap royal sekali. Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang emas yang harganya amat mahal? Akan tetapi sebetulnya lemparan uang emas itu adalah sebuah tipu serangan dari ilmu menyambit Lim-chi-piauw yang amat lihai. Selain dilontarkan dengan penggunaan tenaga lweekang yang tinggi, juga mengarah jalan darah dan kiranya orang yang diserang takkan dapat menghindar lagi kalau tidak memiliki kepandaian tinggi. Bagi Lie Ko Sianseng, penyerang ini bukanlah merupakan penyerangan, lebih menyerupai kelakar untuk menguji kepandaian raja pengemis itu yang sudah bertahun-tahun tidak ia jumpai.

Sinar kuning dari uang emas itu berkilat menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai. Pengemis maklum bahwa saudagar gemuk itu hendak mengujinya, maka ia ulurkan tangan kanan dan menerima uang emas itu. Terdengar suara “plekk!” dan ketika ia membuka tangan, uang emas itu telah berada di telapak tangannya dalam keadaan gepeng seperti dijepit tang baja! Ini bisa terjadi karena sambitan itu luar biasa kuatnya dan telapak tangan yang menyambut luar biasa kerasnya.

“Ha ha ha, dalam urusan dagang kau boleh pelit dan licik, akan tetapi menghadapi pengemis kau menjadi dermawan. Ha ha ha, baik sekali kau, tukang catut!”

“Tidak apa, Ciu-ong. Di antara kita, mana perlu bersungkan-sungkan? Eh, raja pengemis, kau tadi menyebut-nyebut tentang surat wasiat. Apakah maksudmu dengan itu?”

Pengemis itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, Swi-poa-ong. Apakah kau kira aku ini anak kecil? Jangan kau berpura-pura lagi. Muslihatmu sebagai seorang pedagang sudah kuketahui baik. Kau kira tidak tahukah aku bahwa di antara semua orang yang mengobrak-abrik dan menggeledah rumah keluarga Cia malam tadi, juga termasuk kau? Apa yang kau cari?”

Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menggerakkan jari-jari tangannya kepada alat hitungnya. “Trek trek trek!” bunyi swipoa itu.

“Angka satu hanyalah satu, angka nol tidak ada nilainya. Akan tetapi angka satu ditambah tiga nol merupakan jumlah besar, apalagi kalau berupa potong uang emas. Jembel tua, apakah seribu potong uang emas tidak cukup untuk membeli surat wasihat itu?” Saudagar aneh itu menepuk saku bajunya yang gendut dan terdengarlah bunyi gemercing yang nyaring dan bening.

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok membelalakkan matanya yang sipit. “Eh, makelar edan, apa kau sudah gila?”

“Kau sudah menyebut edan, mana bisa gila lagi?” Lie Ko Sianseng berkelakar, sama sekali tidak marah dimaki-maki oleh pengemis itu. Akan tetapi sepasang matanya masih bersinar kesungguhan. “Apa kau mau melepas surat itu untuk seribu potong emas?”

Tang Pok menggelengkan kepalanya. “Kau tentu gila. Sepotong surat wasiat lapuk, biarpun mengenai rahasia harta karun belum kau ketahui berapa banyak harta itu, juga apakah masih ada. Lebih-lebih kalau dipikirkan bahwa segala macam surat wasiat belum tentu asli, mungkin bohong.”

“Seorang saudagar harus berani berspekulasi, untung atau buntung. Bolehkah?”

“Kau aneh ……..”

“Jembel tua, seribu lima ratus!”

Tang Pok hanya menggeleng kepala. “Sinting kau …….!”

Lie Ko Sianseng kembali mencetrek-cetrekan swipoanya, mulutnya berkemak-kemik menghitung angka, keningnya berkerut, peluhnya mengucur. Ia lalu berdiri dan mengebut-ngebutkan ujung bajunya. “Dua ribu! Nah, dua ribu kutawar, jembel. Tidak ada orang kedua di dunia ini berani menawar dua ribu. Emas tulen!” Kembali ia menepuk-nepuk kantung uangnya di saku jubahnya yang lebar.

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok menggeleng kepala dan juga berdiri. “Kamu mimpi. Melihatpun aku belum surat wasiat itu. Aku hanya mendengar orang-orang lain dan kau yang gila harta itu menyebut-nyebut perihal surat wasihat harta karun. Aku sendiri mana butuh?”

“Jadi tidak ada padamu?”

“Kalau ada padaku, jangankan dua ribu potong uang emas kautawarkan, untuk sepotong uang emas saja akan kulemparkan kepadamu. Bodoh!”

“Setan!” Pedagang itu memaki, lalu cambuknya menyambar udara mengeluarkan bunyi ” tar tar tar!” nyaring sekali. “Ciu-ong Mo-kai, tidak baik mempermainkan orang seperti aku. Kalau tidak di depan jenazah Cia-enghiong dan isterinya, cambukku pasti akan menikmati pantat anjing.”

Tang Pok hanya mentertawakan saudagar itu yang sudah menjura di depan peti mati, lalu berjalan terhuyung-huyung ke gerobaknya kembali, naik ke gerobak dan membentak keledainya. Gerobak bergerak perlahan, diputar dan menuruni puncak.

Pada saat itu terdengar bunyi cecowetan dari dalam rumah dan ketika semua orang menengok, ternyata Lim-ong monyet tua itu berlari keluar sambil memegang sebatang huncwe (pipa tembakau panjang). Pipa itu mengebulkan asap dan dari mulut dan hidung monyet itu masih keluar asapnya, sedangkan jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabok!

“Lim-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan huncwe itu di tempatnya!” Uwak Lui memerintahkan dengan bentakannya. Akan tetapi Lim-ong tidak menurut, malah melompat dari jendela dan membawa huncwe itu.

Tang Pok tertawa sampai perutnya kaku melihat pemandangan lucu ini.

“Biarkan dia pergi. Monyet itu pintar sekali, pintar isap tembakau, dia lebih pintar dari pada Swi-poa-ong si makelar curang! Ha ha ha!”

Karena huncwe itu memang tidak dipakai, yaitu sebuah di antara barang peninggalan tuan tua Cia Hui Gan yang ditaruh di meja sembahyang, maka uwak Lui dan dua orang pelayan itupun tidak mau ambil pusing lagi. Dalam keadaan berkabung seperti itu, siapa sih mau perduli tentang hal ini dan mau ribut-ribut karena sebatang huncwe yang dibawa lari monyet nakal! Juga Ciu-ong Mo-kai yang biasanya bermata tajam sekali, karena kunjungan Lie Ko Sianseng tadi dan kini sibuk dengan minum arak, tidak melihat bahwa tubuh monyet itu menderita luka dalam yang amat hebat dan bahwa cara monyet itu mengisap huncwe adalah cara yang amat ganjil seakan-akan monyet itu hendak mengobati lukanya dengan merokok!

Dengan bantuan dua orang pelayan, Ciu-ong Mo-kai lalu menguburkan dua peti mati itu di belakang rumah, kira-kira satu li jauhnya dari gedung itu. Setelah selesai, ia lalu berkata kepada uwak Lui dan dua orang pelayan.

“Mulai sekarang, semua barang dan rumah ini berada dalam kekuasaan bibi Lui dan kalian berdua harus mentaati semua perintah bibi Lui. Boleh kalian pergunakan semua barang di sini sambil memelihara dua orang anak keluarga Cia. Aku akan sering kali menengok ke sini dan kalau sudah tiba masanya, anak Bi Eng akan menjadi muridku. Sementara itu, tentang perawatan dan pendidikan dua orang anak ini kuserahkan kepada bibi Lui. Hah, selamat tinggal!” Ia lalu meninggalkan sekantong uang yang membuat bibi Lui dan dua orang pelayan itu terbelalak heran. Dari mana seorang pengemis mempunyai uang sebegitu banyak? Mereka tidak tahu bahwa Tang Pok bukanlah sembarang pengemis.

****

Lima belas tahun telah lewat dengan amat cepatnya tanpa terasa oleh manusia. Anak-anak menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, dan yang tua kembali ke asalnya, lenyap dari permukaan bumi diganti oleh manusia-manusia baru yang terlahir.

“Siauw-ong (raja kecil) ……! Siauw-ong, kembalikan pitaku. Kurang ajar kau ……! terdengar suara nyaring dan merdu.

Seekor monyet jantan kecil berlari-lari membawa sehelai pita sutera merah. Monyet itu berlari sambil jingkrak-jingkrak, lagaknya mempermainkan sekali. Di belakangnya mengejar seorang gadis cantik manis berusia lima belas tahun. Gadis ini jelita sekali, kulit mukanya putih halus, pipinya kemerahan dan matanya jeli seperti mata burung hong. Mulut yang kecil itu berbibir merah segar, tubuhnya ramping dan pakaiannya biarpun sederhana, tapi bersih dan terbuat dari sutera.

Gadis ini sambil tertawa berlari lincah mengejar monyet itu yang dipermainkannya. Di kejar ke sana lari ke sini, dikejar ke sini lari ke sana, memutari pohon sambil mencibir-cibirkan bibirnya yang tebal. Mata kecil itu mencorong nakal, kadang-kadang ia ulurkan pita ke depan, akan tetapi tiap kali hendak diambil gadis cilik ini, ia lari lagi.

“Siauw-ong, kembalikan pitaku. Jangan nakal kau, nanti kupukul dengan ini!” Gadis itu lalu mengambil sebatang ranting. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan, monyet itu melompat dan memanjat pohon dengan amat cepatnya.

Gadis itu membanting-banting kakinya, kepalanya tergeleng membuat rambut yang terlepas pitanya itu terurai, panjang sekali sampai ke bawah punggungnya, rambut yang hitam dan gemuk. Saking gemasnya ia mulai menangis! Mudah saja gadis ini mengucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba ia mendengar suara monyet itu cecowetan tidak karuan dan ketika ia mengangkat muka memandang monyet yang duduk di atas cabang pohon itu, seketika itu juga gadis yang tadi masih menangis ini lalu tertawa terkekeh-kekeh! Ia melihat monyet itu mencoba untuk memakai pita merah di kepalanya! Pemandangan ini memang amat lucu dan orang yang melihat tingkahnya yang nakal tentu akan tertawa akan tetapi orang itu akan lebih heran melihat sikap gadis cantik manis ini yang dapat menangis lalu tertawa pada saat itu juga, tertawa terkekeh dengan geli hati selagi air matanya masih membasahi pipinya!

Namun, pemandangan lucu itu agaknya telah mengusir kemarahan dan kejengkelannya, ia mengamang-amangkan tinjunya yang kecil ke atas sambil berkata.

“Siauw-ong, kalau kau tidak mau kembalikan pitaku, akan kulaporkan pada Sin-ko!”

Aneh, mendengar disebutnya “Sin-ko” (kakak Sin) ini, tiba-tiba monyet itu nampak ketakutan, cepat-cepat ia merayap turun dan kedua tangan diulurkan dan tubuh membungkuk seperti orang menghormat, ia sodorkan pita itu kepada pemiliknya! Gadis itu menerima pitanya dan mengelus-elus kepala monyet nakal itu. Dia amat cinta kepada monyet ini, kawan bermainnya semenjak kecil di samping kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar