"Kau..." Raja menunduk untuk melihat wajah Ryung lebih jelas. "Benar. Aku masih ingat matamu. Kau adalah orang yang dulu datang kemari untuk menyatakan ketidakbersalahan temanmu. Tapi kenapa kau ada di sini?"
"Ya... Yang Mulia..." jawab Ryung. "Aku mendaftar menjadi pengawal istana dan mengabdi pada warga Chosun."
"Benarkah?" Raja kembali berdiri. "Tapi kenapa pengawal istana melakukan pekerjaan ini?"
"Karena tidak ada cukup orang untuk menyiapkan perjamuan, jadi..."
"Begitu?" Raja mengangguk. "Siapa namamu?"
Ryung berpikir. Ia mendongak dan melihat sulaman naga di baju Raja. Ia mendapat ide. "Namaku Oh Ryung, Yang Mulia."
Raja tersenyum. "Matamu masih kelihatan cemerlang, seperti sebelumnya." Raja dan para pengawalnya berjalan pergi.
Hee Bong berlari mendekati Ryung. "Kenapa kau bilang namamu Oh Ryung. Namamu
"Bagaimana bisa aku menyebutkan nama asliku?" ujar Ryung. "Aku melihat sulaman naga di baju Yang Mulia. Naga itu punya 5 jari, jadi disebut Oh Ryung (Lima Naga)."
"Kak, cepat lakukan tugasmu." kata Eun Bok. "Aku akan membawa gerobak ini."
"Aku bergantung pada kalian." kata Ryung seraya berjalan pergi.
Shi Hoo melihat Dae Shi dengan pandangan curiga. "Aku yakin sekali." gumamnya. "Ia pasti akan datang kemari."
Tiba-tiba salah satu pengawal berlari-lari memanggil Shi Hoo. "Ayo kita pergi ke Ruang Penyimpanan Makanan. Disana kecurian!"
"Apa?!" seru Shi Hoo. Ia meminta kepala pengawal untuk menjaga tempat itu selagi ia pergi karena Iljimae pasti datang ke situ.
Shi Hoo pergi. Di Ruang Penyimpanan Makanan, Shi Wan sedang menurunkan kantong besar yang disangkutkan dengan jala ke sudut atap ruangan. Kantong tersebut berisi pengawal yang dikalahkan oleh Iljimae.
Ryung, yang menyamar sebagai pengawal, berlari-lari memanggil kepala pengawal yang menjaga Dae Shi dan para sukarelawan lain. "Iljimae..." katanya terengah-engah. "
"Apa kau yakin?" tanya kepala pengawal. "Kalian semua! Ayo!"
Kepala pengawal datang ke Ruang Penyimpanan Makanan.
"Apa yang kaulakukan disini?" tanya Shi Hoo.
"Seseorang bilang kalau para pengawal sedang bertarung melawan Iljimae dan menyuruh kami datang kemari."
"Siapa yang mengatakannya?" tanya Shi Hoo.
Kepala pengawal berpikir, baru menyadari kalau ternyata ia memang tidak pengenal orang itu.
Shi Hoo, Shi Wan, dan pengawal yang lain berlari ke tempat Dae Shi. Dae Shi dan para sukarelawan yang lain sudah lenyap.
Ryung datang ke bangunan dengan lambang Jeonwoohoe milik Kim Ik Hee. Ia membuka-buka laci, mencari pedang, namun tidak menemukan apapun.
Dae Shi dan para sukarelawan lain berusaha menggali tanah dengan cepat.
"Jika kita menggali di sini, apa kita bisa keluar?" tanya salah satu orang.
Dae Shi menunjukkan bagian dalam topengnya. "Lihat ini! Jika kita menggali disini, kita bisa keluar! Iljimae yang bilang!"
Di lain sisi, Shi Hoo bertanya pada seorang pustakawan dan melihat peta. "Apakah ada terowongan yang menuju ke luar istana?"
Flashback. Ryung menunjuk ke peta. "Di sini, dulunya adalah danau teratai."
"Terowongan? Tentu saja tidak ada." jawab pustakawan.
"Apa kau punya peta yang lama? Yang dibuat sebelum peta yang ini?" tanya Shi Hoo.
Pustakawan mengambil peta lama. Shi Hoo melihatnya dengan teliti.
"Apa ini?" tanya Shi Hoo. "Kenapa disini ada sementara di peta yang baru tidak ada?"
"Ini adalah danau teratai. Danau ini sudah diuruk."
Flashback. Ryung menjelaskan rencananya pada teman-temannya. "Dibawah ini ada terowongan saluran air yang menuju ke luar istana di Gerbang Wol Gun." Ryung menoleh ke arah ketua geng, teman Hee Bong. "Kakak, tugasmu adalah..."
Shi Hoo berlari mencari Shi Wan dan menyuruhnya ke Gerbang Wol Gun.
Di
"Hey!" seru Shi Wan, melihat lubang saluran. "Siapa kalian? Kalian merencanakan sesuatu!" Ia tertawa. "Pengawal, jaga mereka! Aku akan masuk ke dalam!"
Shi Wan masuk ke dalam terowongan itu bersama beberapa pengawal.
Di sisi lain, Dae Shi dan sukarelawan lain juga sudah berada di dalam terowongan . Mereka menemui dua cabang. "Kemana? Yang mana? Yang mana arah kita?" tanya Dae Shi. Dia melihat cahaya di kanan terowongan. "Ah! Ke
Shi Hoo masuk ke terowongan yang sama melalui jalan yang dilewati sukarelawan. Di dalam terowongan itu, ia melihat topeng Dae Shi terjatuh di tanah. Dibalik topeng itu terdapat tulisan, "Galilah tanah di dekat tiang batu di sebelah paviliun Gwang Bong."
Tiga orang pengawal menjaga ketua geng dan anak buahnya. Mereka penasaran dan mengintip ke lubang saluran. Pemburu Jang dan Ayah Heung Kyun mendorong mereka dari belakang hingga mereka terjatuh dan masuk ke dalam lubang saluran. Shim Deok dan ayah Seung Seung juga ada di
Setelah itu, mereka menutup lubang dengan batu dan menguburnya dengan tanah hingga lubang tersebut tertutup.
Selain lubang yang itu, ternyata masih ada lubang lain yang tersembunyi. Pemburu Jang membuka lubang itu. Dae Shi dan yang lainnya keluar dari
Flashback. "Untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi, kita akan menggali lubang yang lain." Ryung menjelaskan rencananya. Di sebelah Gerbang Wol Gun, ada saluran pembuangan dari istana."
Shi Wan dan dan pengawalnya berjalan masuk menyusuri terowongan.
"Bau apa ini?" tanya Shi Wan, menutup hidungnya. "Bau busuk apa ini?"
"Sepertinya ini bau kotoran manusia (a.k.a e'ek)." jawab pengawal.
"Apa?!" seru Shi Wan, ingin muntah.
"Di sana ada jalan keluar!"
Di pihak lain, Shi Hoo mengejar lewat jalur yang sama dengan sukarelawan dan keluar lewat lubang yang benar. Namun dia sudah terlambat.
Giliran bangunan dengan lambang Jeonwoohoe milik Suh Young Soo, yang juga merupakan tempat penyimpanan harta.
Ryung melihat pedang satu per satu, dan tentu saja tidak menemukan pedang yang dimaksud.
Hee Bong, Eun Bok dan Heung Kyun memasukkan barang-barang berharga ke dalam kantong besar.
Ryung menyalakan api di sumbu bahan peledak.
"Apakah itu akan meledak?" tanya Eun Bok ketakukan.
"Tenang saja." jawab Ryung, tersenyum. "Ini akan meledak dalam waktu setengah jam."
Selesai sudah tugas mereka.
Mereka menunggu di dekat kolam. Di permukaan kolam tersebut sudah ada beberapa yang berbentuk seperti bunga teratai.
Kini waktunya Hee Bong dan yang lainnya keluar dari istana semantara Ryung melakukan tugasnya sendiri.
"Kalian semua sudah bekerja keras." kata Ryung. "Kita akan bertemu lagi nanti, di luar istana."
"Kau harus berhasil keluar dari istana dengan selamat." kata Hee Bong seraya menyerahkan sebuah kunci.
Heung Kyun juga menyerahkan kunci. "Kuharap kau bisa menemukan jawaban atas apa yang kau cari selama ini."
Di luar gerbang istana, para warga berkurumun. Mereka sepertinya merencanakan sesuatu. Dan Ee juga ada di sana.
Ayah Heung Kyun memanggil Dan Ee. "Semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Dae Shi sudah berhasil lolos."
"Benarkah?" tanya Dan Ee, lega.
"Para warga datang kemari untuk mendukung Iljimae. Kami yang mengumpulan mereka. Jangan khawatir, bibi."
Dan Ee cemas. Ia menoleh ke arah tembok istana. Tidak sengaja, ia melihat Nyonya Han berdiri tidak jauh darinya.
Shi Wan mengomel sendirian, mencium badannya yang bau. Ia kemudian melihat Hee Bong dan Eun Bok datang.
"Hey, kemari!" panggil Shi Wan pada mereka. "Cepat kemari! Apa itu? Cepat buka."
Eun Bok membuka karung menutup gerobak yang didorongnya. Tidak ada apa-apa di situ.
"Pergi!" Shi Wan memerintahkan mereka.
Utusan Ming, Kim Min Young menemui Raja dan bertanya kenapa pasukan sukarelawan tiba-tiba menghilang.
"Aku sudah mengirim orang untuk mencari mereka." kata Raja, frustasi. "Jangan khawatir."
"Kalau begitu, tolong stempel kertas ini. Yang Mulia telah berjanji untuk menyerahkan Chosun pada Ming untuk membangun kembali kekaisaran Ming. Para Jenderal Ming sangat berterima kasih, Yang Mulia."
Setelah memberikan stempel, Raja memerintahkan Min Young pergi.
Di Jeju, Byun Shik memancing.
"Ck ck ck..." Byun Shik melihat Eun Chae, yang sedang bermain dengan anak-anak. "Sepertinya dia memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin para pencuri." Byun Shik menggeleng-gelengkan kepalanya dan ngedumel. "Bajingan Jung Myung Seo itu menerima batu berhargaku, tapi kenapa sampai sekarang belum ada kabar apapun darinya?"
Pelayan Byun Shik datang berlari-lari. "Tuan! Di istana sedang ada masalah besar!" katanya.
Byun Shik tertawa. "Ha ha ha... Putra Lee Won Ho sudah berhasil masuk ke istana." ujarnya senang. "Dia pasti sedang berseenang-senang dengan Yang Mulia. Ha ha ha.. Sudah jelas sekarang, mereka memang memiliki hubungan darah. Ck ck ck. Jangan sebut-sebut nama kelelawar itu di depan Eun Chae, mengerti? Hah! Memecatku dari istana? Yang Mulia pantas mati!"
Acara perjamuan dimulai. Raja dan para bangsawan duduk di bawah tenda.
Tiba-tiba terdangat suara ledakan. Orang-orang istana panik. Beberapa saat kemudian, selembar kain putih besar terbuka di tempat perjamuan. Kain tersebut berlukiskan bunga Mae Hwa. Setelah itu, kayu penyangga tenda patah. Kain tenda tersebut jatuh dan menimpa Raja beserta pada pejabatnya.
Hee Bong dan Eun Bok menunggu di jembatan. Mereka melihat ke bawah. Benda-benda berbentuk bunga teratai hampir sampai di dekat jaring yang dipasang oleh Eun Bok sebelumnya.
Flashback.
Ryung sudah menyiapkan beberapa benda berbentuk bunga teratai yang dibuat dari kertas Han. Ryung menyuruh Eun Bok dan Hee Bong untuk meniup sesuatu seperti balon, kemudian memasukkan balon tersebut ke dalam kertas bunga teratai. "Bukankah ini kertas Han?" tanya Eun Bok. "Ini akan basah jika terkena air." "Setelah dilapisi minyak wijen dan dikeringkan, kertas ini tidak ada basah lagi." kata Ryung.
Mereka menggunakan kertas bunga teratai dengan balon ditengahnya untuk menyembunyikan barang hasil curian dan menghayutkannya di kolam. Setelah itu, mereka menahan hanyutan barang curian tersebut dengan jaring. Kantong yang dipergunakan untuk membungkus barang-barang curian adalah kantong kedap air. Sepertinya sih dilapisi minyak wijen juga. Aku kurang yakin.
Setelah selesai mengangkat barang-barang hasil curian, Shi Wan mengepung mereka.
"Kau pikir aku bodoh?" tanya Shi Wan pada Hee Bong. "Kau pikir dengan menyamar seperti ini aku tidak akan mengenali kalian?"
Hee Bong menoleh ke belakang. Di sana, sudah ada anak buahnya yang menyamar menjadi pengawal.
Hee Bong dan Eun Bok mendorong Shi Wan dan melarikan diri ke arah para pengawal di seberang.
Shi Wan hanya tertawa, mengira para pengawal itu adalah pihak istana. "Hey! Tangkap dia!" teriaknya.
Namun para pengawal itu malah ikut kabur bersama Hee Bong, melarikan diri keluar istana.
Shi Wan kaget. Ia mengejar mereka. Begitu sampai di gerbang, para warga yang berkerumun di sana melempari Shi Wan dan pengawal lain dengan benda berapi.
Mereka semua sukses!
Hari sudah malam.
Raja, dengan frustasi berpikir. Ia menyebut nama bangunan yang didatangi Iljimae satu per satu. "Apa sebenarnya yang dia cari?"
Kini saatnya bangunan dengan lambang Jeonwoohoe milik Lee Won Ho. Bangunan tersebut dinamakan Byulgo.
Ryung menyelinap masuk, dan berusaha membuka gembok.
"Jika kau ingin masuk, kau membutuhkan 3 kunci." Ryung teringat Heung Kyun berkata. "Memangnya barang berharga apa yang disimpan disana?" tanya Ryung. "Kudengar, di sana ada ruangan rahasia. Yang Mulia membangunnya saat perang karena takut. Tapi ini belum pasti. Mungkin hanya gosip."
Ryung mengkombinasikan ketiga kunci yang dimilikinya untuk membuka gembok. Sulit sekali. "Bagaimana membuka gembok ini?
Flashback. Hee Bong, Heung Kyun dan Eun Bok, masing-masing mencuri satu kunci dari tiga orang prajurit tinggi istana.
Raja memerintahkan Chun untuk memeriksa Byulgo, satu-satunya tempat yang belum didatangi Iljimae.
Ryung panik. Dengan tidak sabar, ia buka gembok tersebut dengan kasar menggunakan ketiga kunci yang dimilikinya. Ryung gagal membukanya. Ia hampir menyerah dan ingin menghancurkan pintu itu, tapi mendadak ia teringat sesuatu. Diambilnya besi pembuka gembok milik Swe Dol.
Ryung gemetaran, mencoba membuka gembok.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh keningnya. "Lihat, kau berkeringat." kata orang itu.
Ryung menoleh dan melihat ayahnya ada disampingnya.
Swe Dol tersenyum menenangkan. "Apa kau ingin hal yang pernah kukatakan padamu?" Swe Dol memegang tangan Ryung. "Jangan gemetaran. Buka saja pelan-pelan. Tenanglah. Ada aku di sini."
Ryung mengangguk. Swe Dol mengajarinya cara membuka gembok, sama seperti hal yang pernah diajarinya dulu.
"Lihat, kau bisa membukanya." kata Swe Dol. "Kau memang penerus keluarga. Tidak ada gembok yang tidak bisa dibuka."
Tiba-tiba Ryung mendengar seseorang datang.
Chun masuk. Ia melihat gembok pintu masih terkunci, kemudian pergi.
Ryung sudah ada di dalam.
"Ryung memang hebat!" kata Swe Dol, menunjukkan ibu jarinya.
Chun membunuh Kim Min Young dan mengambil surat Kwon Do Hyun, kemudian menyimpan surat tersebut di dalam laci.
Shi Hoo mengintip mereka.
Setelah Chun keluar, ia masuk dan membuka laci. Dilihatnya surat Kwon Do Hyun. Surat tersebut berisi, "Aku harus mengatakan sesuatu padamu, jadi aku menulis surat ini sebelum aku mati. Orang yang membunuh ayahmu adalah..."
Shi Hoo teringat masa kecilnya, saat pertemuannya dengan Lee Geom dan Lee Won Ho.
Di samping surat Kwon Do Hyun, terdapat sebuah surat lain. Surat darah yang digunakan untuk menfitnah Lee Won Ho.
Shi Hoo kembali teringat masa lalunya, saat ia menguburkan surat yang sama di bawah rumah Lee Won Ho.
"Rumah itu..." Shi Hoo bergumam shock. "Dengan tanganku sendiri, aku..." Shi Hoo hampir menangis.
Ryung masuk ke sebuah ruangan yang penuh jebakan. Jika ada orang yang memasuki ruangan tersebut, maka lonceng akan berbunyi.
Ryung menembakkan tali ke seberang ruangan dan melewati tali tersebut. Di seberang, ia melihat lukisan Raja. Di lantai terukir lambang Jeonwoohoe utuh.
Ryung lemas dan terjatuh di lantai. Di lukisan itu, Raja sedang memegang sebuah pedang. Di ujungnya terukir lambang Jeonwoohoe utuh.
"Yang... Yang Mulia!" Ryung berkata shock. Ia menangis. "Pembunuh ayahku adalah... Orang yang membunuh ayahku adalah... Yang Mulia..."
Ryung mengepalkan tangannya dengan marah.
Raja berpikir. Ia bertanya-tanya siapa Iljimae ini.
"Benar." gumamnya, teringat Ryung. "Aku bertemu dengannya di depan Ruang Penyimpanan Makanan. Benar... Matanya... Matanya sama dengan mata Won Ho. Anak itu adalah Geom."
"Orang itu akan mendapat dukungan masyarakat." Raja teringat si peramal buta berkata. "Ia seperti matahari yang bersinar."
Raja juga teringat kata-katanya sebelum ia membunuh Lee Won Ho. "Bagaimana bisa ada dua matahari di langit yang sama?"
Ia berteriak pada Chun. "Tangkap Lee Geom dan bawa dia kesini!"
Ryung keluar dari ruangan tadi dan berlari di atas genting istana terlarang.
Di lain pihak, Shi Hoo juga keluar. Ia melihat Raja berlari menuju sebuah bangunan, hendak bersembunyi.
Ryung menuju ke bangunan milik Raja. Ia bertarung melawan banyak prajurit yang datang menyerangnya.
Setelah berhasil mengalahkan prajurit istana, Ryung masuk ke ruangan Raja, namun sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana.
Makin banyak prajurit yang datang dan menyerangnya. Ryung melawan mereka semua sekuat tenaga.
Shi Hoo melihat dari jauh. Ia merobek pakaiannya dan melukai jarinya, menuliskan sesuatu pada sobekan kain tersebut dengan darahnya.
Mulanya, Shi Hoo berpura-pura bertarung dengan Ryung. "Aku juga putra Lee Won Ho." katanya. Ia menyerahkan sobekan kain pada Ryung, kemudian melawan para prajurit istana sendirian.
Ryung pergi. Ia membaca tulisan Shi Hoo, "Di dalam Byulgo"
Ryung masuk ke bangunan. Ia menyebrangi ruangan dengan tali, seperti sebelumnya. Mendadak besi pembuka gembok Swe Dol terjatuh. Lonceng berbunyi.
Pintu rahasia di depan lukisan raja terbuka. Beberapa prajurit keluar dari sana.
Ryung masuk melewati pintu rahasia itu dan lari.
Chun dan Moo Yi bertemu dengan Kong He.
Kong He berlutut. "Tolong ampuni nyawa anak itu." katanya.
"Beraninya kau menipu dan mengkhianati Tuhan kita!" seru Chun marah.
"Tuhan?" tanya Kong He. "Sa Chun, berpikirlah baik-baik. Apakah pria itu Tuhan bagimu? Kau bersedia mempertaruhkan nyawamu karena dia adalah orang yang menurutmu benar? Apa yang sudah dia lakukan? Menurunkan Gwang Hae dari tahta. Seorang pembunuh yang kejam. Dia tidak pantas menjadi Raja. Bukankah begitu?" Kong He mendongak, menatap Chun. "Agar bisa mempertahankan tahta, dia tega membunuh adiknya sendiri, membunuh teman-temannya. Ia bahkan tega membunuh putranya sendiri."
"Aku akan melakukan apapun untuk Yang Mulia. Sejak aku menjadi seperti ini, aku hanyalah seorang pembunuh."
"Chun!"
"Aku akan melindungi Yang Mulia dengan seluruh kekuatanku!" tekad Chun. Ia memerintahkan Moo Yi untuk membunuh Kong He.
Kong He menunduk sedih. Ia bertarung dengan Moo Yi dan dengan mudah mengalahkannya.
Kong He mengampuni Moo Yi dan berlari pergi.
Bong Soon berjalan terpincang-pincang ke markas persembunyian Ryung.
Flashback. Ryung menangis di depan pakaian hitam Iljimae yang digantung. "Bong Soon.. Bong Soon masih hidup..." katanya, tersenyum.
"Ryung.." gumam Bong Soon seorang diri. "Kau akan kembali dengan selamat kan? Kau akan membawaku pergi dari sini, kan? Aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini menunggumu. Capatlah kembali."
Raja bersembunyi di ruangan rahasianya. Ia memanggil-manggil Chun, ketakutan. "Chun! Chun!"
Ryung masuk.
"Beraninya kau masuk kemari!" seru Raja. "Kau hanya seorang pencuri. Apa kau berpikir bahwa kau benar-benar seorang raja hanya karena masyarakat yang bodoh itu menyebut kau sebagai raja mereka?"
Raja mengambil pedangnya dan mengarahkannya pada Ryung.
Ryung melihat pedang itu. Ada sebuah lambang terukir di sana. "Kenapa kau membunuh ayahku?" tanya Ryung.
"Seharusnya aku membunuhmu juga." kata Raja. "Matahari itu bukan Lee Won Ho, melainkan kau. Karena kau, adikku yang tidak bersalah... adikkku Won Ho mati."
"Adik? Adik apa? Jadi... jadi..." Ryung mencoba mengendalikan emosinya. "Kenapa kau membunuh ayahku?!"
"Demi melindungi tahta ini, aku akan melakukan apapun."
"Karena itu, kau bahkan membunuh putramu sendiri?!" tanya Ryung. "Karena itu, kau membunuh banyak orang?!"
"Adikku.. atau putraku.. Siapapun yang mengancam tahtaku, aku akan membunuh mereka semua, termasuk kau!"
Raja mengayunkan pedangnya untuk menebas Ryung. Ryung mengelak dan mengarahkan pedang ke leher Raja.
"Kau tidak pantas menjadi raja." ujar Ryung tajam. "Masyarakat tidak butuh raja seperti kau! Kau harus mati! Mati!!!"
Ryung menarik Raja. "Aku berjanji pada ayahku bahwa aku akan membuatmu berlutut dihadapannya. Ikut denganku!"
Ryung membawa Raja keluar. Para prajurit tidak berani melakukan apa-apa karena Iljimae menjadikan Raja tawanan.
Di luar gerbang istana.
"Saat ini Iljimae sedang menawan Yang Mulia." kata seseorang. "Ia dikepung oleh semua prajurit istana! Kematiannya hanya tinggal menunggu waktu!"
Dan Ee cemas bukan main dan berteriak histeris. "Ryung! Ryung!"
Nyonya Han melihat Dan Ee, menyadari bahwa yang dimaksud wanita itu dalah putranya. Nyonya Han terjatuh lemas.
Dan Ee melihatnya terjatuh, dan menolongnya. "Nyonya! Nyonya!"
Nyonya Han berbisik, "Geom.. Geom.." Lalu pingsan.
Shi Hoo datang, berdiri di sisi Ryung. Beberapa saat kemudian, Kong He datang dan berdiri di sisi yang lain.
"Kita selesaikan semua ini." kata Kong He. Ryung mengangguk.
Shi Hoo dan Kong He maju bertarung melawan para prajurit istana.
"Serahkan semua ini pada kami!" seru Kong He. "Kau pergilah!"
Ryung membawa raja pergi. Chun mengikuti mereka.
Ryung membawa Raja ke rumah Lee Won Ho. Ia mendorong Raja agar berlutut di depan pohon Mae Hwa.
"Akui kesalahanmu!" perintah Ryung, mengarahkan pedang milik Raja ke leher Raja.
"Adikku..." Raja berlutut dan menangis. "Aku bersalah. Tolong maafkan aku."
"Ketidakadilan yang dialami ayahku dan semua anggota keluargaku, luruskan semuanya!" ujar Ryung.
"Baik.."
"Dan satu lagi. Kau harus memohon maaf pada semua warga yang telah kau bunuh."
"Baik..."
Ryung membuka topengnya. "Aku punya dua orang ayah. Yang satu mengajarkan aku kebajikan. Yang satunya lagi selalu menyayangi dan berkorban untukku." Ryung meneteskan air matanya. "Lalu kau.. kau ayah yang seperti apa? Untuk putramu? Untuk wargamu? Kau sungguh tidak pantas... Tinggalkan tahta! Berjanjilah!"
"Baik..."
"Jika kau tidak menepati janjimu, aku akan menyusup ke istana lagi."
"Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Raja.
"Pergi!" seru Ryung, menusukkan pedang yang dipegangnya ke tanah.
Raja bangkit dan berjalan pergi. "Won Ho..." gumamnya. "Won Ho..."
Ryung berlutut di depan pohon Mae Hwa dan menangis. "Ayah!" tangisnya. "Aku tidak cukup kejam, karena itulah aku mengampuni nyawanya. Apakah aku melakukan hal yang benar? Apakah aku benar?"
"Beraninya kau menghina Tuhanku!" Chun berteriak seraya menyerang Ryung dari belakang.
Ryung menghindar dan mengeluarkan pedanganya.
Mereka berdua bertarung. Pertarungan yang cukup sengit.
Chun berhasil membuat pedang Ryung terlempar.
Ryung melawan Chun dengan tangan kosong, berhasil mengalahkannya. Ia merebut pedang Chun, namun lagi-lagi Ryung tidak bisa membunuh.
Ia melempar pedang tersebut dan berbalik.
Chun mengambil pedangnya dan menebas Ryung dari belakang.
Ryung terjatuh di tanah.
Eun Chae memandang lautan, memikirkan sesuatu.
Bong Soon memutar proyektor tradisional pemberian Ryung.
Setelah menebas Ryung, Chun berjalan pergi.
Tiba-tiba Shi Hoo muncul dan dengan secepat kilat menebas leher Chun.. "Tidak peduli siapapun." ujar Shi Hoo, mengulang kata-kata yang pernah diajarkan Chun. "Jika ia menghalangi jalanku, aku akan membunuhnya.
Chun tewas.
Shi Hoo memandang mayat gurunya. "Aku... juga adalah putra Lee Won Ho."
Ryung berbaring tak bergerak di tanah, menangis sedih. "Ayah... Ayah..."
Kilatan kenangan itu muncul lagi.
4 tahun kemudian.
Seorang pedagang buku mengusir seorang anak kecil bergigi ompong.
"Nak, pergilah." katanya. "Berama umurmu?"
"5 tahun." jawab anak itu.
"Kenapa kau tinggi sekali?" tanya si pedagang.
"Karena aku mirip ibuku." jawab anak ompong.
"Lalu gigimu itu?" tanya si pedagang lagi.
"Karena aku mirip ayahku." jawab anak ompong.
Pedagang buku itu mengusir si anak. Anak ompong itu lari dan menabrak Bong Soon.
"Siapa namamu?" tanya Bong Soon.
"Namaku Kedong." jawab si anak. Kedong berarti kotoran anjing. Nama itulah yang dulu ingin diberikan Swe Dol pada Ryung, namun tidak jadi.
"Kedong?"
"Ayahku bilang, naga akan keluar dari kotoran anjing. Jadi ia memberiku nama Kedong." ujar Kedong kesal, memperlihatkan gigi ompongnya. "Kenapa dia memberiku nama Kedong? Dia merusak image-ku!"
Bong Soon tertawa. "Kenapa kau sangat mirip dengan Ryung?"
"Ryung? Ah, jika namaku Ryung, itu akan kedengaran lebih bagus." keluh Kedong.
"Kedong!" panggil seorang wanita.
"Ibu!" seru Kedong senang, berlari menuju ke dua orang wanita. "Dan Ee cantik!"
Kedong memeluk Dan Ee dan Nyonya Han.
Dan Ee terkejut melihat Bong Soon.
Dengan terpincang-pincang, Bong Soon berjalan mendekati mereka. Ia menunduk, memberi hormat.
"Sudah lama tidak bertemu." kata Dan Ee. "Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan bibi?" Bong Soon menoleh menatap Nyonya Han.
"Kakakku Dae Shik!" seru Kedong. Ia menarik Dan Ee dan Nyonya Han pergi. "Ayo kita melihat pertunjukkannya."
Eun Chae kembali ke Nam Mun. Ia mengunjungi penginapannya.
"Sudah 4 tahun." Eun Chae berkata pada Ayah Seung Seung.
"Ya, sudah lama sekali." kata Ayah Seung Seung. "Apakah Tuan Besar sehat?"
Eun Chae tersenyum dan mengangguk.
"Nona!" panggil Seung Seung berlari-lari menyambut. Hee Bong mengikutinya dari belakang sambil menggendong seorang bayi. "Nona, kenapa tidak pernah memberiku kabar?"
Eun Chae hanya tersenyum.
Seung Seung menoleh ke Hee Bong. "Kenapa kau biarkan bayi itu menangis terus?" omelnya.
"Dia mengompol." jawab Hee Bong, berusaha menenangkan si bayi. "Yeon... sayang..." Hee Bong berpaling melihat Eun Chae. "Nona, kau sehat-sehat saja, kan?"
Eun Chae tersenyum dan mengangguk. Seung Seung menyuruh Hee Bong pergi untuk menggantikan popok Yeon.
"Ayo kita pergi, Yeon-ku yang imut." ujar Hee Bong penuh kasih sayang, kemudian berjalan pergi.
"Putrimu sangat cantik." kata Eun Chae. "Namanya juga cantik."
"Kurasa itu adalah nama dari gadis cinta pertama Hee Bong, tapi dia bilang tidak ingin membicarakannya." kata Seung Seung, merasa cemburu. "Siapa ya gadis itu?"
Eun Chae bertanya hati-hati, "Orang itu... apa yang dia kerjakan akhir-akhir ini?"
Seung Seung bingung. "Siapa?"
Eun Chae menunduk. "Apakah dia..."
"Si... siapa?" tanya Ayah Seung Seung, bertingkah sedikit aneh. "Maksud Nona, Ryung? Dia hidup dengan baik."
Seung Seung dan ayahnya bertukar pandang penuh arti. Ayah Seung Seung mengisyaratkan agar putrinya itu mengalihkan pembicaraan.
"Kau kelihatan lelah, Nona, ayo masuk dan beristirahat." Seung Seung berkata dan tertawa memaksa.
Eun Chae tersenyum. "Baiklah." kata Eun Chae. Ia menoleh lagi pada Ayah Seung Seung. "Bagaimana dengan kak Shi Hoo?"
"Dia baik-baik saja." jawab Ayah Seung Seung cepat.
Eun Chae tersenyum, namun kemudian wajahnya berubah muram, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Kalau menurut pendapatku, sebenarnya Eun Chae sudah tahu tentang Ryung. Kalau dia belum tahu, pasti dia akan tanya soal Iljimae lebih dulu, bukan Ryung.
Shi Hoo tinggal di sebuah pulau di tepi pantai. Ia melihat murid-muridnya berlatih bela diri.
"Kembalilah ke istana bersamaku." ajak Moo Yi. "Tidak ada orang yang melihat kejadian saat itu."
Shi Hoo tersenyum. "Tidak." jawabnya. "Aku ingin membesarkan anak-anak itu. Aku sangat bahagia saat ini." Wajah Shi Hoo menjadi cerah dan penuh kebahagiaan, sangat berbeda dengan Shi Hoo yang dulu, yang sangat pemurung dan jarang tersenyum.
"Kau tetap tidak mau menyerahkan surat darah itu?"
"Menyimpan kerahasiaan surat itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi mereka..." kata Shi Hoo. "Orang-orang... yang ingin dilindungi oleh adikku."
Shi Hoo tertawa. (Ganteng sekali. Hehehe...)
Eun Chae mengunjungi pohon Mae Hwa besar.
Ketika ia berbalik dan hendak pergi, terdengar kicauan burung.
"Burung-burung itu sangat malang." Ia teringat Geom kecil berkata.
"Malang? Kenapa?" tanya Eun Chae kecil.
"Ketika bunga Mae Hwa mekar, mereka akan datang. Terbang di sekitar pohon Mae Hwa siang dan malam."
Suara Ryung terngiang ditelinganya, "Aku yakin, walaupun dia sudah mati, dia akan tetap merasa bahagia."
Eun Chae menangis.
Kedong, Dan Ee dan Nyonya Han melihat pertunjukkan akrobat Dae Shi dan ayahnya. Ayah Dae Shi sudah kembali dari Cing.
Seseorang bergosip. "Apa kalian sudah dengar? Rumah pejabat istana tadi malam kemasukan maling." katanya. "Yang anehnya adalah pencuri itu mencuri dengan cara yang sama dengan yang telah dilakukan Iljimae 4 tahun lalu."
"Berarti, Iljimae sudah hidup kembali?" tanya Ayah Dae Shi.
"Tentu saja tidak!" jawab Ayah Seung Seung. "Lukisan yang digambar bukan bunga Mae Hwa merah, melainkan bunga Shindarae merah."
"Benar!" seru Deok. "Iljimae sudah mati."
"Memangnya kau melihat dia mati?" tanya orang itu.
"Ada gosip yang mengatakan bahwa dia dijual ke negara Cing." kata Ayah Seung Seung, melirik penuh arti pada Deok. Mereka mencoba melindungi rahasia Ryung.
"Dan ada gosip lain." tambah Deok. "Gosip itu mengatakan kalau Iljimae terluka sangat parah dan menjadi orang cacat."
Kedong maju dan menyimpulkan ceritanya sendiri, sama seperti yang pernah dilakukan Swe Dol. "Iljimae terluka parah dan bersembunyi ke gunung. Di
Kong He menyepi di pinggir pantai. Heung Kyung mengantarkan sepatu pesanan Kong He.
"Bibi Shim Deok bilang, jika kau berani memanggil Myung Wol ke sini lagi, dia akan menjual kedai dan pindah kemari." kata Heung Kyun.
Kong He tertawa. "Bagaimana kabar ayahmu yang bodoh itu?"
"Dia baik-baik saja. Sekarang dia sudah menemukan pekerjaan baru sebagai pendongeng."
Ayah Heung Kyun bekerja sebagai pendongeng. Kedong datang, membuatnya kesal.
"Cerita hari ini, berjudul 'Kembalinya Iljimae'." katanya memulai. "Dimulai pada suatu malam gerimis di Gerbang Saengsun..."
"Salah!." potong Kedong. "Seharusnya di Gerbang Hong Hwa. Dan malam itu tidak gerimis. Saat itu, ada sebuah panah melayang di Gerbang Hong Hwa..."
Iljimae mengirimkan lukisan bunga Mae Hwa ke istana. Raja menjadi panik dan ketakutan. Raja juga sepertinya bermasalah dengan kewarasannya.
"Chun, apa kau sudah menangkapnya?" tanya Raja pada Moo Yi. "Iljimae muncul lagi."
"Yang Mulia, Iljimae dan kakak Chun sudah mati." kata Moo Yi.
"Dimana Chun? Panggil Chun kemari! Dia datang lagi. Dia bilang, jika aku tidak menepati janjinya, dia akan mencuri lagi. Dia akan kembali."
"Siapa yang berani menentang perintah Raja, maka ia akan dibunuh!" ancam Chun.
Dae Shi memegang sebuah topeng. "Aku.. aku pikir kita akan pergi ke Cing." katanya merengek. "Aku ingin pulang! Aku kelaparan!"
Moo Yi mengarahkan tombak padanya. Ryung mengintip mereka.
Ryung menyelinap ke sebuah bangunan dengan lambang Jeonwoohoe milik Lee Kyung Sub. Ia melihat pedang satu per satu dan mencari lambang Jeonwoohoe utuh, namun tidak juga menemukannya. Ryung meninggalkan lukisan bunga Mae Hwa, kemudian pergi.
Kini giliran bangunan dengan lambang Jeonwoohoe milik Kwon Do Hyun. Ia tetap tidak menemukan pedang yang dicarinya.
Ryung menyiapkan sebuah jebakan panah yang ujungnya diikatkan dengan tali dan didekatkan ke lilin. Jika lilin tersebut meleleh dan membakar tali, maka busur secara otomatis akan melepaskan anak panah.
Ia pergi ke perpustakaan di bangunan tersebut dan mencari sesuatu.
Shi Wan dan beberapa pengawal tiba-tiba datang dan menyerang Ryung. Namun anak panah tumpul melesat dengan sendirinya, mengalihkan perhatian Shi Wan dan yang lainnya. Mereka menunduk untuk menghindari panah.
Ryung memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi.
Shi Hoo melihat kekacauan yang dialami Shi Wan, kemudian pergi mengawasi para sukarelawan. Sikap Dae Shi menarik perhatiannya.
Dae Shi memegangi sebuah topeng dan merengek-rengek. "Ayah, aku ingin pergi ke Cing." katanya sedih, membersihkan topeng itu dengan seksama. Dae Shi membalik bagian dalam topeng dan terkejut melihat sesuatu.
Dae Shi menjadi salah tingkah. Ia memakai topeng itu dan melihat ke arah para pengawal, dengan sikap yang aneh. Shi Hoo curiga.
Eun Bok berjalan mengendap-endap. Tiga orang pengawal memergokinya. "Tunggu! Angkat tanganmu!"
Eun Bok mengangkat kedua tangannya. Tiba-tiba sebuah jaring jatuh dari atas dan mengurung ketiga pengawal.
Eun Bok membungkuk. "Maafkan aku." Lalu menginjak-injak ketiga pengawal. "Maafkan aku." Dan menginjak mereka lagi.
Hee Bong dan Ryung berlari datang.
"Kerjamu bagus, Eun Bok!" puji Ryung.
Eun Bok tersipu malu dan menginjak pengawal lagi.
Target selanjutnya, Ruang Penyimpanan Makanan.
Ryung, Eun Bok dan Hee Bong masuk ke Ruang Penyimpanan Makanan.
"Saat rakyat kelaparan, mereka menyimpan banyak sekali makanan di sini." omel Hee Bong.
Eun Bok memandangnya kesal. "Kau bisa bicara begitu?" tanya Eun Bok. "Kau juga ikut membantu mereka mengisi ruangan ini!"
Mereka bergegas memasukkan makanan-makanan tersebut ke dalam sebuah kantong/karung besar.
Hee Bong dan Eun Bok menyamar sebagai penjaga.
Beberapa pengawal berpatroli. "Apa ada hal yang aneh?" tanya kepala pengawal.
"Tidak!" teriak Hee Bong keras. "Tidak ada yang aneh!"
Kepala pengawal itu hendak berjalan pergi, tapi tiba-tiba berhenti. Ia melihat ke arah sepatu Eun Bok yang berbulu, bukan sepatu yang biasa dikenakan penjaga. "Ada apa dengan sepatumu?" tanyanya.
Eun Bok menunduk melihat sepatunya dan terperanjak panik.
Kepala pengawal curiga. Ia menyuruh Eun Bok membuka pintu Ruang Penyimpanan Makanan.
Di dalam, Ryung masih sibuk berkutat dengan hasil curiannya.
Eun Bok sengaja mendentingkan kunci dan gembok untuk memperingatkan Ryung.
Kepala pengawal tidak sabar dan membuka gembok itu sendiri.
Mereka masuk. Semua makanan sudah lenyap, digantikan dengan sebuah lukisan bunga Mae Hwa yang ditempel di dinding.
Hee Bong berteriak dan menunjuk. "Di sana! Iljimae! Iljimae! Iljimae pergi ke sana!"
Hee Bong dan Eun Bok masuk ke dalam Ruang Penyimpanan Makanan dan mendongak ke atas. Di sana, kantong/karung yang berisi makanan disangkutkan oleh Ryung dengan jala. Ryung bersembunyi juga di sana.
Hee Bong melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya. Aman.
Ryung menyamar menjadi pengawal.
Mereka bertiga meletakkan kantong/karung berisi makanan tersebut ke atas gerobak dan mendorongnya. Mereka hendak menyembunyikan makanan tersebut di suatu tempat untuk sementara.
Chun, Moo Yi dan beberapa anak buahnya lewat. Ryung melihat Moo Yi dan mengikuti mereka diam-diam. Ini di luar rencana.
"Benar." pikir Ryung. Ia teringat saat Moo Yi membawanya ke tengah danau yang membeku dan bertanya apakah Ryung adalah Geom. "Orang itu adalah..."
Ryung mengikuti Moo Yi sampai ke bangunan utama tempat Raja, kemudian berbalik lagi ke tempat teman-temannya.
"Ada apa?" tanya Hee Bong.
"Aku melihatnya. Orang yang dulu bertanya apakah aku Geom atau bukan dan mengancam akan membunuhku" jawab Ryung.
"Jadi dia adalah orang istana?" tanya Hee Bong.
"Ya." kata Ryung. "Juga orang-orang yang ingin membunuhku saat di belakang pagoda. Pembunuh ayahku pasti salah satu orang istana. Ayo kita pergi."
Ryung, Hee Bong dan Eun Bok mendorong gerobak makanan lagi. Beberapa apel terjatuh dan menggelinding ke jalan. Ryung berlari menngambil apel itu.
Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapannya. Ia adalah Raja. Hee Bong dan Eun Bok bersujud.
Ryung mendongak untuk melihat orang itu, kemudian ikut bersujud.
"Itu buah-buahan untuk perjamuan, kan?" tanya Raja.
"Ya, Yang Mulia." jawab Ryung.
"Berhati-hatilah." Raja berkata seraya berjalan pergi diikuti para pengawalnya.
Ryung lega. Namun Raja berbalik dan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar