Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Kamis, 05 Agustus 2010

Petualang Asmara (Jilid 1)


Anak laki-laki itu tidak akan lebih dari sepuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi dan tegap bagi anak setua itu. Baju dan celananya terbuat dari sutera, bentuknya sederhana. Bajunya kuning polos dengan pinggiran merah tua, membuat warna kuning baju itu tampak menyala bersih. Pada pinggangnya membelit tali sutera dan celananya berwarna biru muda. Sepatunya yang coklat itu masih baru namun penuh debu. Wajah anak itu terang dan tampan, berbentuk bulat dengan sepasang telinga lebar menjulang di kanan kiri karena rambutnya disatukan di atas kepala membentuk sanggul dan dibungkus dengan kain kepala dari sutera hijau. Sepasang matanya lebar dan bersinar terang, dilindungi sepasang alis yang hitam dan sudah dapat diduga bahwa kelak alis itu akan menjadi tebal dan berbentuk golok. Hidung dan mulutnya kecil membayangkan kehalusan budi, namun tarikan syaraf pada dagunya membayangkan kemauan yang membaja.

Dengan lenggangnya yang bebas lepas anak itu melangkah di dalam hutan yang sedang menyambut munculnya matahari pagi. Wajahnya gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar memandangi segala yang tampak di depannya, yang jauh maupun yang dekat. Mulutnya tersenyum dan tiba-tiba dia berhenti, matanya terbelalak penuh kegembiraan memandang ke kiri, melihat seekor kelinci yang tiba-tiba keluar dari semak-semak, agaknya kelinci itupun terkejut, berhenti, menengok ke kanan kiri, hidungnya bergerak-gerak kembang kempis membuat cambangnya yang hanya beberapa helai itu ikut bergerak-gerak naik turun matanya yang jernih lebar bergerak-gerak liar, sepasang daun telinganya yang panjang menjungat ke atas, bergerak-gerak ke atas ke bawah menangkap segala suara yang datang dari sekelilingnya.

“Hi-hik…!” Anak itu tak dapat menahan geli hatinya melihat binatang yang lucu itu dan si kelinci terperanjat, berloncatan lenyap ke dalam semak-semak kembali.

Anak laki-laki itupun melanjutkan langkahnya. Hanya mata seorang yang pikirannya tidak dibebani sepenuhnya dengan segala macam persoalan hidup seperti mata anak itulah yang akan dapat menikmati keindahan dalam hutan di pagi hari itu, dan sesungguhnyalah bahwa hanya anak-anak saja yang dapat menikmati hidup ini, karena manusia dewasa, kecuali mereka yang sudah sadar dan bebas, hidupnya penuh dengan persoalan yang timbul dari pertentangan-pertentangan batin dan lahir.

Betapa indahnya rumput-rumput menghijau di hutan itu. Ada yang rebah, ada yang berdiri, ada yang panjang ada yang pendek, semua begitu bebas dan segar, begitu wajar namun lebih rapi daripada kalau diatur tangan manusia, nampak gembira dengan batang membasah bermandikan cahaya matahari pagi, berkilauan seolah-olah dari setiap batang rumput mengeluarkan cahaya kesucian. Daun-daun pohon menari-nari perlahan dihembus angin pagi, mengangguk-angguk membawa butiran-butiran lembut yang gemilang seperti mutiara. Burung-burung kecil yang beraneka warna bulunya, lincah bergembira dan berkejaran sambil mencuit bersiul saling sahut, berloncatan dari dahan ke dahan. Sinar matahari yang menyerbu pohon, menembus di antara celah-celah daun membentuk garis-garis putih di antara cahaya kuning kemerahan, cahaya keemasan. Adakah lukisan yang seindah kenyataan? Adakah rangkain kata-kata yang mampu menceritakan keindahan yang wajar, mulus aseli dan ajaib ini?

Beberapa helai daun pohon menguning lepas dari tangkainya, melayang-layang ke bawah, menari-nari ke kanan kiri seperti gerak pinggul seorang penari yang lincah dan lemas, seolah-olah merasa sayang meninggalkan tangkainya namun tidak dapat menahan daya tarik bumi. Betapa mata tidak akan menjadi sehat dan segar menyaksikan semua keindahan ini? Sayang bahwa jarang ada manusia seperti anak laki-laki itu yang dapat memandang dengan mata terbuka, terang dari jernih, tidak terselubung tirai persoalan hidup yang keruh.

Makin terang cahaya matahari, makin ramai suara memenuhi hutan. Ramai akan tetapi sedap didengar bagi mereka yang mampu mempergunakan telinganya untuk mendengar, seperti anak itu, sehingga dia mampu menangkap keindahan hidup dalam pendengarannya. Suara burung beraneka macam, dengan keindahan masing-masing, ada yang tinggi melengking, ada yang menciap-ciap pendek, ada yang rendah parau, namun sukar membedakan mana yang lebih indah bagi telinga yang mendengarkan tanpa perbandingan sehingga tidak ada lagi istilah baik dan buruk! Di antara lomba suara burung ini, kadang-kadang terdengar kokok ayam hutan, dan sayup-sayup terdengar suara gemerciknya air dari anak sungai yang mengalir di dalam hutan, suara air bermain dengan batu-batu hitam, seperti suara gelak tawa dan kekeh manja sekumpulan anak perawan yang sedang bersendau gurau.

Kegembiraan memenuhi hati anak itu, membuat dia merasa menjadi sebagian dari alam dan keindahan itu sendiri, dan anak itu, dengan wajah tampak berseri-seri, membuka mulut dan bernyanyi! Nyanyian aneh dinyanyikan dengan wajah berseri dan suara gembira, akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu sendiri adalah kata-kata keluhan yang menyedihkan! Agaknya, nyanyian itulah yang dihafal olehnya, dan jelas bahwa dia bernyanyi sekedar melepaskan kegembiraan yang berkumpul di dalam hatinya, sekedar mengeluarkan suara mengikuti contoh burung-burung di dalam hutan, tanpa mempedulikan isi nyanyian yang dihafalnya di luar kepala. Dia tidak peduli akan kata-kata dalam nyanyian, karena dalam keadaan seperti dirinya di saat itu, kata-kata merupakan benda usang yang sama sekali tidak ada artinya! Baginya, yang penting bukan kata-katanya, melainkan suaranya yang menggetar nyaring penuh daya hidup!

Berbahagialah anak itu yang memiliki seni memandang dan mendengar sewajarnya. Dengan pandangan dan pendengaran wajar, penuh perhatian, penuh kasih sayang, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa pamrih, tanpa prasangka, maka tampak dan terdengarlah olehnya segala keindahan yang tak ternilai. Lukisan-lukisan terindah di dunia ini hanya akan tampak sebagai benda lapuk saja dibandingkan dengan kenyataannya, nyanyian sajak-sajak yang paling terkenal di dunia ini hanya akan terdengar sebagai kata-kata hampa dibandingkan dengan suara alam itu sendiri jika didengarkan dengan pikiran bebas.

Suara anak itu masih lembut dan ringan seperti suara wanita. Suaranya belum pecah dan parau, menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Namun suaranya nyaring sekali, karena dia bernyanyi dengan bebas lepas, dari dalam dadanya!

“Langit di atas bumi di bawah

mengapit ketidakadilan

perut lapar minta makan

minta kepada siapa?

ayah bunda pun belum makan

semua kelaparan!

minta kepada si bangsawan

digigit anjing penjaga

minta kepada Si kaya

diberi maki dan pukulan!

Hayaaaa…!”

Anak itu mengulang-ulang dengan suara gembira, akan tetapi pada ulangan ke empat kalinya, dia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara teguran,

“Haiiii…!”

Anak itu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh.

Seorang laki-laki setengah tua, memikul kayu bakar, datang dengan langkahnya yang pendek-pendek namun cepat, mengimbangi ayunan pikulannya. Setibanya di depan anak itu, dia menurunkan pikulan, menghapus keringat dari muka dan leher, meludah ke kiri, kemudian memandang lagi kepada anak itu dengan mulut menyeringai. Agaknya sudah menjadi kebiasaan orang ini menyeringai seperti itu dengan mulut menyerong ke kanan, mata kanan agak disipitkan sehingga tampak garis-garis tertentu pada bagian kulit muka yang berlipat.

“Wah, engkau bukan pengemis!” serunya dengan nada heran setelah menyapu pakaian anak itu dengan pandang matanya.

“Memang aku bukan pengemis,” jawab anak itu. “Dan engkau seorang tukang pencari kayu agaknya, lopek (paman tua)?”

“Memang aku mencari kayu. Setiap pagi aku mencari kayu di hutan ini, lalu kubawa ke kota kujual sebagai penukar bahan pengisi perut kami bertiga.”

“Bertiga?”

“Ya, aku sendiri, anakku dan ibunya.”

“Ohhhh…”

“Hemm, dan selama bertahun-tahun aku mencari kayu, baru pagi ini aku melihat hal-hal aneh, di antaranya melihat seorang anak kecil berkeliaran seorang diri di dalam hutan, menyanyikan lagu pengemis padahal engkau bukan pengemis.”

“Anehkah itu?”

“Tentu saja aneh. Pakaianmu dari sutera halus, sepatumu baru. Engkau bukan pengemis dan biasanya, hanya para pengemis dan orang miskin saja yang suka menyanyikan lagu itu. Dan engkau pasti bukan pengemis.”

“Sudah kukatakan aku bukan pengemis.”

“Dan bukan orang miskin pula.”

Anak itu mengerutkan alisnya, meragu lalu menggeleng kepala. “Entah, aku tidak tahu apakah orang tuaku kaya ataukah miskin. Bagaimanakah untuk membedakan yang kaya dengan yang miskin?”

Tukang mencari kayu itu juga mengerutkan alisnya, menggaruk-garuk kepala kemudian meludah lagi ke kiri. Agaknya meludah ke kiri inipun menjadi kebiasaannya, seperti kebiasaan menyeringai dengan mulut menyerong ke kanan.

“Yang hidup serba kecukupan itu orang kaya, yang serba kekurangan itu orang miskin.”

Anak itu kembali termenung, kedua alis berkerut hampir bertemu di atas batas hidung, kemudian dia memandang kakek itu sambil bertanya lagi, “Lopek, yang dikatakan serba cukup itu bagaimana, dan yang serba kekurangan itu bagaimana?”

Agaknya kakek itu sudah lelah. Pagi ini dia mengumpulkan kayu hampir dua kali lebih dari biasanya karena dia membutuhkan uang kelebihan, untuk membeli sepatu anaknya yang rewel minta dibelikan sepatu baru. Bukan baru benar melainkan bekas akan tetapi yang masih baik dan belum usang.

“Yang serba kecukupan itu adalah… hemm, yang dapat menutup kebutuhannya, sedang yang serba kekurangan itu tentu saja yang tak pernah terpenuhi segala kebutuhannya.”

“Ohh, jadi tergantung dari kebutuhannya, ya? Kalau kebutuhannya hanya sedikit tentu cukup dengan sedikit pula sedangkan yang kebutuhannya banyak sekali melebihi apa yang dimilikinya, mana bisa mencukupi?”

“Wah, sulit juga kalau begitu. Yang cukup adalah yang dapat makan setiap hari…” kata Si Kakek agak bingung karena persoalan yang dianggapnya remeh itu kini menjadi sulit.

“Lopek. apakah lopek dapat makan setiap hari?”

“Hemm… ya, biarpun hanya dengan sayur sederhana.”

“Kalau begitu, lopek adalah seorang kaya!” Anak itu berkata gembira seolah-olah dia dapat memecahkan teka-teki yang sulit.

“Hahh…?” Pencari kayu itu terbelalak.

“Menurut lopek, orang kaya adalah yang kecukupan, yang kecukupan adalah yang setiap hari dapat makan. Lopek setiap hari dapat makan, berarti kecukupan, dan karena kecukupan berarti kaya!” Anak itu gembira sekali lalu membungkuk membalikkan tubuh dan berkata, “Selamat pagi, lopek!”

Kakek itu masih berdiri terpukau di tempatnya, matanya memandang kosong karena pikirannya bekerja keras mengingat ucapan anak itu. “Aku… kaya..? Heiii! Nanti dulu! Tunggu dulu…!” ia memanggil.

Anak itu menoleh, membalikkan tubuh dan tersenyum. Senyum bebas lepas dan wajar. “Ada apakah, lopek?”

“Tentang kaya miskin, aku menarik semua pendapatku. Aku bukan orang kaya, tapi apakah aku miskin… hemm, entah. Tapi engkau yang berpakaian mahal, mengapa menyanyikan lagu pengemis kelaparan?”

“Lagu adalah lagu, lopek. Siapa saja beleh melagukannya!”

“Tapi isi kata-katanya itu! Tentang kelaparan! Apakah engkau pernah kelaparan?”

Kini si anak tercengang. Baru sekarang dia sadar bahwa nyanyiannya itu bercerita tentang anak kelaparan. Dia menggeleng kepala dan berkata lambat-lambat, “Aku belum pernah kelaparan, lopek. Akan tetapi… apa bedanya? Melihat anak-anak pengemispun sama sengsaranya terasa dalam hati. Ada nyanyiannya tentu ada kenyataannya, bukan? Eh, lopek. Katakanlah, mengapa di dunia ini ada anak-anak yang kelaparan? Mengapa ada bangsawan yang berkuasa amat tinggi, ada hartawan yang memiliki kekayaan berlebihan dan berlimpahan, akan tetapi sebaliknya ada pekerja yang paling rendah kedudukannya, dan ada pengemis-pengemis yang kelaparan?”

Kakek itu kembali terbelalak, kini memandang kepada anak itu dengan heran. Selamanya belum pernah terpikirkan olehnya akan kenyataan yang sebetulnya dia lihat sendiri itu. Ya, kenapa?

“Wah, kenapa ya? Mengapa keadaan bisa begitu?”

“Lopek, salah siapakah itu? Apakah salah si bangsawan tinggi? Apakah si pekerja kasar rendah yang salah? Si hartawan kaya raya ataukah si pengemis yang salah? Apakah si bangsawan tinggi terlampau menindas, ataukah si pekerja rendah terlampau menjilat? Apakah hartawan terlampau kikir, ataukah pengemis terlampau malas? Salah siapa lopek?”

“Cuhhh! Cuhhh!” Kakek itu kini meludah sampai dua kali, dengan hati-hati dia mengarahkan ludah yang ke dua agar tepat mengenai yang pertama, akan tetapi bidikannya meleset jauh.

“Agaknya yang salah adalah…” Tiba-tiba dia menengok ke kanan kiri dengan muka takut karena baru saja terpikir olehnya bahwa dia telah membawa diri dengan percakapan yang amat berbahaya, percakapan yang mungkin akan mengakibatkan kepalanya terpenggal kalau terdengar oleh “yang berwajib”! Maka disambungnya kata-katanya tadi, “… adalah Thian (Tuhan)!”

“Ah, engkau mencari kambing hitam yang tidak tampak saja, lopek!” Anak itu membantah.

Si kakek tergesa-gesa mengangkat dan memikul kembali pikulan kayunya dan berkata,

“Wah, menuruti engkau bercakap-cakap, aku akan kesiangan menjual kayu!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras, kemudian disambungnya berbisik, “Anak baik, engkau anak siapakah?”

“Ayahku membuka toko obat di ujung Jembatan Hijau…”

“Wah, engkau putera Yap-sinshe (tukang obat Yap)?” Pencari kayu itu bertanya.

Ketika anak itu menjawab, “Ya, namaku Yap Kun Liong…” Si Pencari Kayu segera berbisik lagi, “Siauw-kongcu (tuan kecil), lebih baik engkau pulang saja. Hutan ini tidak aman hari ini. Tadi, masih gelap sekali sudah kulihat banyak orang aneh berkeliaran di dalam hutan, seperti setan-setan saja. Hayo bersamaku pulang saja ke kota.”

Kun Liong, anak itu mengerutkan alisnya dan meruncingkan mulutnya, menggeleng kepala. “Aku belum ingin pulang, masih suka bermain-main di dalam hutan. Selamat pagi, lopek.” Anak itu karena khawatir kalau-kalau akan dipaksa pulang oleh pencari kayu yang agaknya mengenal ayahnya, lalu berlari memasuki hutan.

Tukang pencari kayu itu hanya menggeleng kepala. Memikul kayunya sambil bicara seorang diri, “Yap-sinshe orang baik, pernah mengobati isteriku. Aku harus memberi tahu. Jangan-jangan anaknya berada dalam bahaya.” Tergesa-gesa dia lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan untuk menjual kayunya ke kota.

***

Kun Liong sudah melupakan pertemuan dan percakapan dengan pencari kayu tadi. Hari terlampau cerah, hutan terlampau indah untuk diganggu kenangan peristiwa yang tidak ada artinya itu. Cahaya matahari pagi yang keemasan, dengan garis-garis putih yang hidup dan mengandung kehidupan karena di dalamnya tampak jutaan benda kecil yang bergerak-gerak, berselang-seling dengan pohon-pohon besar kecil dengan dahan dan cabangnya yang mencuat ke sana sini dengan bebas. Indah bukan main!

Dia sudah tahu bahwa tidak jauh dari situ, tepat di tengah-tengah hutan, di bagian yang agak tinggi merupakan anak bukit, di sana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak berpenghuni lagi. Sudah beberapa kali dia bermain-main di kuil itu, dan ke sanalah sekarang dia menuju. Ada serumpun bambu kuning berbelang-belang hijau di belakang kuil tua itu dan dia ingin mengambil sebatang bambu yang indah itu. Menurut kata ayahnya, bambu itu adalah sejenis bambu ular yang kuat dan tebal, lubangnya hanya kecil saja dan bambu itu sendiri, yang sudah tua, kulitnya mengkilap dan besarnya sama dengan lengannya.

Hatinya yang gembira itu berubah ketika ia tiba di depan kuil tua karena dia mendengar suara hiruk-pikuk dari dalam kuil! Kun Liong teringat akan cerita Si Tukang Mencari Kayu, maka dia cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon depan kuil sambil mengintai.

Terdengar olehnya suara bentakan-bentakan seperti orang bersilat dan bertempur, kemudian disusul suara teriakan-teriakan mengerikan dan dari pintu kecil yang tak berdaun lagi, yang terbuka menganga, tampak tubuh dua orang terlempar dan terbanting ke atas tanah depan kuil itu. Lemparan itu kuat sekali sehigga dua batang tubuh manusia itu bergulingan dan akhirnya terhenti tak jauh dari tempat Kun Liong bersembunyi, tidak bergerak-gerak lagi. Kun Liong dari tempat sembunyiannya memandang dengan mata terbelalak. Dia sering mengikuti ayah dan ibunya mengobati orang sakit, dan sering pula melihat orang mati. Kini, melihat letak tangan, kaki, kepala dua orang laki-laki setengah tua yang terlempar tadi, tahulah dia bahwa mereka berdua itu sudah tak bernyawa lagi! Kun Liong tidak takut atau ngeri melihat orang mati, akan tetapi dia merasa penasaran sekali. Siapakah yang begitu kejam membunuh orang begitu saja di pagi hari seindah itu? Pembunuh yang amat kejam, hal ini dia ketahui dengan mendekati dan memeriksa dua mayat itu yang ternyata tewas dengan mata mendelik dan di dahi mereka tampak bekas jari tangan berwarna putih! Biarpun pelajaran ilmu silatnya belum setinggi itu, sebagai putera suami isteri pendekar, Kun Liong dapat menduga bahwa pembunuh kedua orang ini mempunyai ilmu pukulan beracun yang amat jahat!

Tiba-tiba dia mendengar sesuatu dan cepat menyelinap kembali, bersembunyi di dalam semak-semak. Kiranya suara itu adalah suara tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, bertopi caping lebar dan berjalan menuju kuil dengan cepat sekali. Mereka berhenti di dekat mayat dua orang itu, memandang sebentar kemudian seorang di antara mereka berkata perlahan,

“Si Iblis itu benar-benar berada di dalam kuil.” Dua orang temannya mengangguk dan tangan mereka bertiga meraba-raba gagang pedang, kemudian ketiganya dengan gerakan cepat dan ringan lari memasuki kuil tua.

Kun Liong tertarik sekali menyaksikan apa yang akan terjadi di dalam kuil. Akan tetapi, untuk mengikuti mereka tadi begitu saja, dia tidak berani karena dia mengerti bahwa akan terjadi hal-hal yang hebat. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Dengan menyelinap di antara semak-semak dan pohon-pohon, dia mengambil jalan memutar, menuju ke belakang kuil. Tembok belakang yang melingkari kuil tua itu sudah ambruk, maka bagian belakang kuil itu tampak jelas. Kun Liong sudah sering mengunjungi tempat ini maka dia hafal betul. Dengan hati-hati akhirnya dia dapat bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning. Kini bambu-bambu kuning yang sudah banyak yang tua dan mengkilap itu tidak diperhatikannya lagi karena perhatiannya tercurah ke sebelah belakang kuil dan dia memandang dengan jantung berdebar tegang. Kiranya tiga orang tadi sudah berada di halaman belakang kuil, berdiri dengan sikap tegak dan bersiap-siap menghadapi seorang kakek yang aneh!

Kun Liong dari balik daun-daun dan batang-batang bambu kuning, mengintai penuh perhatian. Kebetulan sekali kakek aneh itu tidak membelakanginya benar duduknya sehingga dia dapat melihat muka kakek itu dari samping. Dia seorang kakek yang berpakaian serba putih, hanya merupakan kain panjang membelit-belit tubuhnya yang tinggi kurus. Rambutnya sudah berwarna dua, digelung ke atas model sanggul para tosu (pendeta beragama To), kedua kakinya memakai kaus kaki dan sandal pendeta. Tosu yang usianya tentu tidak kurang dari enam puluh tahun ini duduk bersila di atas sebuah benda yang aneh. Benda itu berbentuk bunga teratai, berwarna putih. Bunga logam putih yang terletak di tengah halaman dan di sekeliling kakek itu tampak goresan di atas tanah yang bergaris tengah tiga meter lebih. Agaknya kedatangan tiga orang petani bertopi caping lebar itu tidak dipedulikan tosu yang duduk bersila sambil memejamkan mata memangku sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira tiga kaki.

“Totiang, harap maafkan kalau kami datang mengganggu totiang yang sedang beristirahat dalam kuil tua ini.” Seorang di antara tiga orang petani itu, yang memelihara cambang melintang di bawah hidung, menjura sambil mengeluarkan kata-kata yang nadanya sopan menghormat itu.

Tosu tua itu membuka kedua matanya dan terkejutlah tiga orang itu melihat betapa mata tosu itu hampir tidak tampak hitamnya. Mata seorang buta, atau setidaknya tentu lamur!

“Siancai…! Sam-wi ada keperluan apakah?”

“Kami kebetulan lewat di dalam hutan dan di depan kuil kami melihat dua orang yang telah menjadi mayat. Setelah itu kami telah mendengar di kota bahwa sepekan yang lalu, di dalam hutan pohon pek di selatan kota, juga terdapat mayat lima orang dengan ciri yang sama, yaitu dahi mayat-mayat itu terdapat tanda tapak jari tangan putih. Totiang yang berada di dalam kuil ini tentu mengetahui sebab kematian dua orang di luar kuil itu. Maukah totiang memberitahukan kepada kami?”

Sejenak kakek itu hanya memandang ketiga orang tadi penuh perhatian, seolah-olah kedua matanya dapat melihat dengan jelas. Biarpun tiga orang itu merasa yakin benar bahwa dua buah mata yang maniknya yang sudah menjadi putih itu tidak dapat melihat dengan baik, mereka merasa tidak enak dan diam-diam bulu tengkuk mereka meremang ketika sepasang mata itu ditujukan kepada mereka sampai lama tidak pernah berkejap! Kemudian, sepasang mata itu dipejamkan, kakek itu lalu membuka mulutnya dan bernyanyi!

“Bunga suci, Teratai Putih

di tengah lumpur, tetap bersih,

Siapa saja hendak mengotori

berarti mencari mati sandiri!

Jika ada yang melanggar

garis lingkaran pemisah

dia akan menjadi korban

Pek-tok-ci yang sakti!”

Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka memandang ke arah garis lingkaran yang melingkari tempat duduk aneh kakek itu. Si Cambang Melintang melangkah maju selangkah, di luar garis lingkaran dan dia membentak sambil mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Tosu Pek-lian-kauw, kami telah mengenal engkau! Menyerahlah, kami adalah petugas-petugas pemerintah yang bertugas menangkap Loan Khi Tosu tokoh Pek-lian-kauw!”

Tosu lamur (setengah buta) itu kembali membuka matanya dan tersenyum “Kiranya tiga ekor anjing pemerintah! Pinto (aku) memang Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw. Habis kalian mau apa! Pinto tetap takkan mengganggu kalian asalkan tidak melanggar garis lingkaran. Hal ini sudah menjadi pegangan pinto!” Setelah berkata dernikian, kakek itu mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya pada bunga teratai putih dari logam yang didudukinya. Terdengar bunyi nyaring berirama kemudian bunyi ketukan itu dijadikan irama mengikuti nyanyian kembali dinyanyikan oleh Si Kakek yang aneh. Akan tetapi berbeda dengan tadi, suara yang menyanyikan lagu ini terdengar menggetar dan melengking menusuk telinga!

“Tahu akan kebodoban sendiri

adalah waspada,

tidak tahu mengaku tahu

adalah sebuah penyakit,

yang mengenal kenyataan ini

berarti sehat!

Sang Bijaksana berpikiran sehat

melihat penyelewengan

seperti apa adanya

karenanya takkan pernah sakit.

Siancai…!”

Kun Liong yang bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning, terkejut bukan main ketika mendengar suara nyanyian itu. Dia mengenal kata-kata nyanyian itu sebagai ujar-ujar dalam kitab To-tik-khing yang banyak berubah, akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya itulah! Suara itu amat tidak enak bagi telinganya, melengking tinggi rendah dan seolah-olah kedua telinganya ditusuk-tusuk jarum! Yang lebih hebat lagi, tiga orang yang sudah mencabut pedang itu, kini berdiri terhuyung-huyung, tidak dapat berdiri tegak dan mereka itu kelihatan ragu-ragu untuk menyerang karena muka mereka pucat sekali dan tubuh mereka agak menggigil!

Kakek itu mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas bukan orang baik, pikirnya dan karena diapun tidak akan mampu berbuat sesuatu, untuk mengganggu kakek itu diapun lalu membarengi kakek itu, bahkan mendahuluinya sedikit, bernyanyi. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah lagu pengemis tadi. Maka terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini.

“Langit di atas bumi di bawah

tahu akan kebodohan sendiri

mengapit ketidakadilan

adalah waspada!

perut lapar minta makan

tidak tahu mengaku tahu

minta kepada siapa

adalah sebuah penyakit!

ayah sendiri pun belum makan

yang mengenal kenyataan ini

semua kelaparan

berarti sehat.”

Baru sampai di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itupun sudah menerjang maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan tubuh mereka tidak lagi pucat seperti tadi. Tanpa disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah itu. Mereka sebetulnya adalah perwira-perwira petugas keamanan yang melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Ketika tosu tadi bernyanyi, dia mempergunakan khi-kang mengerahkan sin-kangnya dan suaranya itu merupakan serangan yang amat hebat. Bagi orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia dapat mempergunakan suara untuk mencelakakan lawan, seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi. Suara dapat menyerang melalui pendengaran, mengusik hati mengacau pikiran dan menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan membunuhnya tanpa turun tangan! Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih bebas, atau setidaknya belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia dewasa, biarpun suara itu amat tidak enak didengarnya, namun Kun Liong tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar sebagai petani-petani itu. Kemudian tanpa disengajanya, hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khi-kang dalam nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya sendiri! Hal ini membuat tiga orang tadi pulih kembali keadaannya dan mereka lalu menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya.

Tiga orang perwira itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah kepala-kepala pegawai di kota Leng-kok dan menjadi orang-orang kepercayaan kepala daerah kota Leng-kok. Mereka adalah bekas anak buah Jenderal Yung Lo dan kini telah menjadi kaisar. Ilmu kepandaian mereka cukup tinggi dan kini mereka mengurung tosu itu dengan membentuk barisan segitiga.

Si Cambang Melintang rupa-rupanya menjadi pimpinan mereka. Dia lebih dulu membentak keras dan menyerang dengan pedangnya, menusuk ke leher tosu itu dari samping kiri. Gerakannya cepat dan kuat sekali, dan menyusul gerakannya ini, temannya yang berada di depan tosu itu telah menerjang dengan tusukan pedang ke arah perut. Orang ke tiga segera menyusul dengan sambaran pedangnya yang membabat ke arah kaki lawan. Dengan demikian, secara beruntun dan cepat sekali merupakan rangkaian serangan bersambung, tosu itu dihujani serangan ke leher, perut, dan kakinya!

Melihat sinar tiga batang pedang berkilat menyambar secara berturut-turut itu, Loan Khi Tosu tidak menjadi gentar atau gugup. Dengan tenang-tenang saja dia menggerakkan tongkat, menangkis pedang yang menyambar leher, tongkatnya dipentalkan dan langsung menangkis pedang yang menusuk perut dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga sambaran pedang ke arah kakinya itu tidak mengenai sasaran. Dari atas, dia sudah menggerakkan lagi tongkatnya, menusuk ke arah ubun-ubun kepala Si Cambang, dan menampar dengan tangan kiri ke arah orang di depan, sedangkan kakinya menendang ke arah orang di sebelah kanannya. Dapat dibayangkan betapa cepat gerakan kakek itu yang selagi tubuhnya masih berada di atas telah dapat mengirim serangan kepada tiga orang lawannya sekaligus!

Namun, tiga orang lawannya juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian segera menyerang lagi secara teratur ketika kakek itu sudah turun kembali. Pertandingan yang seru terjadi di halaman belakang kuil itu. To-su itu agaknya tadi memandang rendah para pengeroyoknya yang disangkanya sama lemahnya dengan dua orang musuh yang baru saja dibunuhnya. Disangkanya bahwa sekali menggerakkan tongkatnya, dia akan dapat membunuh mereka. Setelah kini ternyata tiga orang perwira itu belum juga dapat dirobohkan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus lebih, hanya mampu mendesak mereka saja dengan gerakan tongkatnya, dia menjadi penasaran dan marah sekali.

“Mampuslah kalian!” bentaknya dan tiga orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Si Tosu melakukan gerakan cepat, tangan kirinya menyerang mereka bertubi-tubi dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa pukulan panas seperti api! Tahulah mereka bahwa kakek itu telah mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang selama ini dipergunakan untuk membunuhi orang, pukulan Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih) yang selalu meninggalkan bekas tapak jari tangan pada tubuh korbannya. Karena tahu akan kelihaian jari tangan itu, mereka mencelat mundur, sama sekali tidak menyangka bahwa pada saat itu, Loan Khi Tosu yang lihai telah meniup ujung tongkatnya tiga kali dan tampak sinar hitam berkelebat tiga kali ke arah tiga orang perwira itu. Mereka berteriak kaget dan terjungkal roboh, leher mereka terkena serangan gelap berupa jarum-jarum hitam yang ternyata disembunyikan di dalam tongkat yang berlubang itu dan yang dipergunakan sebagai semacam sumpit.

“Heh-heh, mata-mata laknat, anjing pemerintah yang busuk. Kalian harus mati!” Tosu itu melangkah lebar menghampiri tiga orang yang telah terluka, mengangkat tongkatnya hendak mengirim pukulan terakhir.

“Kakek tua bangka, engkau jahat sekali, ya?”

Loan Khi Tosu menahan tongkatnya, membalikkan tubuh dan melihat seorang anak laki-laki lari menghampirinya sambil memandangnya dengan sepasang mata yang jernih itu menyinarkan kemarahan. Setelah tiba di depan tosu itu, Kun Liong bertolak pinggang dan berkata, suaranya lantang penuh keberanian dan kemarahan.

“Melihat pakaianmu, engkau tentulah seorang tosu dan menurut pengetahuanku seorang pendeta selalu mengutamakan kebaikan dan pantang melakukan kejahatan! Di dalam kitab-kitab Agama To tidak terdapat pelajaran yang membenarkan kekejaman, bahkah Nabi Lo-cu selalu menentang kekerasan. Mengapa engkau ini seorang tosu, begini kejam dan suka melakukan pembunuhan?”

Loan Khi Tosu tercengang dan sejenak tak dapat bicara, hanya memandang anak itu dengan pengerahan kekuatan matanya agar dapat melihat lebih jelas. Matanya yang lamur hanya melihat bentuk seorang anak laki-laki dan hanya pendengaran telinganya yang jelas menangkap suara itu dan ia menduga bahwa anak itu tentu tidak lebih dari sepuluh tahun usianya. Kalau yang menegurnya seorang dewasa, teguran itu tentu dianggapnya penghinaan dan membuatnya marah, akan tetapi yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Belum pernah selama hidupnya dia menghadapi hal yang seaneh ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,

“Siancai… agaknya engkau juga yang tadi mengacaukan nyanyianku. Engkau sungguh bernyali besar dan karena keberanianmu itu aku suka menjawab. Ketahuilah bahwa tosu dari Pek-lian-kauw selain mengutamakan kebajikan dan kegagahan, terutama sekali kekerasan terhadap musuh. Membunuh musuh bukanlah perbuatan kejam namanya…”

“Omong kosong! Membunuh tetap membunuh, membunuh siapapun juga, dengan alasan apapun juga, pembunuh namanya dan membunuh adalah perbuatan yang paling terkutuk, paling keji dan yang paling busuk di dunia ini!”

Loan Khi Tosu menggerakkan kedua pundaknya. “Karena kau seorang anak-anak, pinto kagum menyaksikan sikapmu. Kalau engkau sudah dewasa dan mengeluarkan kata-kata seperti itu berarti engkau musuh pula dan tentu telah pinto bunuh. Sudahlah, pinto tidak ada waktu melayani seorang anak kecil!” Tosu itu membalik, dan kini tongkatnya digerakkan ke arah tubuh tiga orang lawannya yang sudah roboh pingsan itu!

“Wuuuuttt… trakkkk!!”

Loan Khi Tosu meloncat ke belakang, tongkatnya tergetar dan hanya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya saja membuat dia berhasil mencegah tongkatnya terlepas dari pegangannya.

“Siancai…! Siapakah engkau dan mengapa berani mencampuri urusan pinto?” Loan Khi Tosu menegur seorang laki-laki yang tadi menangkis tongkatnya dan yang kini berdiri dengan tenang di depannya sambil menyimpan kembali senjatanya yang istimewa karena senjatanya itu berupa sepasang pit (alat tulis, pensil buku) hitam dan putih.

Laki-laki itu berpakaian sastrawan, sederhana pakaian dan sikapnya, namun di balik kesederhanaannya, tampak kegagahan yang berwibawa. Wajahnya tampan tubuhnya tegak dan padat berisi membayangkan tenaga yang halus dan kuat, usianya kurang sedikit dari empat puluh tahun, namun rambut di atas sepasang telinganya sudah mulai bercampur uban. Dia bernama Yap Cong San, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, murid dari Tiang Pek Hosiang, tokoh nomor satu di Siauw-lim-pai, bekas ketua yang kini tidak muncul lagi di dunia ramai karena telah bertapa untuk selamanya dalam Ruang Kesadaran, yaitu di sebuah ruangan tertutup dari kuil Siauw-lim-pai.

Yap Cong San sendiri telah dipecat sebagai anak murid Siauw-lim-pai, pemecatan yang berdasarkan kebijaksanaan Ketua Siauw-lim-pai karena ingin menjaga baik nama Siauw-lim-pai, akan tetapi pribadi pendekar ini tidak dimusuhi, bahkan dianggap sebagai sahabat baik dari Siauw-lim-pai. Bagi para pembaca cerita “Pedang Kayu Harum”, nama Yap Cong San tentu bukan nama yang asing. Akan tetapi untuk para pembaca cerita ini yang belum membaca “Pedang Kayu Harum” sebaiknya berkenalan dengan Yap Cong San secara singkat.

Setelah kehilangan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San menikah dengan seorang pendekar wanita perkasa yang bernama Gui Yan Cu, seorang wanita amat cantik jelita, berkepandaian tinggi dan juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suami isteri ini tinggal di kota Leng-kok, membuka sebuah toko obat dan mereka mempunyai seorang putera, yaitu Yap Kun Liong, anak yang pemberani tadi. Karena dia sendiri seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai yang lihai dan sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, setelah menjadi suami Gui Yan Cu dan membuka toko obat, Yap Cong San mempelajari ilmu pengobatan sehingga sering kali dia mewakili isterinya memeriksa dan mengobati orang sakit. Isterinya hanya memeriksa wanita-wanita yang sakit. Karena pekerjaannya ini, Yap Cong San lebih dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan disebut Yap-sinshe daripada seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Sudah bertahun-tahun dia dan isterinya tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, seakan-akan sepasang suami isteri pendekar ini bersembunyi di kota kecil Leng-kok, sehingga jarang ada orang mengenal namanya.

Ketika tadi mendengar dari pencari kayu yang menjadi langganannya pula, bahwa Kun Liong berkeliaran di dalam hutan di luar kota, sedangkan menurut pencari kayu itu, di dalam hutan terdapat orang-orang yang aneh dan mencurigakan, Yap Cong San merasa khawatir sekali. Cepat dia lalu meninggalkan toko obatnya, menyuruh isterinya menjaga dan dia sendiri pergi ke dalam hutan membawa sepasang senjatanya yang istimewa, yaitu Im-yang-pit hitam putih. Dahulu Yap Cong San terkenal sekali dengan ilmu silatnya, terutama sekali permainan Im-yang-pit, sepasang pensil yang tidak hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan juga dapat dipakai untuk menulis. Di samping sepasang Im-yang-pit ini, dia juga mahir melepas senjata rahasia berupa uang logam tembaga yang selain dapat dipakai berbelanja, juga dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang amat berbahaya, disebut Touw-kut-ji (Uang Logam Penembus Tulang).

Pendekar ini tiba di belakang kuil, tepat pada saat Loan Khi Tosu menggerakkan tongkat pendek membunuh tiga orang yang telah terluka itu. Sebagai seorang pendekar, biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak mempunyai urusan kang-ouw, tak mungkin dia membiarkan saja pembunuhan dilakukan di depan matanya. Cepat dia meloncat ke depan menggerakkan senjatanya menangkis sehingga tongkat tosu itu terpental.

Sebelum menjawab, Yap Cong San melirik ke arah puteranya yang masih berdiri di situ dan Kun Liong tersenyum kepada ayahnya, senyum yang memancing maaf dari ayahnya. Sejak kecil, Kun Liong paling takut kepada ayahnya dan paling manja kepada ibunya. Mungkin karena ayahnya keras maka ibunya memanjakannya atau bisa jadi juga sebaliknya, karena ibunya memanjakannya maka ayahnya bersikap keras kepadanya. Melihat puteranya tidak apa-apa, legalah hati pendekar itu dan ia cepat menjura kepada tosu yang bermata lamur itu.

“Totiang, saya tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena pekerjaanku adalah menolong orang sakit, sedapat mungkin berusaha mencegah kematian merenggut nyawa orang, tentu saja saya tidak tega menyaksikan totiang hendak membunuh orang.”

“Ayah, kakek tua bangka ini sudah membunuh banyak sekali orang. Dia iblis jahat!” Tiba-tiba Kun Liong berkata menudingkan telunjuknya kepada tosu itu.

“Kun Liong, diam!” Ayahnya membentak.

Tosu itu mengangguk-angguk. “Hemm kiranya dia anakmu? Pantas pemberani, kiranya ayahnya seorang yang lihai. Gerakanmu tadi jelas menunjukkan bahwa engkau tentu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai sekali, sicu (orang gagah). Karena Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan besar yang disegani dan dihormati oleh perkumpulan kami, biarlah pinto mengalah terhadapmu dan ketahuilah bahwa pinto adalah Loan Khi Tosu, pemimpin Pek-lian-kauw di daerah ini. Yang terbunuh oleh pinto adalah kaki tangan pemerintah yang selalu memusuhi kami, maka pinto harap sicu tidak ikut campur.”

Yap Cong San memang sudah menduga bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw ketika ia melihat bunga teratai putih dari baja itu. Dia menjadi tidak enak hati karena maklum bahwa Pek-lian-kauw adalah kumpulan orang-orang yang menentang pemerintah, yang menganggap pemerintah mulai menyeleweng, pembesar-pembesarnya tukang korup dan rakyat mulai ditindas pula, tidak becus menanggulangi gangguan-gangguan yang datang dari para bajak laut yang hanya menyusahkan kehidupan rakyat. Dia menganggap mereka itu sekumpulan orang-orang yang memberontak, namun karena dia melihat pula akan keadaan pemerintah yang makin memburuk, maka dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri pertentangan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah itu.

“Totiang, saya datang hanya untuk menyusul anak saya yang ternyata berada di sini. Karena totiang tidak mengganggu anak saya, maka sayapun tidak akan mengganggu totiang, akan tetapi tiga orang yang terluka itu menjadi tanggungan saya untuk mencoba mengobati dan menyembuhkannya.”

Tosu itu menyeringai, “Heh-heh, boleh kaucoba, sicu. Dan melihat muka sicu, pinto mau mengampuni mereka. Bolehkah pinto mengetahui nama besar sicu?”

“Saya hanyalah seorang biasa saja yang tidak terkenal, tidak ada gunanya dikenal oleh seorang tokoh Pek-lian-kauw seperti totiang.”

Tosu itu mendengus. Dia maklum dari tangkisan tadi bahwa yang berada di depannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi. Karena itu, dia tidak mau mencari perkara dan suka mengalah, pertama karena agaknya akan sukar baginya menandingi lawan ini, ke dua karena para pimpinan Pek-lian-kauw dengan keras melarang Pek-lian-kauw mencari bibit permusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai yang amat kuat.

“Kalau begitu, selamat tinggal dan sampai jumpa, sicu!” Tosu itu menyambar bunga teratai putih dari baja yang tadi menjadi tempat duduknya, kemudian sekali meloncat dia sudah lenyap dari situ, tubuhnya melayang cepat sekali keluar dari kuil tua.

“Ayah, mengapa ayah membiarkan si jahat itu pergi?” Kun Liong bertanya penasaran.

Ayahnya memandangnya dengan bengis. “Kun Liong, jangan mencampuri urusan orang lain! Mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?”

Mendengar suara ayahnya dan melihat sikap bengis itu, Kun Lion menundukkan muka dan menjawab lirih. “Tadinya aku hendak mencari bambu kuning, ayah…”

“Hemmm, mencari bambu tapi melibatkan diri dengan urusan gawat! Anak lancang, kau tak tahu akan bahaya. Kalau tosu itu berhati kejam, apa kaukira sekarang engkau masih hidup? Hayo lekas pulang dan minta bantuan orang untuk mengangkut mereka yang terluka ini. Cepat!”

Kun Liong mengangguk-angguk lalu melarikan diri secepatnya pulang ke kota untuk memenuhi perintah ayahnya. Yap Cong San lalu berlutut memeriksa keadaan tiga orang itu. Mereka belum tewas, bahkan Si Cambang Melintang sudah siuman.

“Yap… sinshe… tolonglah kami…” katanya sambil mengeluh.

Pendekar itu mengenal mereka sebagai perwira-perwira pengawal kepala daerah, maka ia mengangguk dan memeriksa. Kiranya di leher tiga orang itu menancap sebatang jarum hitam. Melihat keadaan luka di sekeliling jarum yang kulitnya menghitam, tidak ragu lagi hatinya bahwa jarum itu tentu mengandung racun yang jahat. Pek-lian-kauw selain terkenal mempunyai banyak orang pandai, juga terkenal dengan keahlian mereka mempergunakan racun. Cepat dia mencabuti jarum-jarum itu dan kembali Si Cambang Melintang jatuh pingsan.

Tak lama kemudian datanglah sepasukan pengawal dari Ma-taijin terdiri dari belasan orang. Pasukan ini dikirim setelah ibu Kun Liong mendengar dari puteranya akan peristiwa di kuil tua dan nyonya perkasa itu sendiri melaporkan kepada kepala daerah.

Tubuh tiga orang perwira pengawal itu, juga mayat dua orang yang terdahulu dibunuh Loan Khi Tosu diangkut. Yap Cong San mengikuti dari belakang setelah menyimpan tiga batang jarum hitam. Jarum-jarum itu perlu untuk diselidiki racunnya sebelum dia mengobati tiga orang perwira itu, dan dia perlu berunding dengan isterinya yang lebih ahli dalam hal racun dibandingkan dengan dia.

Setelah memasuki kota Leng-kok, para korban itu langsung diangkut ke perkemahan kepala daerah sedangkan Cong San pulang ke rumahnya untuk berunding dengan isterinya dan mengambil obat.

***

“Sungguh menjengkelkan sekali tosu itu, ibu. Sayang bahwa ayah membiarkannya pergi begitu saja setelah dia membunuh dua orang dan melukai tiga orang. Enak sekali bagi tosu itu. Padahal aku yakin ayah pasti mengalahkannya!” Kun Liong mengomel depan ibunya.

Nyonya Yap Cong San atau Gui Yan Cu, yang masih kelihatan cantik dan muda sekali biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, tersenyum dan menarik tangan puteranya, dirangkulnya penuh kasih sayang.

“Habis, kalau menurut pendapatmu, dia harus diapakan? Apakah ayahmu harus membunuhnya?”

Kun Liong menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak. “Membunuh? Ayah membunuhnya? Aihh! Sama sekali tidak, ibu. Bukan maksudku supaya ayah menjadi pembunuh. Akan tetapi sedikitnya, tosu itu harus ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib agar supaya mendapat hukuman atas kejahatannya. Kalau dibiarkan saja terlepas seperti yang dilakukan ayah, bukankah terlalu enak?”

“Husshh, kau tahu apa, Kun Liong? Di balik peristiwa itu tentu ada hal-hal lain sehingga ayahmu membiarkannya pergi. Kalau mendengarkan ceritamu tadi, tosu itu yang duduk di atas sebuah bunga teratai putih dari baja, dan mendengar nyanyian seperti yang kauceritakan tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Karena itulah ayahmu ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat.”

“Ibu, apakah Pek-lian-kauw itu?”

“Dijelaskan juga engkau takkan mengerti, anakku. Pek-lian-kauw sebuah perkumpulan besar yang menentang pemerintah.”

“Apakah ayah takut kepada Pek-lian-kauw?”

“Bukan soal takut atau berani, akan tetapi ayahmu tidak mau terlibat pertentangan besar itu, dan aku membenarkan ayahmu karena memang tidak ada gunanya melibatkan diri, akan membawa akibat yang berkepanjangan dan hebat. Yang penting sekali adalah bahwa engkau tidak diganggunya dan syukur demikian, hatiku sudah khawatir sekali tadi ketika pencari kayu memberi tahu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar