Sebaliknja Ban Ka mendapat hati malah, disangkanja Tik Hun mulai kewalahan, ia mentjetjar semakin tjepat dengan serangan2 bagus dan lihay.
Ber-ulang2 Tik Hun terdesak mundur, bentaknja: “Hai, aku tidak berkelahi sungguh2 dengan kau, tapi mengapa engkau begini?”
“Begini apa? Aku ingin melubangi dadamu, tahu?” sahut Ban Ka, tiba2 pedangnja menusuk pula dengan tjepat.
Sambil mengegos, Tik Hun melihat kesempatan baik, tjepat pedangnja membalik terus menabas. Kalau tabasan itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas, namun Tik Hun telah ajun pedangnja dengan membudjur, “plak”, pundak Ban Ka hanja digeblak sadja sekali dengan batang pedang.
Dengan kedjadian itu Tik Hun anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan mundur teratur, sebab biasanja kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Djik Hong,
Asal salah seorang kena tersenggol sendjata lawan, selesailah sudah pertandingan itu.
Tapi Ban Ka tidak mau peduli, dari malu ia mendjadi kalap malah, mendadak ia menusuk pula. Karena tidak ber-djaga2, “tjrat”, Tik Hun merasa pahanja kesakitan sekali.
Maka bersoraklah Loh Kun, Tjiu Kin dan lain2, mereka meng-olok2: “Nah, robohlah sekarang anak desa!”
“Hajo, minta ampun tidak?”
“Huh, murid anak kampung adjaran Djik-susiok tidak lebih tjuma beberapa djurus tjakar-kutjing seperti ini sadja !”
Memangnja Tik Hun sudah gusar karena dilukai, mendengar nama Suhunja dihina pula, karuan seperti api disiram minjak, dengan murka ia putar pedangnja menjerang serabutan.
Melihat Tik Hun mengamuk seperti banteng ketaton, Ban Ka mendjadi djeri malah. Sedjak ketjil ia sangat dimadjakan orang tua, meski ilmu pedangnja terlatih dengan bagus, namun menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah dialaminja. Dan karena bingungnja itu, permainan pedangnja mendjadi katjau.
Diantara murid2 Ban Tjin-san itu, Bok Heng adalah jang paling tjerdik. Melihat Samsuhengnja ketjetjar, segera ia djemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnja kepunggung Tik Hun.
“Plok”, Tik Hun jang lagi pusatkan perhatiannja untuk merangsak Ban Ka, punggungnja mendjadi kesakitan tertimpuk batu itu.
Ia menoleh sambil memaki: “Tidak tahu malu! Main membokong, huh!”
“Ada apa? Kau bilang apa?” Bok Heng berlagak pilon.
Namun Tik Hun sudah nekad, ia pikir biarpun mereka berdelapan madju semua djuga ia akan lawan mati2an untuk mendjaga nama baik gurunja. Saking kalapnja permainan Tik Hun mendjadi tak karuan.
Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menjerang.
Tiba2 Bok Heng mengedipi Laksute Go Him, katanja: “Ilmu pedang Samsuheng terlalu hebat, anak desa ini sudah kewalahan, kalau djiwanja sampai melajang, tentu kita akan dimarahi Djik-susiok, marilah kita berdua madju untuk mendjaga segala kemungkinan!”
Go Him paham maksud Gosuhengnja itu, sahutnja: “Benar, kita harus hati2, djangan sampai pedang Samsuheng mentjelakai anak kampung itu.”
Berbareng mereka terus melompat madju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun dari kanan-kiri
Memangnja ilmu pedang Tik Hun tidak banjak lebih unggul daripada Ban Ka, tjuma ia merangsak dengan mati2an, maka Ban Ka terdesak.
Tapi kini dikerojok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu lawan tiga, tentu sadja ia kerepotan, segera paha jang lain tertusuk lagi. Luka sekali ini sangat berat, ia takbisa berdiri tegak lagi dan djatuh terduduk, namun pedangnja masih terus dilantjarkan.
Tiba2 Lok Kun mendengus, sekali kakinja melajang, pedang Tik Hun kontan terpental dari tjekalan. Terus sadja Ban Ka antjam tenggorokan Tik Hun dengan udjung pedangnja, sedang Bok Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.
“Sekarang aku takluk tidak, anak desa?” tanja Ban Ka dengan senang.
“Takluk kentutmu!” semprot Tik Hun. “Kalian berempat mengerojok aku, terhitung orang gagah matjam apa?”
“Kau masih berani mengotjeh?” teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit pedangnja hingga udjungnja masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. “Hm asal sedikit kutusukkan lagi, tenggorokanmu seketika akan putus!”
“Tusuklah, tusuklah lekas, kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2,” seru Tik Hun.
Karuan Ban Ka semakin murka, mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki: “Mulutmu masih berani kotor tidak?”
Tendangan itu membuat isi perut Tik Hun se-akan2 terdjungkir balik, hampir2 ia mendjerit, namun ia bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: “Haram djadah, anak kura2!”
Kembali Ban Ka menendang pula, sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanja ber-kunang-kunag, hampir2 djatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnja sudah tak kuasa lagi.
“Biarlah harini kuampuni kau, bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah kami mengerojok dan menghadjar kau! Hm, matjammu pasti djuga akan pakai menangis segala!” kata Ban Ka.
“Menangis apa?” seri Tik Hun. “Seorang laki2 kalau mau membalas sakit hati, harus dikerdjakan oleh tangan sendiri, buat apa mesti lapor guru?”
Memang Ban Ka sangat mengharapkan utjapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia memantjing: “Atau kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu jang akan tanja padamu.”
Berbareng ia ajun kakinja lagi menendang mukanja Tik Hun, kontan sadja mukanja matang-biru dan air mata hampir menetes.
“Haha, katanja laki2 segala, begitu sadja sudah menangis! Laki2 telah berubah mendjadi wanita!” sindir Bok Heng dengan tertawa.
Hampir meledak dada Tik Hun saking gusarnja. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu kerumah gurunja, Tik Hun telah membelikan arak dan sembelihkan ajam, tapi pembalasannja sekarang ternjata begitu kedji.
“Nah, kau takbisa menangkan aku, boleh djuga kau laporkan kepada ajahku agar ajah memarahi aku untuk melampiaskan rasa dendammu ini,” kata Ban Ka.
“Huh, kau sangka semua orang pengetjut seperti kau hingga mesti mengadu-biru kepada orang tua?” sahut Tik Hun.
Ban Ka saling pandang dengan Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah tjukup melampiaskan dongkol mereka harini, segera Ban Ka masukan pedangnja dan berkata pula: “Anak desa, kalau kulitmu tjukup tebal dan ingin dihadjar pula, boleh kau datang kesini lagi besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!”
Sambil memandangi bajangan kedelapan orang itu, hati Tik Hun mendjadi gusar dan gemas, tapi tidak mengarti pula sebab apakah mereka telah menghadjarnja begitu rupa? Apa barangkali semua orang kota memang djahat begini?
Ia tjoba merangkak bangun, tapi terasa pujeng kepalanja, kembali ia terduduk.
“Ai, kalau tidak bisa melawan orang, seharusnja lekas mendjura dan minta ampun, tapi kalau dihadjar mentah2 seperti ini, bukankah sangat penasaran?” tiba2 suara seorang menggerundel dibelakangnja.
Tik Hun mendjadi gusar, teriaknja: “Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku mendjura dan minta ampun!”
Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinja sambil mem-bungkuk2. Segera dapat dikenalnja sebagai pengemis tua siang tadi.
“Ai, kalau sudah tua, entjok dipunggung selalu kumat sadja,” demikian pengemis itu mengomel pula. “Eh, anak muda, maukah kau memidjat punggungku ini?”
Memangnja rasa dongkol Tik Hun lagi belum terlampiaskan, masakah kini disuruh memidjat seorang pengemis tua jang kotor? Namun karena wataknja peramah, maka permintaan pengemis itu tak digubrisnja.
“Ai, dasar orang tidak punja anak-tjutju, sesudah tua, tiada seorangpun jang sudi memperhatikan aku, oh……..uh……..” sambil me-rengek2 pengemis itupun bertindak pergi.
Watak Tik Hun memang polos dan welas asih, ia lihat pengemis itu menggigil sangat menderita. Apalagi orang desa sangat mengutamakan gotong-rojong, saling bantu-membantu kalau ada kesukaran, ditambah lagi barusan dirinja habis dihadjar orang, maka timbul djuga rasa senasib dan sependerita.
Segera serunja: “Oi, aku masih punja beberapa pitjis, ambillah ini untuk membeli nasi!”
Dengan ber-ingsut2 pengemis itu mengesak kembali untuk menerima pemberian Tik Hun itu, tiba2 katanja pula: “Anak muda, punggungku benar2 entjok, sudilah engkau meng-ketuk2nja?”
“Kurangadjar”, pikir Tik Hun, “sudah dikasih hati, ingin merogoh rempela pula”.
Tapi dasarnja dia memang ramah, segera katanja: “Baiklah, tunggu dulu aku membalut luka dikakiku ini.”
“Huh, kau tjuma pikirkan kepentingan sendiri dan tidak peduli urusan orang lain, terhitung orang gagah matjam apa?” djengek pengemis itu.
Karena pantjingan kata2 itu, terus sadja Tik Hun berseru: “Baiklah, sekarang djuga aku ketuk punggungmu.”
Lalu mereka berduduk dan Tik Hun memukuli entjok dipunggung sipengemis tua.
“Ehm, enaknja, hajolah keras sedikit!” kata pengemis itu.
Tik Hun menurut, ia memukul sedikit keras. Tapi pengemis itu merasa kurang keras pula, segera Tik Hun tambahi tenaganja.
Namun pengemis itu masih belum puas, katanja: “Ai, anak jang tak berguna. Baru sadja dihadjar orang begitu sudah kehilangan tenaga, tjuma mengetuk punggung orang tua sadja tidak kuat. Huh, orang begini buat apa lagi hidup dunia ini?”
Tik Hun mendjadi gusar, katanja: “Kalau kukeluarkan tenaga, mungkin beberapa kerat tulangmu jang sudah lapuk ini bakal berantakan!”
“Kalau engkau beanr2 mampu meremukan tulangku jang lapuk ini, tentu kau takkan kena dihadjar orang seperti tadi,” udjar sipengemis dengan tertawa.
Dengan mendongkol benar2 Tik Hun mengetuk se-keras2nja.
“Nah, beginilah baru mendingan! Tapi toh masih kurang!”
“Blang”, mendadak Tik Hun menghantam keras2.
“Ah, masih kurang, masih kurang keras, pertjuma!” kata sipengemis dengan tertawa.
“Djangan engkau bergurau, Laupek, aku tidak ingin melukai engkau,” udjar Tik Hun.
“Hm, matjammu djuga mampu melukai aku?” djengek sipengemis. “Kenapa kau tidak tjoba2 hantam aku sepenuh tenagamu….”
Dengan dongkol segera Tik Hun kerahkan tenaga ditangan kanan terus hendak menggebuk kepunggung orang, tapi demi nampak keadaan pengemis itu sudah lojo, ia mendjadi tidak tega, katanja: “Ah, buat apa main2 dengan kau.”
Lalu perlahan pula ia mengetuk punggung orang.
Diluar dugaan, entah mengapa mendadak tubuhnja terpental, “bluk”, ia terbanting ke-semak2 rumput sana hingga kepala pujeng dan mata ber-kunang2, sampai lama baru ia sanggup merangkak bangun. Namun Tik Hun tidak marah, sebaliknja ia ter-heran2, ia pandang si pengemis itu dengan tertjengang. Tanjanja kemudian: “Apakah……..apakah engkau jang membanting aku?”
“Disini toh tiada orang ketiga, kalau bukan aku, siapa lagi?” sahut pengemis itu.
“Dengan tjara bagaimana engkau membanting aku?”
“Dengan djurus ‘Ki-thau-bong-beng-goat, keh-thau-su-ko-hiang’ (mendongak memandang rembulan, menunduk merindukan kampung halaman)!” sahut sipengemis.
“Aneh, bukankah itu adalah djurus ilmu pedang jang diadjarkan Suhu kepadaku, dari………darimana engkau tahu?”
“Ilmu pukulan atau ilmu pedang semuanja sama. Lagipula tjara mengadjar gurumu itu hakikatnja salah,”
Tik Hun mendjadi gusar: “Manabisa guruku salah? Hm, pengemis tua seperti kau djuga berani mentjela guruku?”
“Habis, bila memang benar adjaran gurumu, mengapa kau dihadjar orang?”
“Aku dikerojok, dengan sendirinja kewalahan. Tjoba kalau satu-lawan-satu, masakan aku kalah?”
“Hahaha!” sipengemis tertawa. “Berkelahi masakah pakai aturan segala? Biar kau ingin ‘main single’, kalau musuh tidak mau, kau bisa berbuat apa? Achirnja kau tentu dihadjar setengah mati hingga minta ampun. Tapi kalau seorang diri dapat mengalahkan sepuluh atau duapuluh orang, itulah baru gagah.”
Benar djuga, pikir Tik Hun, tapi katanja pula: “Mereka adalah anak murid Supek, kepandaian Kiam-hoat mereka tidak banjak selisih daripada aku, aku dikerojok delapan orang, sudah tentu aku kalah.”
“Umpama aku adjarkan beberapa djurus agar engkau seorang dapat mengalahkan mereka berdelapan, kau mau beladjar tidak?”
“Mau, mau!” seru Tik Hun kegirangan. Tapi lantas terpikir olehnja didunia ini masakah ada kepandaian sehebat itu, apalagi pengemis ini sudah tua dan kotor, tidak mirip seorang berilmu.
Tengah ia ragu2, se-konjong2 tubuhnja terpental lagi, sekali ini sampai berdjumpalitan dua kali diudara hingga mentjelat lebih tinggi barulah kemudian terbanting kebawah terlebih keras. Masih Tik Hun berusaha hendak menahan dengan tangannja, hampir2 ruas tulangnja keseleo.
Ketika merangkak bangun, sakitnja tak terkatakan. Tapi girangnja dalam hatipun tak terhingga, serunja: “Lau-pekpek, aku………. aku ikut beladjar padamu.”
“Harini biar kuadjarkan beberapa djurus padamu, besok malam kau berkelahi lagi dengan mereka disini, kau berani tidak?” tanja pengemis itu.
Tik Hun ragu-ragu, hanja beladjar beberapa djurus dalam waktu singkat apa tjukup berguna? Tapi demi terpikir akan berkelahi lagi dengan Ban Ka dan kawan2nja, semangatnja mendjadi ber-kobar2, kontan djawabnja: “Berani, mengapa tidak berani? Paling banjak aku akan dihadjar lagi oleh mereka, kenapa mesti takut?”
Se-konjong2 sipengemis tua mentjengkeram tengkuk Tik Hun dan membantingnja ketanah sambil memaki: “Anak geblek! Sesudah kuadjarkan ilmu silat padamu, masakan engkau akan kena dihadjar mereka lagi? Djadi kau tidak pertjaja pada kemampuanku, ja?”
Meski sangat kesakitan karena dibanting, namun Tik Hun bertambah girang, sahutnja tjepat: “Ja, ja, memang salahku. Hajolah lekas engkau adjarkan padaku!”
“Kau pernah beladjar Kiam-hoat, tjoba pertundjukkan dulu kepadaku, sebutkan sekalian nama djurus2nja.”
“Baik,” sahut Tik Hun. Ia menemukan kembali pedangnja jang terpental tadi, lalu memainkan djurus2 adjaran Djik Tiang-hoat sambil mengutjapkan kalimat2 setiap djurus ilmu pedangnja.
Sedang Tik Hun asjik memutar pedangnja, tiba2 terdengar pengemis tua itu ketawa ter-bahak2.
Tik Hun mendjadi heran dan berhenti, tanjanja: “Ada apa? Barangkali permainanku salah?”
Namun pengemis itu tidak mendjawab, sebaliknja ia masih tertawa sambil pegang perutnja hingga menungging saking gelinja.
Mau-tak-mau Tik Hun mendjadi dongkol, katanja: “Seumpama permainanku salah, toh djuga tidak perlu ditertawai.”
Mendadak pengemis itu berhenti ketawanja, katanja dengan gegetun: “Ai, Djik Tiang-hoat, djerih-pajahmu ini memang baik djuga maksudnja, tjuma sajang terlalu tjetek sekolahmu, maka telah salah tampa.”
“Suhuku adalah petani, memangnja tidak banjak huruf jang dikenal, apanja jang mesti ditertawai?” udjar Tik Hun.
“Tjoba pindjamkan pedangmu,” pinta sipengemis.
Tik Hun sodorkan pedangnja. Dan sesudah memegang pedang, pelahan2 pengemis itu menjebut: ‘Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh!”
Berbareng iapun putar pedangnja dengan gesit, hanja sekedjap sadja se-akan2 sudah berubah seorang lain, bukan lagi seorang pengemis tua dan lojo.
Setelah menjaksikan beberapa djurus, tiba2 Tik Hun seperti tersadar, katanja: “Lau-pek, waktu aku menempur si Lu Thong tadi, apakah engkau sengadja menimpukan mangkokmu untuk membantu aku?”
“Masakah perlu menanja lagi?” semprot sipengemis dengan gusar. “Liok-hap-kun Lu Thong itu lebih lihay sepuluh kali daripada botjah tolol matjammu ini, kalau melulu sedikit kepandaianmu masakan mampu mengenjahkan dia?”
Sembari berkata, ia lalu mainkan pedangnja dengan tjepat.
Tik Hun mendengar istilah2 setiap djurus ilmu pedang sipengemis toh sama sadja dengan adjaran gurunja, hanja lafalnja sadja agak sedikit berbeda, tapi gerak pedangnja mirip benar. Makin dilihat makin heranlah ia.
Tiba2 tangan kiri sipengemis mendjulur kedepan dengan gerakan pedang, menjusul pedang ditangan kanan mendadak disodorkan ke tangan kiri itu, saat lain tangan kanan membalik “plak” ia tampar pipi Tik Hun sekali.
Karuan Tik Hun kaget, sambil memegangi pipinja jang kesakitan itu ia tanja dengan marah: “Ken………kenapa engkau memukul orang?”
“Habis, aku sedang mengadjarkan ilmu pedang padamu, sebaliknja engkau mengelamun, bukankah harus dihadjar?”
Tik Hun tjukup bidjaksana, ia bisa terima alasan itu, sahutnja: “Baik, memang salahku. Memang aku sangat heran melihat tjermat2 setiap djurus jang kau sebut itu mirip dengan adjaran guruku, tjuma perubahan permainan pedangnja jang sangat berbeda.”
“Adjaran gurumu lebih bagus atau adjaranku ini lebih bagus?” tanja sipengemis.
“Aku tidak tahu,” sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Tiba2 pengemis itu melemparkan kembali pedangnja kepada Tik Hun, katanja: “Mari kita boleh tjoba2 bertanding.”
“Keuletanku terlalu djauh dibandingkan engkau, mana-bisa aku melawan engkau,” sahut Tik Hun.
“Huh, belum keliwat geblek djuga engkau ini. Begini sadja kita tjuma bertanding tentang gerak serangan dan tidak bertanding tentang kekuatan.”
Habis berkata, terus sadja ia ajun tongkatnja sebagai pedang dan menusuk kearah Tik Hun. Otomatis pemuda itu angkat pedangnja menangkis. Tapi mendadak tongkat si pengemis berhenti ditengah djalan, karena itu, Tik Hun lantas tarik pedangnja untuk balas menusuk.
Tak tersangka baru sadja pedangnja bergerak, tahu2 tongkat sipengemis sudah seperti pagutan ular tjepatnja menusuk kedepan dan tepat kena tutuk dibahunja.
Sungguh kagum Tik Hun tak terhingga, serunja memudji: “Bagus!” Menjusul pedangnja lantas menabas lagi.
Namun pengemis itu sempat putar tongkatnja dan tepat menahan dibatang pedang Tik Hun, sekuatnja Tik Hun mendorong sendjatanja kedepan, tapi tongkat sipengemis selalu berputar hingga tenaga dorongannja itu kena dikesampingkan kearah jang berlawanan. Karena itu, tjekalan Tik Hun mendjadi kendor dan tahu-tahu pedangnja mentjelat ke udara.
Tik Hun terkesima, katanja kemudian: “Laupek, ilmu pedangmu memang sangat tinggi.”
Waktu tongkat pengemis itu mendjulur, pedang jang djatuh dari udara itu tepat kena diraihnja kembali. Lalu katanja: “Sebenarnja gurumu sangat giat melatih silat, salahnja tjuma terlalu sedikit ia bersekolah. Djustru ilmu pedang dari perguruanmu ini sangat berlainan dengan ilmu pedang umumnja di dunia persilatan, jaitu sangat mengutamakan pemikiran. Sama2 mempeladjari satu matjam Kiam-Hoat, ada jang berlatih puluhan tahun, hasilnja tjuma biasa sadja. Sebaliknja ada jang dapat memahami intisarinja, dalam waktu satu dua tahun sudah mendjadi ahli pedang terkemuka.”
Seperti paham seperti tidak Tik Hun oleh uraian itu, namun ia suka mendengarkannja.
“Kiam-hoat dari perguruanmu ini, setiap djurusnja adalah perubahan dari sesuatu bait sjair kuno,” demikian sipengemis menerangkan pula. “Umpamanja djurus ‘Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh’ tadi, artinja mengatakan ada seekor burung terbang sendiri dari lautan, terhadap telaga atau rawa2 di daratan tak dihinggapinja. Sjair ini adalah tjiptaan Thio Kiu-ling, itu perdana mentri di djaman ahala Tong. Dari bait-bait sjairnja itu telah ditjiptakan mendjadi djurus ilmu pedang. Tapi gurumu telah adjarkan kau dengan ‘Koh-hong-han-siang-lay, Si-heng-put-kam-koh’. Bait pertama artinja berubah mendjadi orang berteriak2 dan bait berikut berarti orang ketakutan. Sudah tentu arti sebenarnja dari ilmu pedang jang tinggi itu lantas menjeleweng 180 deradjat.”
Dengan kikuk Tik Hun mendengarkan uraian itu, ia tahu pendjelasan orang tua itu sangat djitu, tapi biasanja ia sangat hormat dan tjinta pada gurunja, kini mendengar sang guru ditjela habis2an, betapapun ia tersinggung djuga.
Tiba2 ia berbangkit, katanja: “Sudahlah, aku hendak pergi tidur, tidak mau beladjar lagi!”
“Lho, kenapa? Apakah uraianku tidak betul?” tanja sipengemis dengan heran.
“Mungkin benar djuga uraianmu itu,” sahut Tik Hun dengan marah2. “Tapi engkau mentjela kesalahan guruku, maka lebih baik aku tidak beladjar.”
“Hahaha!” sipengemis ter-bahak2 sambil mengusap kepala Tik Hun. “Bagus, bagus! Hatimu ternjata sangat djudjur, aku paling suka orang matjam kau. Baiklah aku mengaku salah padamu, selandjutnja aku takkan mejinggung lagi nama gurumu, puas tidak?”
Dari marah Tik Hun berubah girang, sahutnja: “Baiklah, asal engkau tidak menjebut guruku, biarpun aku mendjura padamu djuga boleh.” Habis berkata, benar djuga ia terus mendjura beberapa kali.
Dengan tersenjum simpul sipengemis terima penghormatan itu, lalu ia mengulangi lagi sedjurus demi sedjurus untuk memberi pendjelasan kepada Tik Hun. Ia benar2 tidak menjinggung lagi namanja Djik Tiang-hoat, tapi hanja membetulkan kesalahan Tik Hun sadja. Begitulah jang satu mengadjar dan jang lain mendengarkan, tanpa terasa suara ajam djago berkokok sudah terdengar, fadjar sudah hampir menjingsing.
Maka berkatalah pengemis itu akhirnja: “Sekarang akan kuadjarkan tiga djurus kepandaian istimewa kepadamu, besok kau adjak berkelahi lagi dengan kedelapan anak tak genah itu. Nah, ingatlah baik2!”
Semangat Tik Hun terbangkit, dengan tjermat ia mengikuti gerak tongkat pengemis itu. djurus pertama adalah “Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, jaitu seperti sipengemis menusuk bahunja Tik Hun tadi dengan tongkat. Kalau musuh tidak menjerang dan melainkan berdjaga diri sadja, tusukan itu takkan berguna. Tetapi bila musuh bergerak, maka tusukan kilat itu pasti akan mengenai bahu musuh lebih dulu.
Djurus kedua adalah “Ni-kong-sik”, gaja menampar pipi, tjaranja persis seperti apa jang telah dirasakan djuga oleh Tik Hun tadi, jaitu pedang berpindah ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar.
Djurus ketiga bernama “Gi-kiam-sik” atau gaja menanggalkan pedang lawan, sekali pedang menempel pedang lawan, diputir terus ditjukit, tjaranja djuga sudah dialami Tik Hun tadi.
Sebenarnja ketiga djurus itu masing2 mempunjai nama jang indah berasal dari bait2 sjair kuno. Tapi pengemis tua itu tahu Tik Hun tidak banjak makan sekolahan, maka sengadja diberinja nama2 sederhana jang mudah diingat.
Biarpun Tik Hun bukan anak tjerdas, tapi mempunjai tekad jang teguh. Ketiga djurus itu berulang kali dilatihnja selama lebih satu djam barulah paham benar2.
“Baiklah sekarang,” kata sipengemis dengan tertawa. “Dan kau harus berdjandji sesuatu padaku, jaitu kedjadian malam ini aku mengadjarkan Kiam-hoat padamu tidak boleh engkau katakan kepada siapapun djuga, sekalipun gurumu djuga tidak boleh.”
Tik Hun mendjadi serba sulit untuk mendjawab. Biasanja ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoay jang tjantik itupun sudah lama ditjintainja, segala apa biasanja pasti dikatakan kepadanja. Kini disuruh tutup mulut kepada kedua orang itu, keraguan ia ragu2.
“Tentang sebab musababnja seketika susah kuterangkan,” kata si pengemis pula. “tjuma rahasia malam ini kalau kau botjorkan, djiwaku tentu berbahaja, pasti aku akan mati dibawah tangannja Ban Tjin-san.”
Tik Hun terkedjut, tanjanja heran: “Lau-pek, ilmu silatmu setinggi ini, mengapa djeri pada Supekku?”
Namun pengemis itu tidak mendjawab dan bertindak pergi sambil berkata: “Kau akan bikin tjelaka aku atau tidak terserahlah kepada dirimu sendiri.”
“Tidak,” seru Tik Hun sambil lari menjusul sipengemis, “aku Tik Hun pasti takkan melupakan budimu, kalau aku membotjorkan rahasia ini seketjap sadja, biarlah aku dikutuk langit dan bumi.”
Pengemis tua itu tidak berhenti, hanja sekedjap sadja sudah menghilang dalam kegelapan.
Tik Hun ter-mangu2 sedjenak ditempatnja, kemudian ia mendjadi teringat belum lagi menanja siapa nama pengemis tua itu. Namun orang tua itu sudah tak kelihatan lagi………..
Besok paginja, ketika Djik Tiang-hoat melihat muka sang murid itu matang-biru, ia mendjadi heran, ia tanja: “Engkau berkelahi dengan siapa, mengapa abuh begitu rupa?”
Dasar Tik Hun memang tidak biasa berdusta, maka ia mendjadi gelagapan.
Sjukur Djik Hong keburu menjela: “Ha, tentu karena kena pukulan bangsat Lu Thong itu kemarin.”
Sudah tentu Djik Tiang-hoat tidak pernah menduga apa jang terdjadi semalam, maka iapun tidak menanja lebih djauh.
Kemudian Djik Hong menarik Tik Hun kesamping rumah, setiba dipelataran, dimana terdapat sebuah sumur, karena tiada orang lain lagi di sekitar situ. Djik Hong adjak sang Suheng berduduk di tepi perigi itu, lalu tanjanja: “Suko, semalam engkau berkelahi dengan siapa?”
Sudah tentu Tik Hun gelagapan pula, dan belum ia bersuara Djik Hong sudah berkata lagi: “Kau tidak perlu membohongi aku. Kemarin waktu kau menempur Lu Thong, dengan djelas aku menjaksikan pukulan dan tendangannja mengenai badanmu semua, tapi tiada jang mengenai mukamu.”
Tahu kalau tak bisa membohongi sang Sumoay, terpaksa Tik Hun menerangkan duduknja perkara, ia pikir asal tidak bitjara tentang pengemis tua itu kan tidak apa2. Maka ia pun mendjelaskan tjara bagaimana ia telah dikerojok semalam.
Djik Hong mendjadi gusar djuga mendengar tjerita itu, serunja murka: “Djadi mereka berdelapan mengerojok engkau seorang? Huh, orang gagah matjam apa itu? Marilah kita mengadu kepada ajah untuk minta keadilan kepada Ban Tjin-san”
Saking marahnja sampai sebutan Supek tak digunakan olehnja lagi, melainkan langsung menjebut namanja.
“Tidak, djangan!” tjepat Tik Hun mentjegah. “Kalau aku mengadu kepada Suhu, bukankah malah akan dipandang hina oleh mereka?”
Djik Hong mendengus sekali dan tidak berkata lagi. Ia lihat badju sang Suheng banjak sobek, ia ikut merasa sajang, segera dikeluarkannja bungkusan benang dan djarum, terus sadja ia mendjahitkan badju Tik Hun jang robek itu.
Rambutnja jang meng-gesek2 dipipi Tik Hun itu mendjangkitkan rasa risih pemuda itu, terendus pula bau harumnja badan sigadis, mau tak mau terguntjang djuga hati Tik Hun.
Malam itu, karena para tamu sudah pulang semua, Ban Tjin-san mengadakan satu medja perdjamuan untuk mendjamu sang Sute, kedelapan muridnja ikut hadir.
Sesudah saling mengadu tjawan, ketika Tjin-san melihat bibir Tik Hun bengkak merah, tidak leluasa untuk makan, segera katanja, “Tik-hiantit, kemarin telah bikin susah padamu. Marilah ini makanlah jang banjak.”
Sembari berkata, ia terus menjumpit sepotong paha ajam ke mangkoknja Tik Hun.
Tiba-tiba Tjiu Kin mendengus hina sekali.
Memangnja rasa gusar Djik Hong sudah memuntjak, ia mendjadi tidak tahan lagi, segera ia berteriak: “Ban-supek, luka Tik-suko ini bukan karena dipukul Lu Thong, tapi adalah perbuatan kedelapan muridmu jang terpudji itu.”
“Apa katamu?” tanja Ban Tjin-san dan Djik Tiang-hoat berbareng dengan kedjut.
Sim Sia, itu murid Tjin-san kedelapan, usianja paling muda tapi mulutnja paling tadjam, tjepat ia mendahului buka suara, “Sesudah Tik-suko menangkan Lu Thong, ia bilang Suhu pengetjut, tidak berani bergebrak dengan musuh, untung ada Tik-suko jang madju. Mendengar itu, saking tak tahan, kami…..”
Wadjah Ban Tjin-san seketika berubah, tapi ia tjukup sabar, dengan tertawa ia memotong: “Benar, memang berkat bantuan Tik-hiantit hingga kita tidak sampai dibikin malu musuh.”
“Tapi Ban-suheng tidak tahan oleh kesombongan Tik-suko itu, maka lantas adjak bertanding padanja, dan agaknja seperti Ban-suheng mendahului sedikit,” kata Sim Sia.
Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan. “Kau….kau ngatjo-belo! Kapan aku…..” dasarnja memang tidak pandai bitjara, dalam gusarnja ia mendjadi lebih gelagapan lagi.
“Ka-dji mendahului sedikit bagaimana?” tanja Tjin-san.
Maka berkatalah Sim Sia: “Tjara bagaimana semalam Sam-suheng bertanding dengan Tik-suko kami tidak mengetahui semua. Tjuma pagi tadi Ban-suheng mentjeritakan kepada kami, katanja Ban-suheng seperti menggunakan djurus…. djurus….”
Ia sengadja menoleh kepada Ban Ka dan menanja: “Ban-suko, djurus apa jang kau gunakan hingga Tik-suko dikalahkan olehmu?”
Begitulah kedua orang itu sengadja main sandiwara, hingga tentang mereka berdelapan mengerojok Tik Hun, mereka tjutji tangan dengan bersih. Padahal tjara bagaimana Ban Ka menangkan Tik Hun, orang lain tiada jang menjaksikan, sebenarnja susah untuk dipertjaja. Namun karena jang bitjara itu adalah Sim Sia jang masih ke-kanak2-an dengan sendirinja tiada jang mendjangka botjah itu berdusta.
“Kiranja begitu!” Tjin-san angguk2 djuga oleh keterangan murid2nja itu.
Sebaliknja muka Djik Tiang-hoat merah padam bahna marahnja. Ia gebrak medja sambil membentak: “Hun-dji, bukanlah sudah kupesan agar djangan tjektjok dengan para Suhengte, kenapa kau telah berkelahi malah?”
Melihat sang guru djuga mempertjajai otjehan Sim Sia, saking gusarnja sampai Tik Hun menggigil, katanja dengan tak lampias: “Su…..suhu, aku ti……tidak….”
“Sudah berbuat, masih mungkir?” damperat Tiang-hoat, kontan iapun persen sang murid sekali tamparan.
Seketika pipi Tik Hun merah begap. tjepat Djik Hong pun berseru: “Tia, kenapa engkau tidak tanja lebih djelas duduknja perkara?”
Saking murka, watak dogol Tik Kun lantas kumat, tanpa pikir lagi ia melontjat bangun, ia samber pedang jang ditaruh dimedja belakangnja dan melompat ketengah ruangan, teriaknja keras2: “Suhu, Ban Ka itu mengatakan aku …… aku kalah, biarlah suruh dia madju lagi sekarang!”
Tiang-hoat mendjadi gusar, bentaknja: “Kau mau kembali tempatmu tidak?” Segera iapun berbangkit hendak menghadjar dan mejeret kembali muridnja itu.
Namun Tik Hun sudah kadung kalap, segera ia berteriak-teriak, “Hajolah kalian delapan orang madju lagi semua. Kalau tidak berani, kalian adalah anak kura2, haram djadah, anak andjing!” Sebagai anak tani, dalam gusarnja, ia tidak peduli lagi, semua makian kotor dikeluarkannja semua.
Karuan Ban tjin-san mengkerut kening. Katanja kemudian, “Djika begitu, bolehlah kalian madju untuk mentjoba ilmu pedang Tik-suko.”
Memangnja kata2 sang guru ini sedang di-tunggu2, tanpa disuruh lagi, segera Loh Kun berdelapan melolos pedang masing2 dan melompat madju semua hingga Tik Hun terkurung ditengah.
“Bagus!” teriak Tik Hun. “Tadi malam delapan anak andjing mengerojok aku seorang, sekarang kembali kedelapan anak andjing lagi….”
“Hun-dji, kau mengotjeh apa? Kalau bertanding ja bertanding, apa bertanding memaki?” bentak Tiang-hoat.
Gusar Ban Tjin-san djuga tak terkatakan. Ban Ka diantara kedelapan muridnja itu adalah putra tunggalnja. Kini Tik Hun memaki kalang kabut anak andjing segala, itu berarti iapun kena dimaki.
Ia lihat kedelapan muridnja mengambil kedudukan mengepung, maka bentaknja: “Tik-suheng memandang rendah pada kita dan berani satu lawan delapan, apakah kita sendiri djuga mesti memandang rendah dirinja sendiri?”
“Ja, para Sute harap mundur dulu, biar aku jang beladjar kenal dengan kepandaian Tik-suheng jang tinggi,” kata Loh Kun, murid jang tertua.
Diantara sesama saudara perguruan itu, Bok Heng paling pintar berpikir. Ia tahu diantara mereka berdelapan, bitjara tentang ilmu pedang adalah Sisuheng Sun Kin jang paling kuat. Semalam ia sudah menjaksikan pertandingan Ban Ka dan Tik Hun, kepandaian anak desa itu ternjata tidak lemah, apalagi kini dalam keadaan murka, belum tentu Toasuheng mampu menangkan dia. Maka lebih baik kalau Sun Kin jang madju, sekali tempur anak desa itu dikalahkan, tentu mulut anak desa itu tidak berani lagi omong gede.
Maka berkatalah Bok Heng: “Toa-suko adalah pemimpin diantara saudara perguruan kita, buat apa mesti madju sendiri? Biarkan sadja Si-suko jang memberi hadjaran kepada botjah itu.”
Segera Loh Kun dapat memahami maksudnja, sahutnja dengan tersenjum: “Baiklah, Si-sute, penuhilah tugasmu!”
Berbareng iapun memberi tanda, ketudjuh orang lantas melompat mundur, hanja ketinggalan Sun Kin jang menghadapi Tik Hun.
Sun Kin itu memang pendiam, terkadang sehari suntuk tidak bitjara sepatah-katapun, makanja tekun melatih diri dan ilmu pedangnja terhitung nomor satu diantara para Suhengte.
Melihat dirinja didjagoi oleh para Suhengte, segera iapun angkat pedangnja keatas sambil membungkuk memberi hormat. Gaja ini disebut “Ban-kok-jang-tjong-tjiu, Ih-koan-pay-bak-liu”, jaitu satu djurus pembukaan dengan laku sangat hormat kepada lawan.
Tapi dikala Djik Tiang-hoat memberi pendjelasan kepada Tik Hun dulu, seperti djuga djurus2 lainnja, djurus pembukaan inipun telah salah diartikan. Maklum sekolahnja terbatas. Maka sjair jang indah maknanja itu salah dibatja mendjadi, “Hoan-kak-liang-tjong-tjau, Ih-koan-pay-ma-liu”, artinja aku adalah pihak jang baik dan engkau adalah orang busuk, kalau lahirnja aku memberi hormat padamu apa artinja? Aku adalah manusia dan engkau adalah monjet, manusia menghormat pada monjet, sama seperti menghormat pada binatang. djadi artinja menjimpang 180 deradjat.
Karuan Tik Hun mendjadi gusar karena dirinja dianggap sebagai monjet. Segera iapun membungkuk membalas hormat dengan djurus jang sama sebagai tanda bajar kontan hinaan orang itu. Bahkan sebelum tubuhnja menegak kembali, terus sadja pedangnja menusuk ke perut lawan.
Para murid Ban tjin-san jang lain sama mendjerit kegat, namun Sun Kin sempat menangkis djuga, “trang”, kedua pedang saling bentur dan tangan masing-masing sama-sama kesemutan.
“Lihatlah Suhu, botjah itu kedji atau tidak?” seru Loh Kun.
Diam2 Ban Tjin-san heran djuga mengapa anak desa itu begitu murka dan bertempur dengan mati2an?
Maka terdengarlah suara gemerintjing jang riuh. Tik Hun dan Sun Kin saling gebrak dengan tjepat, setelah belasan djurus, sekali pedang Sun Kin tersampok kesamping, perutnja mendjadi luang tak terdjaga. Tanpa ajal lagi Tik Hun menusukkan pedangnja sambil menggertak.
Tiba2 Sun Kin tarik pedangnja dan menangkis kebawah, berbareng tapak tangannja terus menghantam, “plak”, dada Tik Hun tepat kena digendjot.
Berbareng anak murid Ban tjin-san jang lain bersorak-sorai, ada jang berteriak2: “Huh, satu lawan satu sadja tak mampu, masih omong gede hendak melawan delapan orang sekaligus!”
Karena pukulan itu, Tik Hun terhujung sedikit, tjepat ia tarik pedangnja dan balas menjerang setjepat kilat, se-konjong2 pedangnja menjendal, “tjrat”, tepat pundak Sun Kin kena tertusuk. Itulah “Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, adjaran sipengemis tua itu.
Serangan “Dji-koh-sik” itu datangnja terlalu mendadak sehingga siapapun tidak menduga sebelumnja. Seketika anak murid Tjin-san jang lain mem-bentak2, Loh Kun dan Tjiu Kin terus melompat madju berbareng dan mengerubut Tik Hun. Akan tetapi pedang Tik Hun kembali menusuk pula kekanan dan menikam kekiri, “tjrat – tjrat”, bahu Loh Kun dan Tjiu Kin berdua djuga tertusuk semua, pedang mereka terdjatuh kelantai.
“Bagus!” teriak Ban Tjin-san dengan menarik muka.
Dengan menghunus pedangnja, pelahan2 Ban Ka madju ketengah, ia pandang Tik Hun dengan melotot, se-konjong2 ia membentak dan sekaligus melontarkan tiga tusukan. Namun semuanja dapat ditangkis Tik Hun dengan baik, tiba2 ia operkan pedang ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar, “plok”, tepat sekali Ban Ka kena ditempiling.
Tamparan Tik Hun ini lebih2 tak terduga oleh siapapun. Dalam kagetnja Ban Ka, menjusul Tik Hun sudah ajun kakinya pula mendjedjak dada lawan. Maka Ban Ka tak tahan lagi, ia djatuh terduduk.
Tjepat Bok Heng berlari madju hendak membangunkan sang Suheng. Namun Tik Hun tidak memberi kesempatan padanja, kontan ia menusuk hingga terpaksa Bok Heng mesti menangkis.
Melihat Tik Hun begitu perkasa, sedangkan Ban Ka sampai muntah darah dan terduduk dilantai tak sanggup berdiri lagi. Seketika Go Him, Pang Tan dan Sim Sia bertiga ikut menjerbu madju.
Dalam pada itu demi mendengar suara ribut2 itu, banjak diantara pelajan keluarga Ban djuga berlari keluar untuk melihat apa jang terjadi.
Djik Tiang-hoat sendiri mendjadi bingung dan tidak tahu tindakan apa jang harus diambilnja. Sebaliknja Djik Hong ber-teriak2: “Tia-tia, mereka mengerojok Tik-suko, lekas, lekas engkau menolong dia!”
Sementara itu terdengarlah suara “tjrang-tjreng” jang ramai, sinar tadjam berkilauan, ber-batang2 pedang tampak mentjelat djatuh ketengah pelajan2 jang merubung asjik menonton itu, karuan keadaan katjau-balau, kawanan pelayan itu berlari kian kemari untuk menghindar.
Hanja sekedjap sadja sendjatanja Bok Heng, Go Him, Pang Tau dan Sim Sia sudah terlepas dari tjekalan oleh “Gi-kiam-Sik” atau gaja melepaskan pedang, jang digunakan Tik Hun itu.
“Bagus, bagus!” tiba2 Ban Tjin-san tepuk tangan sambil tertawa, “Wah, Djik-sute, ternjata engkau sudah berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’, Kiong-hi, Kiong-hi!”
Tiang-hoat tertegun, sahutnja kemudian: “Soh-sim-kiam apa katamu?”
“Beberapa djurus jang dikeluarkan Tik-hiantit itu kalau bukan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ lantas apa lagi?” kata Tjin-san. “Kun-dji, Kin-dji, Ka-dji, mundurlah semua. Tik-suheng kalian sudah diadjarkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ oleh Djik-susiok, mana mampu kalian melawan dia?” Lalu ia katakan pula kepada Djik Tiang-hoat: “Sute, kiranja engkau tjuma pura2 dungu sadja, tapi sebenarnja maha pintar!”
Dengan tiga djurus jang dipeladjarinja dari pengemis tua itu, dalam sekedjap sadja Tik Hun sudah mengalahkan kedelapan lawannja, sudah tentu ia sangat senang. Tapi karena kemenangannja begitu mudah diperoleh, ia mendjadi bingung malah dan kikuk. Ia pandang Suhu, pandang sang Sumoay dan lain saat pandang2 lagi kepada sang Supek dengan melongo.
Tiba2 Djik Tiang-hoat mendekati Tik Hun, ia ambil pedang dari tangan pemuda itu, mendadak udjung sendjata itu terus diarahkan ketenggorokan sang murid sambil membentak: “Beberapa djurus tadi engkau dapat mempeladjari dari siapa?”
Karuan Tik Hun kaget, sebenarnja ia tidak pernah berdusta, tapi dengan tegas sipengemis tua itu telah pesan bahwa rahasianja kalau dibotjorkan, tentu akan membahajakan djiwa pengemis itu. Sebab itu pula dirinja sudah bersumpah tidak akan membotjorkannja. Maka sahutnya dengan lantjar: “Su………Suhu, itu adalah pemi …………. pemikiran Teetju sendiri.”
“Kau dapat mentjiptakan djurus ilmu pedang sebagus itu?” bentak Tiang-hoat pula. “Kau……… kau berani omong sembarangan padaku? Pabila kau tidak mengaku, sekali tusuk segera kuhabiskan njawamu!”
Berbareng udjung pedang lantas disurung madju sedikit hingga nantjap beberapa mili kedalam daging leher Tik Hun, seketika darah merembes keluar.
Tjepat Djik Hong lari madju untuk menarik tangan sang ajah, serunya: “Tia, sedjengkalpun Suko tidak pernah berpisah dari kita, darimana dia mendapat adjaran silat orang lain? Beberapa djurus itu bukankah engkau orang tua yang mengadjarkan padanja?”
“Memangnja buat apa kau masih berlagak pilon, Sute,” demikian djengek Ban-Tjin-san. “Puterimu sendiri sudah tjukup djelas mengatakan, apa perlu aku menanja lagi. Marilah, marilah aku memberi selamat tiga tjawan padamu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar