“ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami,” terdengar suara yang kecil dan nyaring.
“Kiang-enghiong, kata-kata Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa kau tidak tahu akan peraturan kang-ouw? Kami para ketua perkumpulan pengemis sedang mengurus persoalan kami sendiri, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan kami? Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirimu,” kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.
Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan adalah sekumpulan orang-orang tua yang amat aneh baik bentuk tubuh, pakaian, maupun gerak-gerik mereka. Mereka ini sudah jelas adalah sekumpulan pengemis-pengemis, karena baju mereka penuh tambahan dan di tangan mereka kelihatan tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain. Jumlah mereka ada empat belas orang. Akan tetapi kalau orang tahu siapakah adanya mereka ini, ia akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-ketua dari seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar. Jangan ditanya lagi tentang kepandaian mereka! Baru orang pertama yang bicara dengan suara kecil nyaring tadi saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta sebelah kiri, dia dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu) dan kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu, yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia kang-ouw (baca Pendekar Sakti).
Seperti juga Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu ini beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena ia menyerbu dapur dan menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!
Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan), kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai! Demikian pula, dua belas orang pengemis yang lain, masing-masing adalah ketua-ketua pengemis yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi pengemis sakti mendiang Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu pula, maka mereka terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras sehingga para anggauta perkumpulan mereka berdisiplin, dan biarpun hidup sebagai pengemis-pengemis, namun merupakan sekumpulan orang-orang yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang tertindas! Segolongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas seperti burung di udara. Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang dapat hidup bebas seperti burung di udara.
Empat belas orang ketua pengemis itu kini nampak tidak senang dan mereka menghadapi seorang laki-laki muda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun. Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir wanita. Dadanya bidang menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar dan ia nampak lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung di punggungnya. Pemuda itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira. Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, ia tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguhpun ia telah mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan telah maklum pula akan kelihaian mereka.
“Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat, tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu? Pernah siauwte mendengar ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya? Kalau tidak salah, beginilah maksudnya: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan berarti mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kegagahan!”
Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu, “Kau anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin? Kaukutib-kutib segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan maksud apakah?”
“Sabarlah, Lo-kai. Kau yang terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan sabar,” kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil Berlengan Delapan. “Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku sudah mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan tidak tahu malu! Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu.”
“Apa maksudmu?” Pat-jiu Siauw-kai membentak,
“Maksudku? Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Setelah ilmu terdapat, aku menjalankannya untuk menolog sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik atau welas asih. Adapun hal tahu malu seperti kausinggung-singgung tadi, Guru Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, berarti kita mendekati sifat gagah. Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang hendak menyiksa dan membunuh seorang kawan tua yang tidak berdaya? Apakah itu namanya tahu malu? Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat menganggap kalian ini orang-orang gagah!”
“Kiang Liat, kau sombong sekali!” Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah, “Kau ini orang luar tahu apa? Di dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh orang luar.”
Pemuda itu yang bernama Kiang Liat tersenyum. “Peraturan dan undang-undangmu hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa? Pendeknya, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan begitu saja kalian menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!”
“Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!” Tiat-tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh. Lucu dan mengagumkan sekali gerakannya ini. Biarpun tubuhnya gemuk dan bundar, namun gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat! Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini. Sesuai dengan julukannya, yakni Si Kepala Besi, kepala dari Si Pengemis ini yang botak kelimis luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi dan kalau ia menyeruduk, seekor kerbau pun takkan kuat menahan dengan kepalanya.
Para tokoh pengemis yang berada di situ mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengelak dan kalau ia berbuat demikian, belum tentu ia akan dapat meluputkan diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apabila lawan mengelak dari serudukannya.
Akan tetapi apa yang mereka lihat? Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat bukannya mengelak, melainkan berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu dengan perutnya!
“Capp!” Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak kelihatan sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam dalam perut berikut mulut dan hidung dan kedua kakinya bergerak-gerak! Ia mencoba untuk melepaskan diri, untuk mencabut kepalanya akan tetapi sia-sia belaka sehingga hanya kedua kakinya saja yang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia bermaksud mempergunakan kedua tangan untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat mendahuluinya dan secepat kilat ia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak bertenaga lagi.
Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat berseru, “Pergilah!” Dan bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar sampai dua tombak lebih.
Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, akan tetapi ia tidak merasa terluka dan setelah mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya mengancam lagi dan mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.
“Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam, bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?” kata Kiang Liat. Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai menghentikan langkahnya dan ia nampak ragu-ragu. Memang ia bukan tidak tahu bahwa kalau Kiang Liat mau, tadi ketika kepalanya tertanam pada perut, dengan lwee-kangnya yang amat tinggi, pemuda itu tentu akan dapat membunuhnya. Tadi pun ia sudah merasa terheran mengapa ia bisa keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar ucapan Kiang Liat, ia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.
It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju dan matanya yang tinggal satu sebelah kanan itu memancarkan sinar menakutkan.
“Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjuluk Jeng-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi sekali ini kau menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kai-pangcu, maka sekali lagi aku atas nama semua kawan mengharapkan agar kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu menghaturkan maaf.”
“Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biarpun aku Kiang Liat masih muda, namun berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapapun juga yang akan membunuh orang yang tak berdaya!” kata Kiang Liat dengan gagah.
“Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?” tanya It-gan Sin-kai marah.
“Tetap begitu dan takkan dapat dirubah oleh siapapun juga!” kata Kiang Liat dengan suara tetap pula, karena ia sendiri pun sudah marah melihat betapa para tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan perikemanusiaan dan akan membunuh seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya. Ia sudah seringkali mendengar tentang Cap-si Kai-pangcu ini, mendengar bahwa mereka adalah pendekar-pendekar berkepandaian tinggi yang menjunjung tinggi kegagahan dan perikebajikan, mengapa sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak berdaya?
“Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan kalau sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan kami!” kata It-gan Sin-kai.
“Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tidak mengenal perikemanusiaan!” kata Kiang Liat. Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis itu mengeluarkan senjata masing-masing ia pun lalu mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar gemerlapan.
Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia pikir bahwa biarpun ia takkan menang dan sekalipun ia akan mati dikeroyok oleh Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela kebenaran.
Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak serentak dan menyerangnya dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar pedangnya menangkis dan terdengar suara tang-ting-tung ketika pedangnya beradu dengan tongkat dari mereka. Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat lebih cepat lagi dan dalam lima gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat! Bukan main sakitnya, dan baiknya ia memiliki tenaga lwee-kang yang sudah tinggi sehingga ia tidak terluka berat. Namun pukulan ini telah mengacaukan pikirannya dan untuk menyelamatkan diri, ia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ketika keadaan Kiang Liat amat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat berpengaruh,
“Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri dengan pertempuran?”
Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri di situ. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, demikian pun jenggot dan kumisnya. Bajunya tambal-tambalan, akan tetapi bersih juga. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kecil, sebesar ibu jari kaki dan di pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.
Baik Kiang Liat maupun para tokoh pengemis itu tidak mengenal siapa adanya pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang baru datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.
“Siapakah kawan yang baru datang?” tanya It-gan Sin-kai dan suaranya jelas menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang amat memalukan bagi seorang ketua perkumpulan pengemis sampai menanyakan siapa adanya seorang pengemis yang baru datang. Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh pertanyaan.
Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.
“Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik sekali melihat orang hendak mengadu nyawa. Demikian mengerikan! Mengapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan tongkat dan pedang? Apakah gerangan yang terjadi di sini?”
Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi ia sudah banyak merantau dan namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu, maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,
“Sahabat yang baru datang tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya tentang persoalan ini. Sesungguhnya, aku sendiri pun seorang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika tiba di sini aku melihat empat belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa dan menghukum mati kepada seorang kakek yang tidak berdaya itu. Oleh karena inilah maka terpaksa aku melupakah kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka melakukan hal yang amat kejam itu.” Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua yang semenjak tadi duduk bersandar kepada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan tidak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat entah apa isinya.
Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang kepada kawan-kawannya dan berkata, “Perlukah kami memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang dan yang tidak mau memperkenalkan namanya ini?”
“Tentu saja,” kata Pat-jiu Siauw-kai, “kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu dia akan dapat membenarkan kami.”
It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, dan berkata memberi penjelasan, “Begini, kawan. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis berkumpul di sini untuk memberi hukuman kepada seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan yang telah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia telah berlaku curang, mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan, hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita demikian pula nyawanya.”
“Bagus! Peraturan macam apa itu? Merampas harta benda, merampas nyawa, benar-benar amat rendah!” Kiang Liat memotong marah.
“Kiang-enghiong jangan kau membuka mulut sembarangan!” It-gan Sin-kai juga membentak marah, “Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai yang mulia, bagaimana kau berani menyatakan rendah?”
Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba pengemis yang baru datang itu berubah mukanya.
“Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah tentang Ang-bin Sin-kai?” tanyanya memandang tajam.
Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah. “Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya? Apalagi orang yang hidup bebas sebagai pengemis harus mengenalnya. Kami memuliakan namanya dan kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?”
“Kalian mau tahu? Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!”
Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong. Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Ang-bin Sin-kai, namun dia tak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah meninggal dunia lama sekali. Maka kini ia hanya memandang saja.
“Benar-benarkah, kawan? Awas, jangan kau main-main. Biarpun kami tidak pernah mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, namun kami tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su.”
Han Le tertawa lebar, “Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku.”
Kembali semua orang menyatakan ketidak-percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai berkata, “Tidak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau bukan, apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong ini?”
“Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?” tanya Kiang Liat, suaranya mengejek. Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi, dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.
“Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku tidak setuju kalau hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan tidak diakui menjadi anggauta lagi. Betapapun juga, dalam perselisihan ini, Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga lain orang.”
Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat, di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu. Adapun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku orang she Song sudah merasa bersalah, akan tetapi bukan sekali-kali terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku yang satu-satunya. Kalian mau bunuh boleh bunuh asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan cucuku Bi Li!”
“Tutup mulutmu, jahanam rendah!” It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia menghadapi Han Le. “Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Tanpa bukti, lebih baik kau jangan mencampuri urusan kami.”
Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguhpun kepala itu tidak gatal.
“Bagaimana aku harus membuktikannya?”
It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati dan bisik-bisik. Kemudian pengemis mata satu itu berkata, “Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat lihai dan tiada keduanya di dunia ini, yang disebut sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat mainkan ilmu pedang itu.”
Han Le tertawa, “Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?”
Mereka menggeleng kepala. “Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu, bagaimana kalian bisa minta aku memainkannya?”
Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara nyaring, seakan-akan ia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan hal ini. “Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”
Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.
“Baiklah, bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk berkenalan dengan Hun-khai-kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai.”
It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu gin-kangnya dan juga ilmunya mainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya. Tongkat itu pendek saja dan sekali ia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!
“Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau bisa mainkan Hun-khai-kiam-hoat!” katanya menantang.
“Bukankah kau It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang disebut Siang-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)? Kau sendiri mempergunakan tongkat sebagai pedang, biarlah aku pun menirumu, memang bagi pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat daripada berpedang.”
“Sesukamulah!” Jawab It-gan Sin-kai yang cepat menyerang dengan tongkat kirinya, menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah lambung.
Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata, “Nah, inilah ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat bagian khai (membuka)!” katanya. Dan It-gan Sin-kai mengalami hal yang amat aneh yang baru ia alami kali ini dalam pertempuran-pertempuran yang banyak ia lakukan. Kemanapun juga sepasang tongkatnya menyerang, selalu tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan dan terbuka atau terpalang sehingga semua serangannya terpental dan membuka. Kalau lawannya yang jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan memasuki bagian-bagian yang terbuka itu. Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le tidak mau melukai lawan bahkan tidak mau membalas dengan serangan. Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,
“Dan inilah bagian hun (memecah)!” Tongkatnya bergerak makin cepat, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau-balau gerakannya, dan benar-benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan. Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan kalau ia tidak lekas-lekas melompat mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.
“Lihai sekali!” serunya sambil menjura, “Sungguhpun aku tidak dapat memastikan apakah yang kaumainkan itu betul-betul Hun-khai-kiam-hoat, namun harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai itu.”
Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut kini maju menggantikan It-gan Sin-kai. Pengemis itu senjatanya tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia hanya dapat bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus saja, sungguhpun Han Le tak pernah menyerangnya sejurus pun. Dengan tangkisan-tangkisan saja ia sudah merasa bingung dan kewalahan, bahkan pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam kepalanya sendiri!
“Lihai benar, aku menyerah kalah!” katanya jujur.
Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.
“Kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai,” kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. “Sekarang bagaimanakah menurut pendapatmu, sahabat muda yang lihai?”
Han Le tersenyum senang. “Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kai-pangcu yang terkenal adil dan gagah, dan ternyata memang betul demikian. Perkara kakek yang melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang harus dihukum. Harta bendanya boleh dirampas dan ia boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan hukuman cambuk lima puluh kali.”
“Setuju!” serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri lalu maju dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.
Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang Liat!
“Aturan apa ini? Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun tetap berjiwa pengemis dan berpikir seperti pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya, bukankah itu baik sekali? Kalian seharusnya meniru perbuatannya, sungguh tidak tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya dan hidup bahagia sedangkan kalian masih jadi jembel?”
Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Ia suka sekali melihat sikap pemuda itu, dan ia pun merasa kagum melihat caranya. Kiang Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh, melainkan gerakan biasa saja. Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan hebat, ditambah dengan kembangan sendiri sehingga It-gan Sin-kai sampai tak mengira cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat. Sebagian besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari dari guru masing-masing dan hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat memperkembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang amat baik, sesuai dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han Le maka kini ia memandang dengan mata berseri.
“Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, mengapa ikut campur? Pernahkah kau mendengar nama Ang-bin Sin-kai?” tanya Han Le.
“Tentu saja pernah,” jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.
“Seperti apa kau mendengar tentang dia?”
“Ang-bin Sin-kai seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja dan tewas sebagai seorang pahlawan,” jawab Kiang Liat.
Han Le makin gembira. “Apakah kau tidak dengar bahwa dia juga seorang pengemis seperti telah disebutkan oleh julukannya?”
“Biarpun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Tak dapat aku membayangkan bahwa pahlawan besar itu boleh direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang hendak mempergunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh menyiksanya!”
“Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau berani menentangku” Han Le menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.
“Mengapa tidak berani? Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau lihai, akan tetapi aku akan menentangmu kalau kau hendak membantu pengemis-pengemis tua yang kejam ini.”
“Nah, kalau begitu mari kita bertaruh,” kata Han Le dengan wajah berseri. “Kita semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh.”
“Apa taruhannya?” Kiang Liat membentak. “Untuk membela kaum lemah, aku pertaruhkan kepala dan nyawaku!”
Han Le tersenyum. “Kalau tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh aku dan semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!” Kembali semua pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat yang keras hati, akan tetapi ia sengaja memancing untuk melihat sampai di mana pribudi pemuda tampan ini.
“Siapa mau jiwa kalian? Kalau aku menang dalam taruhan, cukup kalau kalian membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya dan selanjutnya jangan mengganggunya lagi.” Ia berhenti sebentar lalu berkata, “Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-benar dalam dua puluh jurus kau dapat merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!”
“Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tidak kehendaki nyawamu, orang muda. Kalau kau kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, adapun kau sendiri, sebagai hukuman kau harus menjalani penghidupan sebagai pengemis selama setahun dan ikut padaku ke mana aku pergi,” kata Han Le.
Merah muka Kiang Liat dan ia marah sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,
“Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis? Bersiaplah kau!” Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya kembali.
Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil. “Aku sudah bersiap sejak tadi. Hayo majulah dengan jurus pertama!”
Melihat Han Le tersenyum-senyum seakan-akan amat memandang rendah, naiklah darah Kiang Liat. Ia dikenal sebagai Jeng-ciang-sian (Manusia Dewa Bertangan Seribu), kepandaiannya sudah amat tinggi karena dia telah mewarisi seluruh ilmu silat dari ayahnya, ilmu silat keluarga Kiang adalah keturunan dari ilmu silat yang diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya. Ilmu silat ini turun-menurun dan akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat telah meninggal dunia. Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja ia memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi keluarga Kiang ini dan segan-segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.
Akan tetapi hari ini bertemu dengan seorang pengemis yang rambutnya gondrong, yang kelihatannya begitu lemah, namun begitu berani menghinanya menantang untuk merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat lagi yang lebih membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis ini hendak menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang tongkat kecil!
“Orang tua,” katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya agar kemarahannya tidak memuncak. “Kau hendak merobohkan aku dalam dua puluh jurus, itu saja sudah merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu saja. Sekarang kau masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini keterlaluan? Aku bukannya seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan pedang dan aku melawan tongkatmu itu dengan tangan kosong.”
Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak, “Ha, ha, ha, Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kaulihat seranganku pertama dengan pedang!”
Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru ia memutar pedang menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk menyerang pundak Kiang Liat. Adapun tongkatnya yang tadi, entah bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu telah menancap di atas tanah!
Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa ia telah dapat mengelak dari serangan pertama, ia lalu memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya. Han Le yang tidak mau membuang waktu sia-sia, cepat maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini demikian hebatnya serta cepatnya sehingga Kiang Liat biarpun berhasil menangkis namun ia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang keluarga Kiang, ia berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah melewati tiga jurus dengan selamat!
Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-kai dan ini masih belum hebat, kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena ia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari suhengnya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, dimana ia melihat lukisan-lukisan di dinding gua dan melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu (baca cerita Pendekar Sakti). Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini ia telah merantau dan di dunia kang-ouw ia telah melihat banyak sekali ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang. Namun, melihat ilmu pedang dari keluarga Kiang yang demikian kokoh kuat pertahanannya, mau tidak mau ia harus memuji. Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, diam-diam ia menduga bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Bukit Thian-san), yang mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.
“Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, kurang tujuh belas jurus lagi, akan kucoba mempertahankan diri!” Kiang Liat menantang dengan suara gembira. Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah kegembiraan di hati pemuda yang tabah ini, dan melihat wajah pengemis itu seperti ragu-ragu, ia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya maka ia menantang.
Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh lebih menang daripada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian dan dia sendiri tidak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakannya. Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya. Ketika mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan di dalam gua di Pulau Pek-hio-to ia mendapatkan ilmu silat yang amat aneh gerakannya dan juga amat aneh tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan! Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang ia pelajari itu sebenarnya adalah pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian ini ialah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat atau terbuka dalam setiap serangan lawan. Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walaupun penyerangan itu tentu saja bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah dan terancam. Misalnya seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis kedudukannya lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian seterusnya.
Han Le yang amat cerdik itu, hendak mempergunakan ketabahan dan kekerasan hati Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu menjawab,
“Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun aku akan dapat merobohkanmu. Apalagi kalau aku serang, sedangkan dengan mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau tentu akan terpelanting sendiri kelelahan!”
Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Ia benar-benar telah dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan hatinya membuat ia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia berseru,
“Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!”
Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Pedangnya lenyap berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor naga yang berlagak di angkasa. Para tokoh pengemis yang berada di situ diam-diam kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu. Memang, ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thiam-san-kiam-hoat akan tetapi indah sekali gerak-geriknya, lebih indah daripada gerakan-gerakan ilmu pedang Bu-tong-pai. Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding gua di Pulau Pek-hio-to, agaknya dengan Hun-khai-kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!
Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena lawan yang diserangnya itu seakan-akan bukan manusia, melainkan bayang-bayang atau asap saja. Ke mana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin dan bayangan lawannya berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas, tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas jurus telah lewat!
Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Kalau dalam dua jurus lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tak mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Namun, bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang lenyap entah berada di mana.
Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya. Kiang Liat berusaha hendak mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.
Cap-si Kaipangcu bersorak, bukan saja karena girang mendapat kemenangan dalam taruhan, akan tetapi terutama sekali karena terkejut dan kagum. Tanpa ada yang perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.
“Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga tadi tidak percaya bahwa Tai-hiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”
Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh. “Cuwi Kai-yu yang baik. Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Namun segala macam hukuman itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggarnya. Menurut yang kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu biarpun telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, namun pelanggarannya bukan karena ia jahat. Ia ingin keluar dari keanggautaan pengemis karena ia ingin mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama karena tak dapat disangkal lagi amat rendah derajat seorang gadis cucu pengemis!” Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lo-kai.
Kakek itu cepat menghampiri Han Le dan berkata, “Bukan demikian, Han-tai-hiap. Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biarpun dihukum mati, aku Si Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang tuanya lagi dan kepada siapakah ia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku, kakeknya? Oleh karena inilah maka sebelum aku mati, aku ingin meninggalkan sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak ia takkan hidup terlantar. Untuk kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah.”
Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata kepada It-gan Sin-kai, “Kalian mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?”
“Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Tai-hiap di sini dan telah memberi peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Tai-hiap.”
“Keputusan, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya.”
“Baik, Tai-hiap, kami akan menjalankan keputusan itu,” kata It-gan Sin-kai.
“Bagus, dan aku percaya kalian di kemudian hari akan memutuskan sesuatu lebih bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang, sediakan seperangkat pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu.”
Memang aneh sekali, di antara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua membawa pengganti pakaian, biarpun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan yang buruk! Tidak heran apabila pakaian mereka biarpun buruk dan penuh tambalan, selalu kelihatan bersih. Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama dengan Kiang Liat, memberikan pakaiannya dan ramai-ramai mereka sambil tertawa-tawa menanggalkan semua pakaian Kiang Liat, lalu menggantikan pakaian butut itu kepada tubuh pemuda ini. Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena ia telah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andaikata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa ia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!
Setelah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa, “Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan patut menjadi muridku!” Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.
Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, dan pada saat itu, kakek tua she Song berseru keras, “Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”
Dalam sekejap mata saja, kembali Han Le kelihatan di tempat itu, mengempit tubuh Kiang Liat.
“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”
Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. “Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li.”
Han Le memandang heran. “Apa maksudmu? Apa yang kudapat lakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”
Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan kini dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, “Nyawa lohu yang tidak berharga telah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini takkan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentausaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”
Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biarpun tidak berdaya namun masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.
“Ha, ha, ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tidak berkuasa dalam hal ini, hanya kuberjanji bahwa setelah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua dapat berunding sendiri.” Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi, Song-lokai girang sekali, sambil tertawa-tawa ia lalu berkata,
“Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”
Hukuman dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le, pencambukan itu dilakukan sekedar untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.
***
Kiang Liat sebenarnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Ketika orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang besar dan penuh dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan. Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak ia terlahir, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya. Hidupnya tidak mewah karena ia memang suka akan kesederhanaan, namun ia tidak sayang mengeluarkan uang, apalagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Ia biasanya hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru ia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.
Kini setelah bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja tadinya ia merasa terhina dan dapat membayangkan bahwa ia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketiak ia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara. Apalagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, ia girang bukan main. Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, juga ia mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini ia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, melainkan sengaja hidup sebagai pengemis untuk pernyataan belasungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita. Mereka adalah pengemis-pengemis yang sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seakan-akan untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia, dan di balik semua sandiwara ini, mereka ternyata adalah pendekar-pendekar yang tidak saja siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!
Setelah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat makin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah dapat menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai. Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, bagaikan bumi-langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.
Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, ia tidak mau merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain. Sebaliknya, ia memberi pelajaran dari lukisan-lukisan di dinding tua Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat. Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, Kiang Liat dapat menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda dengan orang menari-nari saja, namun di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar