“Di mana ….??” Li Hoa berteriak tak sabar lagi.
“Di dalam … di dalam celana …. kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih, bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya? Kurasa tidak mungkin kau gadis baik-baik dan sopan.”
Tadinya mata gadis itu membelalak lebar, kemudian ia menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, di lain saat Li Hoa sudah tertawa bergelak, akan tetapi hanya sebentar saja. Sementara itu, melihat gadis itu tidak mengganggu Han Sin, monyet Siauw-ong sejak tadi memandang gerak-gerik mereka dan ikut tertawa dan melonjak-lonjak girang tiap kali melihat dua orang itu tertawa. Sekarangpun ia tertawa sambil berloncat-loncatan.
“Han Sin, kau benar. Aku tidak berani mengambilnya. Akan tetapi akupun tidak percaya kepadamu, kau tentu bohong.”
“Selama hidupku, aku Cia Han Sin tidak pernah bohong dan tidak akan mau membohong!” bentak Han Sin marah.
“Kalau betul tidak bohong, tunjukkan buktinya. Seorang laki-laki harus berani membuktikan kebenaran omongannya!”
“Mana bisa? Kedua tanganku dirantai.”
“Tunggulah, akan kubebaskan kau!” kata Li Hoa dan “srett!” pedangnya telah ia cabut. Melihat pedang ini, Siauw-ong mengeluarkan pekik kaget dan tiba-tiba ia menyerbu, meloncat tinggi dengan tangan kiri berusaha merampas pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah leher Li Hoa.
Kaget sekali gadis ini menyaksikan gerakan yang begitu cepat dan lincah, juga tidak secara ngawur, melainkan gerakan seorang ahli silat! Biarpun ia sudah mengelak ke kiri, namun ujung lengan bajunya kena disambar dan robek! Boleh jadi gadis ini seorang ahli silat tinggi, murid kesayangan ketua Coa-tung Kai-pang, akan tetapi monyet inipun bukan monyet sembarangan. Dia seorang “murid” tak langsung dari Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang ilmunya tidak kalah oleh Coa-tung Sin-kai ketua dari Coa-tung Kai-pang!
“Siauw-ong, jangan kurang ajar. Mundur kau! Nona itu bukan hendak membunuhku, melainkan hendak menolongku. Mundur!” Benar saja, Siauw-ong mentaati perintah ini dan dia melompat mundur, akan tetapi sepasang matanya yang kecil masih memandang tajam penuh curiga ke arah Li Hoa.
Gadis ini kagum sekali. “Eh, Han Sin. Monyetmu ini ternyata lebih setia dari pada manusia biasa. Kepandaiannya pun lumayan. Coba kau berdiri membelakangiku, biar kuputuskan rantai ini.”
Dengan tenang dan penuh kepercayaan, pemuda itu berdiri lalu membelakangi Li Hoa. Gadis itu makin terharu. Benar-benar seorang pemuda yang hebat, penuh keberanian, jujur dan amat baik hati, terlalu baik hati. Kalau dia mau, bukankah sekali tabas saja ia akan dapat menewaskan pemuda itu. Pedangnya diangkat, sinar berkelebat disambung bunyi nyaring dan ternyata rantai itu telah putus oleh sabetan pedang di tangan Li Hoa!
Siauw-ong memekik dan meloncat-loncat kegirangan sedangkan Han Sin lalu meloloskan rantai yang sudah putus itu dari tubuhnya. Ia menarik napas dan memandang kagum kepada Li Hoa.
“Li Hoa, melihat adikku yang bisa belajar silat aku heran. Sekarang ternyata kaupun seorang gadis muda sudah memiliki kepandaian silat dan begini kuat, benar-benar aku menjadi makin heran. Untuk apa sih gadis-gadis cantik jelita belajar silat dan menjadi kuat dan kasar seperti laki-laki. Bukankah lebih baik kalau gadis cantik halus lembut dan lemah gemulai?”
“Jangan ngaco! Lekas kau ambil surat itu kalau memang kau tidak membohongiku!” kata Li Hoa tidak sabar lagi.
“Akan tetapi hanya untuk bukti bahwa aku tidak bohong, sama sekali bukan hendak kuberikan kepadamu atau kepada siapapun juga,” kata Han Sin sambil membalikkan tubuh membelakangi Li Hoa lalu merogoh ke dalam celananya. Dalam sebuah saku yang dipasang pada balik celananya, di situlah selama ini ia menyimpan peta kuno itu. Ketika ia membalikkan tubuh lagi menghadapi Li Hoa, ia sudah memegang peta itu dengan wajah berseri.
“Aku Cia Han Sin tak pernah membohong. Inilah wasiat itu!”
Tiba-tiba tangan kiri Li Hoa menyambar dan peta itu sudah direbutnya. Terdengar suara kertas robek dan ternyata peta itu sudah robek menjadi dua potong, sepotong di tangan Li Hoa dan yang sebelah lagi di tangan Han Sin. “Eh, kau … kenapa kau merampasnya?” teriak Han Sin marah.
Li Hoa tersenyum, pedangnya bergerak menodong di depan dada Han Sin.
“Tolol, memangnya kau kira nonamu suka bercanda denganmu? Berikan yang sebelah lagi, kalau tidak ujung pedangku akan menembusi dadamu!”
Melihat ini, Siauw-ong marah dan menyerang akan tetapi Han Sin mencegahnya. “Jangan Siauw-ong! Nona ini hanya main-main!” Siauw-ong mundur lagi. Binatang ini memang paling taat dan takut kepada Han Sin.
“Li Hoa, jangan kau begini. Apa kau tidak malu?”
“Tutup mulut, berikan potongan yang di tanganmu itu!”
Han Sin tertawa getir. Ia kecewa. Baru sekarang terbuka matanya bahwa gadis ini memang benar-benar menghendaki surat wasiat, bahwa sikap yang ramah tadipun hanyalah pura-pura sebagai siasat merampas surat wasiat. Kembali ia dikecewakan orang. Ia tertawa-tawa keras. “Ha ha ha, Li Hoa, tidak ada gunanya potongan peta ditanganmu itu. Itu hanya corat-coret tidak ada artinya. Penjelasannya berada di tanganku ini. Dan kau takkan bisa mendapatkannya, biarpun kau akan menusuk mampus dadaku.”
Setelah berkata demikian, dengan hati gemas Han Sin meremas peta di tangannya itu. Ia tidak sengaja hendak merusak peta itu karena tidak tahu bahwa ia akan dapat melakukannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan tenaga karena marah dan kecewanya, mengalirlah tenaga ke dalam jari-jari tangan yang memegang peta, terdengar suara aneh dan …… tahu-tahu potongan peta di tangannya itu menjadi hancur berkeping-keping tak mungkin bisa dibaca atau disambung lagi. Ia menyebar kepingan kertas itu ke atas dan sambil tertawa ia melihat kepingan itu diterbangkan oleh angin, sebagian jatuh di atas rambut kepala Li Hoa dan menambah kecantikannya.
” Ha ha ha, kau lihat tidak, Li Hoa? Potongan di tanganmu itu tidak ada artinya sama sekali!”
Li Hoa buru-buru melihat potongan peta itu dan benar saja, di situ hanya terdapat gambar sebagian gunung dan lembah, tidak ada huruf-hurufnya sama sekali. Bagaimana orang dapat mengenal gambar sebelah gunung tanpa tanda-tanda yang jelas. Diapun kaget melihat pemuda itu sekali remas dapat menghancurkan kertas yang tipis dan lunak. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi, mana bisa melakukan hal itu? Meremas hancur sepotong batu yang keras masih lebih mudah dilakukan dari pada meremas hancur sepotong kertas yang lunak dan ulet.
Akhirnya ia menyimpan potongan itu ke dalam saku bajunya lalu berkata, “Han Sin, kau benar-benar tolol. Kau tidak mau memberikan peta itu kepadaku, sebaliknya malah merusaknya. Setelah rusak di tanganmu, bagaimana kau akan dapat memenuhi kehendak ayahmu supaya kau mencari rahasia peta itu?”
Han Sin memang jujur. Biarpun gadis cantik ini sudah menipunya, dia tidak merasa sakit hati, tidak menaruh dendam. “Bukan aku yang tolol, Li Hoa, mungkin kau sendiri. Apa aku mau merusaknya sebelum semua isi peta itu pindah ke dalam ingatanku? Bagiku sama saja, ada peta atau tidak.”
Li Hoa memandang tidak percaya. Han Sin menjadi penasaran. Dia sejak kecil hanya hidup berdua dengan adiknya dan tiga orang pelayan. Belum pernah mempunyai teman lain dan sekarang bertemu dengan Li Hoa, dia merasa senang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja pemuda ini masih mempunyai sifat ingin dipuji kepandaiannya. Maka cepat ia berjongkok di atas tanah. “Kau lihat, bukankah bagian yang ada padamu itu seperti ini?”
Jari telunjuknya mencorat-coret di atas tanah dan mata Li Hoa membelalak kaget. Memang, persis sekali gambar itu dengan gambar pada peta yang ia rampas! Diam-diam ia menjadi girang sekali. Kalau begitu, asal dia bisa menawan pemuda ini, perlahan-lahan ia dapat membujuknya untuk menggambar kembali peta yang tadi sudah diremasnya sampai hancur. Memang Li Hoa menghendaki peta kertas, akan tetapi kalau peta kertas sudah rusak, peta di dalam otak pemuda inipun boleh juga. Ia tersenyum manis sekali ketika berkata,
“Han Sin, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tadi hanyalah ingin mencoba kepandaianmu saja. Untuk apa bagiku peta ini? Kau lihatlah baik-baik!” Ia lalu mengeluarkan peta sepotong tadi dan dirobek-robeknya sampai hancur. Tidak dapat ia meremasnya seperti yang dilakukan Han Sin tadi. Pemuda itu menjadi girang sekali.
“Ah, kiranya aku tadi salah sangka. Memang aku tahu kau baik sekali, Li Hoa.”
“Sekarang kau ikutlah aku keluar dari neraka ini. Biar aku yang membujuk para tosu supaya kau dibebaskan.”
Han Sin mengangguk-angguk. “Memang akupun tidak percaya para tosu itu akan mengurungku selama hidup di tempat ini.” Ia memandang ke atas, lalu menggeleng-geleng kepala. “Tempat begini tinggi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?”
“Bukankah sudah kupasangi tambang? Monyetmu tadipun bisa turun melalui tambang.”
“Monyetku tentu bisa, akan tetapi aku bukan monyet.”
“Eeh, kau jadinya mau menyamakan aku dengan monyet?” Li Hoa cemberut dan hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi ia teringat bahwa tadipun ia sudah menampar dua kali, maka sebagai gantinya, jari tangannya mencubit pundak orang.
“Aduh, cubitanmu sama sakitnya dengan tamparanmu.” Han Sin tertawa dan memandang wajah gadis yang kemerahan itu. “Aku tidak hendak memakimu, hanya terus terang saja, kau dan Siauw-ong tentu bisa memanjat naik, akan tetapi aku … ah, aku tidak bisa.”
Entah mengapa, setelah bercakap-cakap dengan pemuda itu beberapa lamanya di dasar Can-tee-gak, timbul perasaan mesra dalam hati Li Hoa. Tanpa ia sadari, rupanya ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini, biarpun suara hatinya sendiri itu ia bantah keras-keras terdorong oleh wataknya yang keras. Ia berusaha bersikap kasar dan memperlihatkan kekejaman terhadap Han Sin, namun beberapa kali ia jatuh.
“Tak usah banyak cakap, ayoh ku bantu!” Dengan cepat Li Hoa lalu menyambar lengan orang dan tak lama kemudian dengan bantuan gadis itu, Han Sin memanjat tambang itu ke atas. Li Hoa berada di bawahnya dan gadis inilah yang menahan tubuhnya sampai akhirnya mereka berdua tiba di atas jurang. Siauw-ong yang mengikuti dari belakang juga melompat dengan girangnya, lalu ia meloncat ke atas pundak Han Sin, telunjuknya menuding-nuding ke bawah gunung, agaknya hendak mengajak pemuda itu pergi selekasnya.
“Nonamu di mana, Siauw-ong?” tanya Han Sin yang tak pernah melupakan Bi Eng. Siauw-ong mengeluarkan suara cecowetan sambil menunjuk ke bawah puncak.
Pada saat itu, tiga orang pengemis tua nampak berlari mendatangi dengan wajah gelisah. Mereka itu setelah menanti beberapa lamanya belum melihat kembalinya Li Hoa, menjadi gelisah dan menyatakan perasaannya kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ji Cin Cu tertawa dan berkata, “Jangan-jangan Thio-siocia celaka pula di tangan bocah aneh itu. Lebih baik sam-wi losicu menengoknya di Can-tee-gak.”
Maka pergilah tiga orang tokoh Coa-tung Kai-pang itu ke jurang Can-tee-gak dan kebetulan sekali pada saat mereka tiba di situ, Li Hoa dan Han Sin serta Siauw-ong juga sudah sampai di tepi jurang dengan selamat. Tentu saja Tok-gan Sin-kai dan kawan-kawannya menjadi lega dan girang. Sebelum mereka sampai bicara, Li Hoa sudah mengedipkan matanya lalu berkata,
“Sam-wi suheng, saudara ini memang tidak mengerti ilmu silat dan tidak mungkin dia yang membunuh Ban Kim Cinjin. Akan tetapi karena dia tersangkut dalam pembunuhan itu, biar, kita melindungi dia turun gunung dan kita pancing orang yang melakukan pembunuhan.”
Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dalam urusan dengan pemuda ini sumoi mereka telah menyimpan rahasia, yaitu rahasia surat wasihat Lie Cu Seng. Mereka menganggap kata-kata sumoi mereka itu memang cocok dengan keadaan, maka mereka lalu menyetujuinya bulat-bulat. Hanya Han Sin yang melongo dan tidak tahu mengapa tiba-tiba nona itu bicara tentang kematian Ban Kim Cinjin dan sama sekali tidak menyinggung soal peta. Pula dia tidak kenal siapa adanya tiga orang pengemis itu.
“Nona Li Hoa, setelah kau menolongku keluar dari jurang, biarlah aku tidak mengganggu kau lebih lama. Aku hendak menyusul adikku. Aku tidak kenal dengan tiga orang lo-enghiong ini. Adapun tentang Ban Kim Cinjin, dia seorang jahat yang banyak membunuhi tosu Cin-ling-pai. Kematiannya entah sebab apa, mungkin ….. aku yang membunuhnya, tapi itupun amat aneh ….. ah, biarlah aku pergi.”
“Cia-twako, kalau kau pergi seorang diri, apa kau kira para tosu di sini akan membiarkan kau pergi begitu saja? Kau harus ikut dengan kami.”
Pada saat itu, terdengar suara orang dan muncullah It Cin Cu, Ji Cin Cu dan ketiga Cin-ling Sam-eng. Melihat pemuda she Cia sudah naik dan bercakap-cakap dengan empat orang tamunya, mereka segera menghampiri.
“Nona Thio, bukankah keterangan kami tadi benar? Mengapa bocah ini kau bawa naik?” tegur It Cin Cu. Diam-diam para tosu tadi seperginya tiga orang pengemis yang menyusul Li Hoa, berunding dan mereka mengambil keputusan untuk melindungi Cia Han Sin. Setelah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu keturunan Cia Sun, mereka tidak bisa memeluk tangan begitu saja, menyerahkan pemuda keturunan pahlawan yang mereka kagumi itu terjatuh ke dalam kaki tangan pemerintah Ceng.
“Kami hendak membawanya sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin,” kata Tok-gan Sin-kai dengan suara geram.
Ji Cin Cu tertawa. “Ha ha, nanti dulu, sobat. Pembunuhan atas diri Ban Kim Cinjin terjadi di tempat kami. Kalau kami tidak bisa membereskan sendiri perkara ini, apa akan dikatakan oleh orang-orang kang-ouw? Apakah kami orang-orang Cin-ling-pai sudah tidak becus mengurus persoalan ini? Tidak, bocah ini tidak boleh kalian bawa turun gunung.”
Serentak tiga orang pengemis tua itu mengangkat tongkat ular mereka melintang ke depan dada, dan Tok-gan Sin-kai berseru keras, “Tosu-tosu Cin-ling-pai, apakah kalian berani memberontak?”
“Omongan busuk! Siapa memberontak? Adalah kalian ini pengemis-pengemis kelaparan hendak mengacau Cin-ling-pai!” bentak Hap Tojin yang bermuka merah. Memang tosu tertua dari Cin-ling Sam-eng ini sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Ikut campurnya dua orang suhengnya sudah menimbulkan rasa tidak puas di hatinya karena biasanya semua urusan Cin-ling-pai cukup dibereskan oleh dia bertiga yang sudah terkenal dengan julukan Cin-ling Sam-eng. Sekarang ditambah oleh sikap para tamunya itu membuat darahnya menjadi panas.
Li Hoa menjadi khawatir sekali. Ia makin curiga dan menduga bahwa para tosu ini tentulah sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera Cia Sun dan karenanya hendak menahan pemuda itu dengan maksud menyelidiki rahasia surat wasiat Lie Cu Seng. Maka ia mengejek dan berkata untuk memanaskan hati suheng-suhengnya. “Kami utusan pemerintah dan kalian menghalangi maksud kami membawa tawanan, bukankah itu sama halnya dengan memberontak?”
It Cin Cu cepat berpikir. Bahayanya bentrok dengan pemerintah Ceng memang besar, akan tetapi bahaya itu hanyalah bahaya lahir yang dapat mereka lawan dan dapat mereka usahakan penolakannya. Kalau sampai mereka mendiamkan saja putera Cia Sun ditangkap kaki tangan pemerintah penjajah, dalam hal ini terdengar oleh para orang gagah, bahayanya lebih hebat lagi, yaitu nama Cin-ling-pai akan diseret ke dalam lumpur. Tentu suhunya takkan mendiamkan saja hal ini. Maka It Cin Cu lalu berkata singkat.
“Terhadap anjing-anjing penjilat kaki tangan pemerintah Ceng kami tak pernah ada urusan, juga tidak mau kami disuruh merangkak di depan mereka. Pendeknya, bocah she Cia ini adalah tawanan kami dan tak seorangpun boleh merampasnya!”
Sejak tadi Han Sin hanya mendengarkan dengan mulut melongo. Setelah sekarang ia tahu akan duduknya perkara, mukanya menjadi pucat dan memandang kepada Li Hoa dengan mata terbelalak.
“Kau ….. kau kaki tangan pemerintah Ceng …. Ah …. celaka, aku tertipu! Siapa sudi kau tolong? Lebih baik kembali ke jurang!” Han Sin lalu melarikan diri dan karena jalan turun ke bawah dihadang oleh para pengemis, ia lalu turun dari lain jurusan menuju ke belakang gunung.
Li Hoa tak dapat menjawab atas seruan ini, akan tetapi Tok-gan Sin-kai menudingkan tongkatnya, menggerakkannya sedikit dan berseru,
“Bocah she Cia, berhenti kau!” dan dari ujung tongkatnya itu menyambar sinar kuning ke arah Cia Han Sin. Pemuda itu berteriak kesakitan dan roboh terguling ke dalam sebuah jurang di sebelah kirinya. Ternyata pundaknya telah terkena paku Coa-ting (Paku Tulang Ular) yang merupakan senjata rahasia ampuh dan berbisa dari kaum Coa-tung Kai-pang. Bersama dia, Siauw-ong juga turut terguling masuk jurang.
“Pengemis busuk!” Hap Tojin berseru marah dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Tok-gan Sin-kai yang cepat ditangkis oleh tongkat pengemis mata satu ini. Di lain saat terjadilah pertempuran hebat di atas puncak itu. Tok-gan Sin-kai dan seorang sutenya yang berhidung merah menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan seorang pengemis lagi bersama Li Hoa menghadapi keroyokan Cin-ling Sam-eng. Tak seorangpun di antara mereka dapat mengurus keadaan Han Sin lagi karena pihak lawan merupakan lawan-lawan berat dan seorang saja di antara kedua belah pihak itu meninggalkan gelanggang, berarti pihaknya akan terancam kekalahan.
****
Ke mana perginya Bi Eng? Kenapa Siauw-ong kembali sendiri ke Cin-ling-san mencari Han Sin? Seperti telah diketahui, Bi Eng terpaksa dengan hati berat meninggalkan kakaknya di puncak Cin-ling-san, pergi bersama Siauw-ong setelah Han Sin memerintahkannya pergi lebih dulu dan menanti di tepi sungai Wei-ho. Tidak karuan rasa hati gadis ini ketika ia menuruni bukit Cin-ling-san
Tak terasa lagi Bi Eng mengucurkan air mata. Ingin sekali ia melompat dan lari mendaki gunung itu kembali untuk melihat kakaknya dan kalau perlu membelanya mati-matian. Namun suara perintah kakaknya masih bergema di telinganya dan ia tidak berani membantah lagi. Pandang mata kakaknya demikian pasti, tak boleh dibantah lagi.
Betapapun juga, ketika ia tiba di kaki gunung hatinya tidak kuat dan tiba-tiba ia berhenti berjalan, lalu menyandarkan diri di pohon dan menangis. “Sin-ko ….. bagaimana dengan keadaanmu …..?” bisiknya sambil terisak-isak.
Siauw-ong mendekati nonanya dan ikut menangis cecowetan, sambil menarik-narik lengan gadis itu diajak kembali ke atas gunung. Telunjuk tangan monyet itu menuding-nuding ke atas, kadang-kadang ia mencak-mencak dengan kaki dibanting-banting ke atas tanah menyatakan kemarahannya dan tantangannya kepada para tosu di atas.
“Tidak bisa, Siauw-ong. Kalau aku kembali tentu koko akan marah. Dia begitu baik, tidak boleh marah kepadaku …..” kata Bi Eng. Kemudian ia mendapat pikiran baik. Kalau dia sendiri yang kembali, tentu kakaknya akan marah. Akan tetapi kalau Siauw-ong yang kembali, biarpun marah, kakaknya itu takkan marah kepadanya. Dan kakaknya perlu kawan, perlu pembantu.
“Siauw-ong, kau kembalilah kesana. Kau cari Sin-ko sampai dapat dan kau ajak dia turun gunung. Aku akan pergi lebih dulu.” Mendengar ini, Siauw-ong nampak girang, melompat-lompat dan di lain saat ia telah berloncatan ke atas gunung kembali ke puncak. Bi Eng melihat sampai bayangan monyet itu lenyap, kemudian ia sendiripun melanjutkan perjalanannya, menuju ke sungai Wei-ho di sebelah utara pegunungan Cin-ling-san.
Seorang diri ia melakukan perjalanan itu, cepat-cepat agar lekas sampai di tempat itu di mana ia akan menanti kedatangan kakaknya dan Siauw-ong. Ia, seperti biasa sejak kecil, percaya penuh akan kepandaian kakaknya dan merasa pasti bahwa ia akan ketemu lagi dengan Han Sin.
“Kakakku hebat,” pikirnya, “Tidak bisa ilmu silat akan tetapi sekarang menghadapi bahaya dengan demikian tabah dan tenang. Dia gagah luar biasa.” Hatinya bangga bukan main dan dipercepatnya perjalanan menuju ke sungai Wei-ho. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada seorang pemuda yang diam-diam mengikuti perjalanannya, seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali, yang dapat berjalan cepat dan tidak pernah ketinggalan biarpun gadis ini menggunakan ilmu lari cepat.
Berhari-hari Bi Eng melakukan perjalanan, hanya beristirahat untuk bermalam dan makan. Jalan yang dilaluinya adalah jalan liar yang melalui banyak hutan dan bukit kecil. Ia merasa kesepian sekali dan saat inilah, dalam beberapa hari ini, merupakan saat-saat yang paling menyedihkan baginya. Merupakan pengalaman tidak menyenangkan hati yang pertama kalinya. Namun ia seorang gadis yang tabah dan sama sekali tidak mengenal takut biarpun harus bermalam di dalam hutan liar tak berkawan.
Akhirnya sampai juga ia ke sungai Wei-ho. Sungai Wei-ho ini adalah anak sungai besar Huang-ho atau sungai kuning. Biarpun hanya anak sungai, namun cukup besar dan lebar, pula dalam dan airnya mengalir deras. Saking lelahnya, ketika tiba di pinggir sungai ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan bersandar pohon. Dia lelah dan lapar, tengah hari itu amat panas sehingga ia malas untuk pergi mencari makanan. Sejuk juga duduk di bawah pohon di pinggir sungai itu. Tak lama kemudian Bi Eng jatuh pulas.
Pemuda yang semenjak dari kaki gunung Cin-ling-san membayanginya, sekarang muncul dan duduk di atas sebuah batu di depan Bi Eng, paling jauh lima meter. Pemuda itu duduk dan memandang gadis itu dengan mata penuh kekaguman dan cinta kasih. Makin dipandang, gadis yang tidur itu makin jelita menarik. Memang, di dunia ini orang-orang muda mengenal apa yang disebut “cinta kasih pada pertemuan pertama”.
Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang, tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si “dia” itu selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.
Pemuda tampan itu adalah Phang Yan Bu, putera Ang-jiu Toanio! Juga pemuda ini begitu melihat Bi Eng, terjadilah sesuatu yang ganjil di dalam dadanya. Yan Bu semenjak kecil seorang pemuda pendiam, sama sekali tidak pernah perduli akan gadis-gadis cantik. Bukan karena ia tidak pernah melihat gadis cantik. Yan Bu sudah lama melakukan perantauan dengan ibunya dan di dunia kang-ouw sudah banyak ia melihat gadis-gadis yang cantik jelita, bahkan banyak sudah gadis-gadis cantik jatuh hati kepadanya.
Akan tetapi dia sendiri belum pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang ia rasakan begitu ia melihat Bi Eng di kaki gunung itu. Pertemuan ini memang sudah untuk kedua kalinya. Dahulu di kaki gunung Min-san dia sudah melihat Bi Eng, namun sebagai seorang pemuda sopan, ia hanya melirik saja dan tidak begitu memperhatikan. Sekarang, begitu melihat kontan hatinya terikat.
Seperti kita ketahui, Phang Yan Bu bersama ibunya yang duduk dalam kereta dorong, setelah mencari keluarga Cia di puncak Min-san, mendengar dari pelayan bahwa Cia-kongcu dan Cia-siocia bersama seekor kera sudah turun gunung. Ang-jiu Toanio marah-marah, membunuh seorang di antara dua pelayan itu, lalu mengajak puteranya mengejar ke bawah gunung. Akan tetapi mereka kehilangan jejak dua orang muda itu dan karena marah-marah penyakit Ang-jiu Toanio kambuh lagi. Nenek ini muntah-muntah darah dan menyumpah-nyumpah. Yan Bu amat berbakti kepada ibunya, cepat ia menghentikan kereta dorong dan mengurut-urut punggung ibunya.
“Ibu, harap kau suka bersabar dan tenang ….” katanya kasihan.
“Sabar ….. sabar …., belasan tahun aku bersabar dan kau masih hendak memberi kuliah supaya aku bersabar lagi?” bentak ibunya melotot. Yan Bu terkejut karena belum pernah ibunya ini, biarpun amat galak, marah-marah kepadanya seperti ini.
Ia sudah pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya, Phang Kim Tek, telah tewas di tangan seorang musuh, yaitu Cia Sun di Min-san, sedangkan guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim telah tewas di tangan Hoa Hoa Cinjin. Ibumya selalu mendendam kepada dua orang ini.
Membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin bukanlah hal mudah, bahkan biarpun dia sudah mendapat gemblengan dari susiok-couwnya, Phoa Kok Tee si Raja Obat, tetap saja ibunya melarang dia mencari Hoa Hoa Cinjin karena takut puteranya belum kuat menandingi kakek yang sakti itu. Adapun Cia Sun pembunuh ayahnya, telah meninggal dunia.
“Ibu, ayah telah meninggal dunia, akan tetapi musuh besarnya, Cia Sun, juga sudah meninggal dunia. Mengapa ibu masih selalu jengkel? Paling perlu anak pergi mencari Hoa Hoa Cinjin untuk membalaskan kematian su-kong (kakek guru). Tentang anak-anak Cia Sun, kurasa mereka itu tidak tahu menahu tentang permusuhan antara ayah dan Cia Sun …..”
“Tutup mulut!” Ibunya membentak makin marah dan “Uwaaahh!” Sekali lagi Ang-jiu Toanio menyemburkan darah hidup. Yan Bu cepat-cepat menolong ibunya dan anak yang berbakti ini menarik napas panjang.
“Ibu sih dulu terlalu terburu nafsu mempelajari Ang-see-chiu, inilah akibatnya.” Memang, untuk mempelajari ilmu pukulan Ang-see-chiu yang amat beracun ini, sebelumnya orang harus memiliki dasar lweekang yang kuat. Ang-jiu Toanio memang semenjak mudanya berwatak keras dan galak, tidak kenal takut maka tanpa memperdulikan bahaya itu siang-siang sudah mempelajari ilmu pukulan dahsyat itu. Memang akhirnya ilmu ini dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi, namun kesehatannya menjadi korban pula, dalam usia tua ia menjadi sakit-sakitan saja.
“Tidak begitu hebat kalau tidak ditambah oleh kelakuanmu!” damprat ibunya. “Yan Bu, pendeknya kau mau menurut permintaan ibumu atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau pergilah, biarkan aku sendiri mencari musuh besar, tak perlu kau bantu!”
“Ibu, bagaimana ibu berkata demikian? Aku adalah anakmu, anak tunggal, tentu saja akan menurut segala permintaan ibu.”
“Nah, kalau begitu, pergilah kau kejar dua bocah she Cia itu. Kejar sampai dapat. Bunuh bocah she Cia yang laki-laki dan tawan yang perempuan bawa kepadaku. Selain itu, yang lebih penting lagi rampas sebuah surat wasiat Lie Cu Seng yang ada pada mereka. Kau tahu, surat wasiat itulah yang kelak akan membantu kita dapat membalas dendam suhuku kepada Hoa Hoa Cinjin.”
Yan Bu mengangguk-angguk, biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyetujui kehendak ibunya. Anak-anak Cia Sun tidak salah apa-apa, mengapa harus dibunuh? Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah, dia hanya bertanya karena memang heran mendengar ucapan terakhir. “Bagaimana surat wasiat itu bisa membantu kita, ibu?”
“Kau kira aku tergila-gila akan harta dunia yang tersimpan dalam rahasia surat wasiat itu? Bodoh. Semua orang gagah di dunia kang-ouw mengejar-ngejar surat wasiat itu, berlomba untuk mendapatkannya. Apakah orang-orang gagah menghendaki harta? Sudah lebih dari cukup aku hidup kaya raya dahulu. Yan Bu, dengarlah. Surat wasiat itu menunjukkan di mana adanya harta simpanan Lie Cu Seng dan di antara harta benda itu, terdapat sebuah kitab rahasia ilmu silat ciptaan Tat Mo Couwsu. Siapa mendapatkan dan mempelajari isi kitab, pasti akan menjadi jago silat nomor satu di dunia ini. Nah, setelah mendapatkan pelajaran dari kitab itu, apa sih sukarnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin? Karena itu, lekas kau lakukan tugas ini. Bunuh bocah laki-laki she Cia, rampas surat wasiat dan tawan bocah perempuannya, bawa padaku. Mengerti?”
“Akan kulakukan semua perintahmu, ibu.”
“Berangkatlah sekarang, aku menantimu di I-kiang, aku harus beristirahat. Akan tetapi obat satu-satunya untuk menyambung usiaku adalah bocah perempuan she Cia dan surat wasiat. Ingatlah ini!”
Demikianlah, dengan hati berat Phang Yan Bu berangkat mengejar Han Sin dan Bi Eng. Jejak dua orang muda dan monyetnya itu tidak sukar ia cari. Memang dua orang muda yang membawa-bawa monyet itu adalah rombongan yang mudah diingat, maka setelah mendapat keterangan dari orang di jalan ke mana arah perjalanan musuh-musuhnya, ia lalu mengejar dan sampai di kaki gunung Cin-ling-san.
Kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat Bi Eng berlari seorang diri turun gunung, maka diam-diam ia mengikuti gadis ini yang sekali gus telah membetot semangatnya, membuat ia ragu-ragu bagaimana harus bertindak terhadap gadis ini. Menangkapnya seperti yang diperintahkan ibunya? Ah, bagaimana dia bisa berbuat demikian? Laginya yang laki-laki tidak berada di situ. Aku harus bersabar menanti sampai keduanya berkumpul, pikirnya.
Hari telah menjadi senja ketika Bi Eng mengulet dan membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, baru terheran hatinya ketika melihat bahwa yang menutupi tubuhnya adalah sehelai jubah luar yang lebar dan tebal. Pemandangan pertama ini sudah mengherankannya, akan tetapi penglihatan ke dua amat mengejutkannya. Di depannya, hanya dalam jarak dua meter, menggeletak seekor bangkai harimau besar yang masih mengucurkan darah dari lehernya yang terluka lebar bekas bacokan. Seketika gadis ini melompat bangun dan ….. ia berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang berdiri memandangnya dengan kagum.
“Apa ….. apa …. kenapa ….., siapa kau?” serunya kaget sambil melompat ke depan dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.
Untuk sejenak Yan Bu tak dapat menjawab, terlalu terpesona oleh sepasang mata yang amat indah seperti bintang pagi dalam pandangan matanya itu. Akhirnya, dengan gagap ia menjawab juga, “Aku ……. aku Phang Yan Bu.”
Merah wajah Bi Eng. Dia seorang gadis yang lincah, jujur, dan terbuka hatinya. Akan tetapi dengan sikapnya barusan, seolah-olah sebagai seorang gadis ia lebih dulu menanyakan nama orang, benar-benar memalukan.
“Siapa tanya namamu?” katanya cemberut.
Makin kagum Yan Bu. Gadis ini dalam segala gerak-geriknya terlalu manis menarik, ketika tidur, kaget dan cemberut, selalu makin manis! Ditegur oleh gadis itu, ia makin bingung. “Aku … aku hanya menjawab, bukankah nona tadi menanyakan?” katanya sambil tersenyum.
“Jangan pringas-pringis (menyeringai)! Aku tidak tanya nama, kumaksudkan …. kenapa kau di sini, dan … dan selimut ini, … bangkai harimau itu? Siapa menyelimuti aku?”
“Aku ……”
“Kenapa??”
“Nona tidur kelihatan kedinginan, angin amat …. besar …..”
“Siapa bunuh harimau ini?”
“Aku …..”
“Kenapa?”
“Dia hendak menubruk nona yang sedang tidur, aku menggunakan golokku membunuhnya.”
“Hemmmm ….”
“Ya ……., begitulah ……..”
Keduanya terdiam, sukar untuk mulai bicara. Entah mengapa, Bi Eng yang biasanya lincah itu, sekarang kehilangan keterampilan lidahnya. Pandang mata pemuda itu terlalu tajam, seakan-akan hendak menjenguk isi hatinya, membuat dia bingung.
“Kalau begitu, terima kasih,” akhirnya ia berkata perlahan.
“Mengapa berterima kasih?”
“Untuk …. untuk selimut dan harimau …….” Bi Eng menarik napas lega, dia sudah berterima kasih jadi tidak hutang budi lagi dan ini membuat ia lebih bebas rasanya. Ia lalu duduk lagi di atas akar pohon. Juga Yan Bu yang tadinya berdiri, kini duduk lagi di atas batu, entah bagaimana, dia merasa girang bukan main. Belum pernah selama hidupnya, ia merasai kesenangan hati yang hanya bisa dirasa oleh dia sendiri.
Bi Eng tak sengaja menyentuh jubah yang tadi menyelimuti dirinya. Wajahnya menjadi merah dan ia mengambil jubah itu, digulungnya lalu berkata, “Nih jubahmu, kukembalikan!”
Ia melemparkan gulungan jubah itu sambil mengerahkan tenaga ke arah pemiliknya. Ia hendak menguji dan tidak mempunyai maksud buruk karena ia tahu bahwa orang yang telah membunuh seekor harimau tentulah berkepandaian. Benar saja, sambil tersenyum Yan Bu menyambut timpukan itu dan tidak merasa berat ketika menerimanya. Bi Eng menatap wajah yang tampan itu dan keningnya berkerut. Tiba-tiba ia melompat.
“Heee! Kau ….?” Ia menuding dengan telunjuknya.
YAN BU kaget dan meloncat bangun pula. Ia merasa nona ini amat aneh dan lucu gerak-geriknya. Dalam gugupnya, ia menjawab sambil menuding ke arah hidungnya sendiri. “Ya, ini aku, ada apa?”
“Kau …. kau pemuda yang mendorong kereta nenek sakit itu!”
Yan Bu tersenyum melebar, lalu membungkuk. “Betul, nona. Terima kasih bahwa sekali bertemu, ternyata nona masih ingat kepadaku.”
“Cih, siapa yang mengingat-ingat kau? Siapa kau dan kenapa kau berada di sini?”
“Aku Phang Yan Bu, nona dan ……”
“Aku sudah tahu! Sekali aku mendengar namamu Phang Yan Bu, kau kira aku sudah lupa dan harus diulang-ulang?”
Yan Bu membungkuk lagi. “Terima kasih banyak, nona. Sekali mendengar namaku, ternyata kau tidak bisa lupa lagi ……”
“Gila! Jangan main-main kau. Aku tidak bermaksud berkenalan denganmu, biar seratus kali kau memperkenalkan nama, aku tidak akan memperkenalkan diri padamu. Aku hanya akan bertanya ……”
“Tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa nona. Namamu Cia Bi Eng, bukan? Nama yang amat indah …..”
Bi Eng tertegun. Untuk sejenak ia menjadi bingung oleh serangan ini, akan tetapi ia bisa menenangkan hatinya. “Kenapa kau mengikuti aku ke sini? Apa maumu? Kau mendorong kereta nenek sakit, kenapa kau pergi meninggalkan nenek mau mampus itu?”
“Dia ibuku, nona …..” kata Yan Bu dengan suara berduka.
Bi Eng terharu. Seorang pemuda mendorong-dorong ibunya dalam kereta, benar berbakti. Akan tetapi mengapa ditinggalkan? Dalam keharuannya ia kecewa.
“Lebih-lebih dia ibumu! Tak boleh ditinggalkan.”
“Justru ibu yang menyuruh aku datang ke sini, nona Cia.”
“Ibumu sakit dan lemah , malah minta ditinggalkan? Benar aneh …..”
“Ibuku biar sakit, tapi dia bukan orang biasa, nona. Di dunia kang-ouw, ibuku dijuluki orang Ang-jiu Toanio dan …. “
“Setan ……!!” Bi Eng melompat dan mencabut pedangnya. “Kiranya kau anak dia?”
Yan Bu bingung dan menengok ke kanan kiri. “Mana setan ….? Siapa yang kau maki tadi?”
“Maki siapa lagi kalau bukan kau! Jadi, kau anak Ang-jiu Toanio ? Bagus, bagus. Sudah dapat dipastikan kau tidak bermaksud baik datang ke sini!”
“Bagaimana nona bisa tahu?” Yan Bu khawatir sekali melihat sikap gadis yang membetot semangatnya ini sekarang memusuhinya.
“Ibumu adalah pembunuh ayah bundaku!”
Yan Bu melengak, memandang bodoh dan sampai lama tidak bisa menjawab. Bi Eng menjadi tidak sabar dan menggerak-gerakan pedangnya di depan dadanya.
“Hei, jangan melongo seperti kerbau! Ang-jiu Toanio itu adalah seorang di antara para pembunuh ayah bundaku di Min-san, kau tahu? Aku harus membalas dendam, dan karena kau anaknya, kedatanganmu tentu bukan bermaksud baik, maka aku akan membunuhmu lebih dulu!”
“Sabarlah, nona. Kurasa keadaannya terbalik. Bukan ibu yang membunuh ayah bundamu, sebaliknya ayahmu yang bernama Cia Sun adalah pembunuh ayahku, Phang Kim Tek di I-kiang. Kenapa nona bolak-balikkan perkara?”
“Heh, siapa tidak tahu bahwa ayahmu, Phang Kim Tek tuan tanah di I-kiang yang kejam dan busuk itu terbunuh oleh mendiang ayahku? Andaikata ayahmu bernyawa dua, sekarang akupun tentu akan membunuh nyawanya yang satu lagi itu karena kekejamannya.”
Yan Bu menarik napas panjang. Ia bukan tidak tahu akan keadaan ayah bundanya di waktu dahulu, karena dia cerdik dan sering kali menyelidiki keadaan orang tuanya sendiri. Diam-diam ia menyesal akan kesesatan ayahnya dahulu. “Nona Cia, sesungguhnya, ibu menyuruh aku menuntut balas atas kematian ayahku. Akan tetapi, bagiku sendiri, kematian ayahmu sudah menutup dan menghabiskan semua permusuhan. Aku tidak bermaksud memusuhi anak-anaknya. Cuma saja …… menuruti perintah ibu ….., kau harap suka ikut aku menemui ibu dan membawa surat wasiat Lie Cu Seng ….”
“Jangan banyak cakap! Siapa percaya omonganmu? Lihat pedang!”
Bi Eng menyerang dengan sebuah tusukan kilat. Melihat datangnya serangan yang hebat ini, Yan Bu cepat melompat ke belakang. “Nona, percayalah, aku tidak …. tidak suka bertempur denganmu …..”
“Pengecut, keluarkan senjatamu!” Lagi-lagi Bi Eng menyerang, pedangnya menyambar secepat kilat. Kembali Yan Bu mengelak sampai tiga kali sambil berkata sedih.
“Nona Bi Eng, sungguh-sungguh aku tidak suka bermusuhan dengan engkau …..”
“Orang she Phang! Di mana kejantananmu? Aku tidak sudi membunuh seorang pengecut yang tidak melawan. Apa benar-benar kau takut melihat pedang ini?”
Betapapun berat rasa hati Yan Bu harus bertanding senjata dengan nona yang diam-diam telah meruntuhkan hatinya itu, mendengar sindiran ini ia tidak kuat menahan. Dia berjiwa gagah dan tidak takut mati, maka ia segera meloloskan goloknya dan berkata sambil menjura.
“Biarlah, aku yang bodoh minta petunjuk nona Cia yang perkasa.”
“Cih, banyak dongeng!” seru Bi Eng sambil memutar pedangnya dan di lain saat, dua orang itu sudah bertempur seru sekali. Bi Eng adalah murid Ciu-ong Mo-kai yang sudah mewarisi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang amat lihai, tentu saja ilmu silatnya ini adalah ilmu silat tinggi yang sukar dilawan. Namun di lain pihak, Yan Bu adalah murid tunggal dari Yok-ong Phoa Kok Tee. Ilmu silatnya lihai sekali dan tenaga lweekangnya juga sudah sempurna. Bi Eng yang terlambat belajar silat, kurang latihan dan kurang pengalaman, selain ini tentu saja kalah tenaga.
Tadinya Yan Bu terkesiap dan kaget serta kagum melihat gerakan pedang nona itu yang mainkan jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat yang tidak dikenal oleh Yan Bu. Belum pernah pemuda ini melihat ilmu pedang sedemikian indah dan hebatnya. Akan tetapi setelah dilawannya selama lima puluh jurus lebih, ia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai ilmu pedang gadis itu, ternyata Bi Eng kurang latihan dan kurang tenaga. Maka kalau dia mau, dengan mudah saja ia dapat merobohkan gadis itu.
Justru Yan Bu tidak mau merobohkan Bi Eng, tidak sampai hati ia mengalahkan gadis itu. Tidak tega ia melihat gadis itu kalah olehnya dan menjadi malu karenanya, apalagi sampai melukainya. Lebih baik dia sendiri yang terluka dan kalah! Memang, cinta bisa memutar balik jalannya keadaan.
Setelah pertempuran itu berlangsung hampir seratus jurus, biarpun Bi Eng masih kurang pengalaman dan kurang latihan, gadis itu dapat maklum bahwa pemuda ini tidak berkelahi secara sungguh-sungguh. Hal ini menambah kemarahan dan penasaran hatinya tanpa mengenal lelah ia mempercepat serangan-serangannya. Keringat sudah membasahi leher dan jidatnya dan napasnya mulai terengah-engah. Yan Bu tidak tega melihat ini dan pada suatu saat, ia sengaja membiarkan pedang gadis itu “memakan” ujung pundaknya. Ia memekik kesakitan, goloknya menangkis dan pedang gadis itu patah!
Sambil mendekap pundak kirinya yang terluka berdarah, Yan Bu melompat mundur dan berkata, “Nona Cia, hebat ilmu pedangmu, aku Phang Yan Bu mengaku kalah!”
Akan tetapi, gadis itu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis! “Kau bunuhlah aku! Tak usah banyak cerita, angkat golokmu dan bunuhlah aku, siapa takut mampus?”
Yan Bu melongo. Ia anggap sikap gadis ini lucu dan aneh. Ia melangkah maju dan berkata halus. “Cia-siocia, kau telah melukai pundakku, kau lebih menang dariku, mengapa kau bersikap begini? Aku sudah kalah olehmu dan aku mengakui kekalahanku ini …”
“Siapa sudi kau permainkan? Kau sengaja mengalah, apa kau kira mataku buta? Hemmm, manusia sombong, kalau kakakku berada di sini dan memberi petunjuk padaku, jangan kira dengan ilmu golok cakar ayammu itu kau akan mampu mengalahkan aku!”
Yan Bu menarik napas panjang, berduka sekali. “Memang, memang aku mengalah, akan tetapi terus terang saja, kau kurang latihan dan kurang tenaga. Agaknya kau belum lama mempelajari ilmu silat. Kalau kau cukup terlatih dan cukup tenaga terus terang saja ilmu pedangmu tadi tak sanggup aku melawannya. Nona, memang aku hendak mencari kakakmu, hendak kurundingkan dengan dia supaya kita, biarpun orang tua kita saling bermusuhan, kita sebagai anak-anaknya jangan melanjutkan permusuhan yang berlarut-larut ini. Aku …… aku tak sanggup bermusuh dengan kau …..”
“Kau ….. ayahmu dibunuh ayahku ….. apa kau tidak akan membunuhku?” tanya Bi Eng terheran-heran.
Yan Bu menggeleng kepala, lalu menyimpan goloknya. “Tidak.”
“Kenapa?”
Merah wajah Yan Bu. “Karena ….. karena …. tak mungkin aku mengganggumu, jangankan membunuh. Lebih baik aku mati dari pada membunuhmu!”
Inilah pernyataan isi hati yang sejujurnya, pernyataan cinta kasih yang diucapkan dengan lain kata-kata. Tiba-tiba hati Bi Eng berdebar dan mukanya juga menjadi merah. Gadis ini belum tahu menahu tentang cinta namun sikap dan kata-kata pemuda ini membuat ia merasa jengah. Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Pemuda ini lihai sekali, tinggi kepandaiannya. Kalau pemuda ini mau membantu, tentu kakaknya dapat ditolong keluar dari Cin-ling-pai.
“Betul-betul kau tidak memusuhi aku dan kakak Han Sin?”
“Tuhan menjadi saksi. Aku tidak memusuhi kau dan kakakmu,” jawab Yan Bu dengan suara tetap. “Biar ibu akan marah karenanya, aku bertanggung jawab karena sadar bahwa sikapku ini benar.”
“Kalau begitu kau …. kau hendak bertemu dengan kakakku?”
“Tentu saja. Di mana dia? Bukankah kakakmu bernama Cia Han Sin dan turun dari Min-san bersamamu dan membawa seekor kera? Di Mana kakakmu itu?”
Bi Eng mengerutkan kening, gelisah sekali nampaknya. “Itulah celakanya. Sin-ko telah ditawan oleh tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai di Cin-ling-san.”
“Kenapa bisa terjadi hal itu?”
Dengan singkat Bi Eng lalu menceritakan pengalamannya ketika dihadang oleh para tosu Cin-ling-pai sehingga kakaknya ditawan. Mendengar ini, Yan Bu menjadi marah.
“Terlalu sekali tosu-tosu itu! Selama ini aku mendengar nama besar Cin-ling-pai, mengapa sekarang menghina orang-orang muda? Nona Cia, harap jangan kau kuatir. Kau tunggulah di sini, biar aku sekarang juga menyusul ke Cin-ling-pai dan agaknya para tosu itu akan suka memandang muka ibuku untuk membebaskan kakakmu. Kalau sudah dibebaskan, kakakmu akan kuajak menyusul kau ke sini.”
Bi Eng memandang dengan matanya yang lebar dan bagus. “Kau …. ayahmu sudah dibunuh ayahku, pundakmu sudah kulukai karena kau mengalah …. dan kau sekarang mau menolong Sin-ko …..?”
Yan Bu tersenyum dan mengangguk. “Dengan persahabatan anak-anaknya, sakit hati orang-orang tua bisa ditebus, bukan?” Setelah berkata demikian, ia menjura lalu membalikkan tubuh, hendak pergi ke Cin-ling-san.
Untuk sejenak Bi Eng tertegun memandang bayangan pemuda itu. Ia melihat betapa pakaian di pundak robek dan penuh darah yang masih mengucur keluar. Tiba-tiba ia melangkah maju dan memanggil,
“Saudara Phang Yan Bu …..!”
Pemuda itu berhenti, memutar tubuh lalu melangkah maju. “Kau memanggil aku, nona Cia?”
“Kau tidak bisa pergi dengan luka dibiarkan begitu saja.”
Yan Bu tertawa senang, “Terima kasih atas perhatianmu. Luka ini ringan saja. Tidak apa-apa.”
“Kesinilah. Biar kubalut. Aku yang melukaimu, tidak enak hatiku kalau membiarkan saja.”
Yan Bu hampir tak percaya akan pendengarannya dan hampir ia bersorak girang. Cepat ia maju dan merobek baju di pundaknya. Sementara itu, Bi Eng sudah mengambil saputangannya lalu dengan cekatan jari-jari tangan yang halus itu membalut luka di pundak. Yan Bu sebagai murid Yok-ong, diam-diam geli dan tahu bahwa luka itu kalau tidak diobati, dibalut begitu saja amat tidak baik, namun ia diam saja. Ketika ia begitu dekat dengan Bi Eng dan mencium bau yang amat harum dari rambut dan saputangan gadis itu, ia meramkan matanya dan malah tidak tahu bahwa pembalutan itu sudah selesai.
“Eh, kenapa kau meram? Sakitkah?” Bi Eng bertanya heran dan dengan nada kasihan.
Yan Bu menggeleng kepala, masih meram. “Aku tidak berani membuka mata …..”
“Kenapa ….?”
“Kau begini dekat ……, begini cantik …… aku takut menjadi gila …..”
Karena sudah selesai, Bi Eng melangkah mundur dan tiba-tiba gadis ini tertawa geli. “Kau manusia lucu sekali!”
Yan Bu membuka matanya. “Terima kasih, nona Cia. Perbuatanmu membalut lukaku ini selama hidupku takkan pernah kulupakan, akan menjadi kembang mimpi setiap malam.”
“Kau ….. kau aneh sekali!” kata Bi Eng, benar-benar terheran dan merasa lucu, namun di dalam hati harus mengakui bahwa pemuda ini menyenangkan hatinya dengan sikapnya yang aneh itu.
Yan Bu menjura lalu berangkat ke Cin-ling-pai. Bi Eng duduk lagi bersandar pohon dan baru sekarang terasa olehnya betapa lapar perutnya. Ia pegi ke pinggir kali, mencari air yang jernih untuk diminumnya. Kemudian ia pergi ke dalam hutan di lembah sungai Wei-ho untuk mencari buah yang dapat dimakannya. Untung baginya baru setengah li ia berjalan, ia mendapatkan sebatang pohon buah-buahan yang penuh mengandung buah sejenis apel yang sudah matang-matang. Segera ia memetik beberapa buah dan memakannya sampai kenyang.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang ketawa dan dari balik pohon besar muncul seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegak dan berkepala gundul. Dia itu jelas seorang pendeta hwesio, akan tetapi sikapnya kasar dan kedua lengannya penuh bulu, matanya memandang kurang ajar kepada Bi Eng. Gadis ini kurang pengalaman tentang kekurangajaran pria, maka ia tersenyum dan menegur,
“Twa-hwesio, di tempat sunyi ini bertemu dengan seorang pendeta, sungguh aneh dan menyenangkan.”
Hwesio itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, nona manis. Kau tadi bilang menyenangkan? Ha ha ha!”
Kening Bi Eng mulai berkerut. Ia adalah seorang wanita, perasaannya halus maka ia dapat merasai sesuatu yang tidak beres dalam sikap hwesio ini. “Betul, aku bilang menyenangkan. Apa salahnya itu? Kakakku sering berkata bahwa bertemu dengan orang lain di tempat sunyi adalah amat menyenangkan. Salahkah itu?”
Hwesio itu membuka matanya lebar-lebar dan tertawa makin keras. Ha ha ha ha, kau betul. Memang menyenangkan sekali. Betapa tidak? Kau begini molek, begini manis, begini muda, begini … begini harum. Aduh, kau tadi bilang tempat sunyi? Ha ha ha, setelah ada aku dan engkau, mana bisa sunyi lagi? Mari, mari, manis sayang, mari kita jalan-jalan menikmati pemandangan indah di lembah Wei-ho. Jangan takut, aku Goan Si Hwesio dari Siauw-lim-pai biasanya berlaku halus pada seorang gadis manis seperti kau ….. ha ha ha!” Biarpun kata-katanya lambat, namun gerakan tangan hwesio itu cepat sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kiri Bi Eng sudah ditangkapnya.
Bi Eng menggigil ngeri dan jijik ketika merasa betapa tangannya dipegang oleh telapak tangan yang kasar dan dingin. Cepat ia mengibaskan tangannya sambil berseru, “Jahanam, lepaskan tanganku!” Lalu disusul dengan gerakan Po-in-gan-jit (Sapu Awan Melihat Matahari), sebuah jurus yang lihai dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat.
“Dukk!” tak dapat dicegah lagi hwesio bernama Goan Si itu sudah kena dipukul perutnya sampai ia mengeluarkan suara “ngekk!” dan terlempar ke belakang lalu jatuh terduduk. Baiknya Bi Eng belum memiliki tenaga lweekang yang besar, kalau demikian halnya tentu isi perut gendut itu sudah acak-acakan (cerai berai). Ia hanya merasa mulas saja sebentar. Dengan kedua matanya yang lebar hwesio itu memandang Bi Eng. Heran dan kaget karena tidak mengira gadis manis itu ternyata demikian lihai. Kemudian ia menjadi marah dan melompat berdiri.
“Bagus, kiranya kau ini seekor serigala betina? Kalau begini harus dihajar dulu sebelum jinak!” Ia lalu menubruk maju dan Bi Eng cepat mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat. Hwesio itu ternyata kosen dan pandai, juga bertubuh kuat. Dengan ilmu silatnya lihai beberapa kali Bi Eng dapat menghantam tubuh lawan, namun agaknya lawannya memiliki tubuh yang kebal, sehingga pukulan-pukulannya hanya membuat hwesio itu jatuh terduduk saja. Makin lama gadis ini makin menjadi lelah. Akan tetapi si hwesio makin buas dan menyeringai, tertawa-tawa dan napasnya berbau sekali membuat Bi Eng menjadi muak.
“Ha ha ha, nona manis lebih baik kau menyerah dan bilang twa-suhu yang tercinta tiga kali baru aku ampunkan kekurangajaranmu tadi!”
“Hwesio bau! Hwesio bau! Hwesio bau!” Bi Eng memaki tiga kali.
Goan Si Hwesio menjadi marah, ia mendesak makin hebat dan Bi Eng sudah lelah sekali karena tadi sebelum menghadapi hwesio ini sudah bertempur melawan Yan Bu, tak dapat mengelak lagi ketika kedua tangan hwesio yang kasar itu tahu-tahu telah menggunakan tipu Eng-jiauw-kang menangkap kedua pergelangan tangannya! Gadis itu meronta-ronta, namun ia tak dapat melepaskan cekalan hwesio itu, malah pergelangan tangannya terasa sakit sekali. Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh, dari mulutnya keluar bau busuk seperti bangkai.
“Hah hah hah, nona manis. Sekarang kau harus cium aku satu kali, baru kulepaskan kedua tanganmu! Hah hah hah!”
Bi Eng menjadi muak dan marah sekali, namun ia tidak berdaya. Ia tak dapat berbuat lain kecuali meludahi muka hwesio itu sambil memaki-maki, “Hwesio bau! Hwesio tengik! Kau boleh bunuh aku!”
Pada saat itu terdengar suara suling yang merdu, terdengar amat jauh akan tetapi secara mengherankan sekali, dengan cepat suling itu terdengar makin dekat, makin dekat seakan-akan dibawa terbang ke tempat itu. Tiba-tiba suara suling itu terhenti, disusul suara seorang laki-laki yang terdengar halus dan merdu, suara orang yang jenaka. “Ha ha ha, memang dia itu hwesio kopet (belum mencuci tubuhnya), maka berbau tengik dan busuk!”
Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, di situ sudah kelihatan seorang pemuda yang berpakaian indah dan mewah sekali, pakaian seorang sasterawan kaya, tangan kanan memegang sebatang suling berukir, tangan kiri memegang kipas indah yang dipakai mengebuti mukanya. Pemuda ini berusia kira-kira dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang wajahnya tampan sekali. Aneh dan sayangnya wajahnya yang tampan itu amat putih seperti dibedaki hingga nampak pucat.
Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gerakan seenaknya kipasnya dikebutkan ke arah muka hwesio itu. Jarak antara dia dan Goan Si Hwesio ada tiga empat meter. Akan tetapi angin kebutan itu membuat Goan Si Hwesio merasa mukanya dingin dan napasnya sesak. Saking kagetnya ia terpaksa melepaskan cekalannya pada tangan Bi Eng dan melompat mundur.
“Setan cilik, siapakah kau berani kurang ajar padaku? Ayoh, kau menggelinding pergi dari sini!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan tangan kanannya dan tiga batang senjata rahasia piauw menyambar ke arah tubuh pemuda tampan pesolek itu. Goan Si yang tadinya sudah girang mendapatkan seorang gadis calon korban, menjadi marah sekali diganggu orang maka begitu bergerak ia menurunkan tangan maut. Tiga batang piauw itu disambitkan secara hebat sekali sehingga lebih dari cukup untuk mengantar nyawa orang menghadap Giam-kun di neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar