Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Jumat, 06 Agustus 2010

Kasih Di Antara Remaja (Jilid 5)


Siauw-ong memiliki gerakan yang amat cepat dan lincah. Monyet ini menari-nari dan mulai menggunakan pukulan-pukulan ilmu silat yang aneh karena ilmu silat yang ia tiru-tiru dari Bi Eng itu bercampur dengan gerakan asli monyet itu. Namun harus diakui kehebatannya karena berkali-kali ia telah dapat menampar, menendang, mencakar bahkan menggigit pakaian dua orang tosu itu sampai robek-robek.

Bi Eng tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Gadis itu tertawa-tawa terkekeh sambil bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, Siauw-ong, bagus! Cakar mukanya, pukul perutnya yang gendut-gendut itu. Hi hi hi!”

“Siauw-ong, mundur!” Bentakan Han Sin ini ternyata berpengaruh sekali karena sambil cecowetan takut Siauw-ong lalu meloncat ke atas pundak Han Sin.

Bi Eng kecewa. “Koko, mengapa tidak biarkan Siauw-ong menghajar mereka? Agaknya orang-orang macam inilah yang dikatakan orang-orang jahat oleh suhu.”

“Diamlah, adikku, biar aku yang menghadapi mereka,” kata Han Sin yang melangkah maju dan menjura kepada dua orang tosu yang masih mencak-mencak saking marahnya. Tubuh mereka sakit-sakit, kulit lecet-lecet karena cakaran Siauw-ong dan pakaian mereka robek-robek sedangkan rambut awut-awutan. Han Sin menjura dan berkata,

“Harap cuwi taisu memaafkan monyetku ini dan maklum bahwa monyet tentu saja tidak sesopan manusia.”

Kata-kata ini keluar dari hati jujur tanpa terkandung sesuatu, namun para tosu itu mengira Han Sin mengejek mereka dan memaki mereka menyatakan bahwa mereka sebagai manusia-manusia juga tidak sopan seperti monyet.

“Eh, bocah-bocah kurang ajar. Kalian berani main gila terhadap tosu-tosu Cin-ling-pai? Ayoh lekas berlutut minta ampun, baru kami masih pikir-pikir untuk meringankan hukumanmu,” kata tosu yang mukanya bopeng.

Biarpun Han Sin seorang pemuda aneh yang amat sabar dan rendah hati namun ia keturunan orang gagah dan dalam pelajaran-pelajaran di kitabnya terdapat pantangan untuk orang berlaku merendah dan menjilat. Bagaimana ia bisa berlutut minta ampun tanpa kesalahan? Hal serendah dan sehina ini tentu saja tak mungkin ia mau melakukan. Hanya orang bersalah yang wajib minta ampun terhadap siapapun juga. Selagi ia ragu-ragu, Bi Eng mendamprat tosu itu.

“Pendeta bopeng! Terhadap manusia macam kau, mana bisa kakakku berlutut minta ampun? Kami tidak bersalah apa-apa, kalian yang sengaja menghadang perjalanan kami. Ayoh, minggir dan biarkan kami meneruskan perjalanan kalau kalian memang tidak mempunyai niat busuk.”

“Bocah bermulut lancang! Kalau tidak mau minta ampun, terpaksa pinto menggunakan kekerasan menangkap kalian!” Si tosu bopeng lalu mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Bi Eng. Akan tetapi sambil mengeluarkan suara tertawa mengejek, Bi Eng mengelak dan begitu kaki kirinya yang kecil bergerak, ujung sepatunya yang keras telah mencium tulang kering tosu itu, mengeluarkan bunyi “tak!” yang keras.

Tosu Bopeng itu megap-megap menahan sakit sambil berjingkrak dengan sebelah kaki. Tulang keringnya retak terkena tendangan tadi, sakitnya bukan alang kepalang, sampai menusuk ke jantung.

Kawannya, tosu bergelung lima yang kedua, marah sekali. “Berani kau merobohkan tosu Cin-ling-pai?” katanya sambil menubruk maju dengan sikap beringas.

Han Sin kuatir sekali melihat ini, takut kalau adiknya mengalami celaka. Mana adiknya bisa menang menghadapi tosu yang begini galak dan beringas? “Harap taisu jangan celakai adikku ….!” katanya memohon sambil mengangkat tangan untuk menahan serangan tosu itu.

Tosu kedua yang botak kepalanya dan empat gelungnya amat kecil-kecil karena rambutnya hanya sedikit ini, maka ia robah cengkeramannya ke arah Bi Eng dan memukul lengan pemuda itu untuk merobohkannya.

“Plakk ….!” Aneh sekali. Tosu yang bergelung empat ini, begitu tangannya bertemu dengan lengan Han Sin yang diangkat untuk mencegahnya menyerang Bi Eng, tiba-tiba menjerit, tubuhnya terpental dan ia roboh dengan tulang lengannya patah! Ia menyeringai kesakitan dan memandang kepada Han Sin dengan heran dan terkejut sekali. Bi Eng tidak tahu bahwa tosu itu roboh oleh tangkisan kakaknya. Ia terkejut sekali melihat Han Sin maju, takut kalau kakaknya terluka. Maka ia lalu menerjang maju dan berkata keras,

“Tosu-tosu bau! Jangan ganggu kakakku yang tidak bisa ilmu silat. Kalau mau berkelahi, lawanlah aku!” Siauw-ong yang melihat sikap nonanya ini lalu melompat turun dan berdiri di dekat Bi Eng sambil angkat dada, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya dengan sikap menantang sekali.

Semua tosu mengira bahwa robohnya tosu gelung empat tadi karena serangan gelap dari Bi Eng, malah si tosu sendiri mulai ragu-ragu apakah betul ia roboh dan patah lengannya oleh pemuda lemah itu. Apa lagi ketika semua tosu melihat betapa dalam usahanya mencegah Bi Eng, Han Sin maju tergesa-gesa sampai kakinya tersandung batu yang membuat ia jatuh terjungkal!

Bi Eng menjerit, menghampiri kakaknya. “Koko, kau jatuh? Sakitkah?”

Dengan muka merah Han Sin merayap bangun sambil menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa, moi-moi. Janganlah kau mencari perkara dengan para taisu ini …..”

Sementara itu, para tosu Cin-ling-pai sudah memuncak marahnya. Dua orang tosu gelung lima sudah dihina seekor monyet, dua orang tosu gelung empat sudah dikalahkan oleh seorang gadis cilik, kemana mereka harus menaruh muka kalau tidak bisa membalas kekalahan ini?

Tosu tingkat rendahan tidak berani lancang maju, hanya memperlihatkan sikap waspada dan mengurung, sedangkan tosu gelung lima yang masih ada tiga orang bersama seorang tosu gelung empat, maju bersama, sikapnya mengancam. Di pihak Bi Eng, nona inipun berdiri dengan sikap gagah, memasang kuda-kuda dan di sebelahnya, Siauw-ong juga memasang kuda-kuda sambil meringis-ringis memperlihatkan giginya yang runcing! Han Sin menarik napas panjang pendek, tidak berdaya mencegah pertempuran yang akan terjadi ini. Ia amat kuatir, apa lagi ketika melihat empat orang tosu itu tiba-tiba mencabut pedang dari punggung mereka.

“Cih, tak tahu malu!” Bi Eng memaki dengan suara menyindir. “Empat orang tosu tua bangka hendak mengeroyok, malah menggunakan senjata tajam. Gagah amat!” Memang sengaja ia menyindir karena diam-diam ia bingung juga melihat empat orang lawan hendak mengeroyoknya dengan pedang di tangan, biarpun di dalam hatinya sama sekali ia tidak takut.

Mendengar ini, empat orang tosu itu saling pandang dengan muka merah. Mereka jadi tidak berani maju, karena memang amat memalukan kalau empat orang tosu Cin-ling-pai yang sudah terkenal gagah perkasa harus maju mengeroyok seorang gadis cilik yang bertangan kosong.

“Suheng, biar siauwte menghajarnya!” kata tosu gelung lima sambil melangkah maju. Akan tetapi baru saja ia maju, Siauw-ong sudah menyerangnya dengan cakaran dan gigitan, bukan sembarangan melainkan dengan gerakan teratur, gerakan yang dipengaruhi gerakan-gerakan ilmu silat!

“Binatang ini harus dimampuskan dulu!” seru tosu gelung lima itu dan pedangnya kini berkelebatan menyambar, menghujankan serangan kepada tubuh monyet yang kecil itu.

Akan tetapi Siauw-ong gesit luar biasa. Setelah tosu Cin-ling-pai ini memegang pedang, memang ia hebat sekali. Kepandaian khas dari para tosu Cin-ling-pai memang dalam penggunaan pedang yang menjadi senjata khusus ketua mereka Giok Thian Cin Cu. Maka menghadapi sambaran pedang yang berputar-putar dan berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar itu, Siauw-ong menjadi kecil hatinya, tidak dapat menyerang kembali.

Akan tetapi, bagi tosu itupun merupakan hal yang luar biasa sukarnya untuk mengenai tubuh si monyet. Bukan main lincahnya, meloncat ke sana ke mari dan selalu bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan hanya mengenai angin belaka! Ini masih belum seberapa kalau si monyet tidak mengeluarkan suara seperti orang mentertawakan dan mengejek. Tosu gelung lima itu menjadi makin marah, seperti bernyala api sinar matanya, berbusa mulutnya dalam nafsu besarnya untuk mencacah-cacah tubuh monyet nakal ini.

Si tosu sudah senen-kemis napasnya karena selalu ia membacok dan menusuk angin. Juga Siauw-ong nampak lelah biarpun gerakan-gerakannya tidak menjadi lambat. Hal ini amat mencemaskan hati Bi Eng. Biarpun ia harus mengakui bahwa ilmu pedang tosu itu lihai, namun setelah melihat tosu itu menyerang Siauw-ong, dalam hati kecilnya ia sanggup menghadapi tosu ini dengan kosong saja. Ia dapat mengelak selincah Siauw-ong untuk menghindarkan diri dari hujan senjata dan di samping ini, tidak seperti Siauw-ong, ia melihat kesempatan-kesempatan dan lowongan-lowongan untuk menyerang kembali.

“Siauw-ong, mundurlah!” serunya kepada monyet itu yang cepat melompat ke belakang, langsung naik ke pundak Han Sin sambil meleletkan lidah dan memanjangkan hidungnya kepada tosu tadi. Beberapa orang tosu di belakang menahan ketawa mereka. Betapapun gemas dan mendongkol hati mereka, didalam hati mereka geli juga melihat kenakalan monyet yang ternyata amat lihai itu. Masa suheng mereka yang bertingkat lima tidak mampu mmbacok leher monyet dalam puluhan jurus tadi? Benar-benar aneh sekali. Padahal, suheng mereka itu menghadapi seekor harimau ganas sekalipun, pedangnya tentu akan dapat membunuh harimau itu tidak lebih dari dua puluh jurus.

Tosu itu biarpun napasnya sudah senen-kemis, akan tetapi saking marahnya dipermainkan oleh monyet itu, begitu melihat Bi Eng, maju, ia lalu menyerang dengan tusukan yang ganas.

“Moi-moi, awas!” Han Sin berteriak ngeri.

Namun gerakan Bi Eng tidak kalah gesitnya oleh Siauw-ong. Ia dengan mudah mengelak. Tosu itu kini tidak mau gagal lagi, ia menggerakkan pedang cepat sekali dan mengirim serangan bertubi-tubi. Kini para tosu melihat hal yang aneh dan lucu. Gadis cantik jelita itu mulai berloncat-loncatan, persis seperti gerakan-gerakan monyet cilik tadi, begitu cepat, begitu lucu dan selalu dapat menghindarkan ancaman pedang!

Tidak seperti Siauw-ong tadi yang hanya bisa mengelak tanpa dapat membalas menyerang. Bi Eng sekarang mempergunakan setiap lowongan untuk balas menyerang lawannya sehingga tosu itu makin sibuk dan serangan-serangannya mengendur.

“Sute, lepaskan pedangmu. Mari kubantu kau menangkap gadis liar ini!” seru tosu gelung empat yang menjadi penasaran sekali melihat bahwa sutenya ini tak lama lagi tentu akan dirobohkan gadis cilik itu. Ia teringat bahwa andaikata sutenya dapat merobohkan gadis cilik itu yang bertangan kosong, hal ini tidak akan mengharumkan nama Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Maka lebih baik menangkap gadis ini dan kakaknya untuk diseret kepada suhu-suhu mereka dan menanti keputusan. Asal dapat menangkap mereka berdua dan monyet itu, sudah tertebuslah kekalahan-kekalahan tadi dan nama baik Cin-ling-pai takkan tercemar.

Tosu gelung lima itu girang sekali mendengar suhengnya hendak membantu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan melompat ke belakang sambil terengah-engah.

“Biar kuganti kau, sute!” kata seorang kawannya, tosu gelung lima lain lagi yang maju mengawani si tosu gelang empat. Dua orang tosu ini tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan berusaha menangkap atau menotok jalan darah Bi Eng.

Bi Eng mengelak cepat dan serangan-serangan ini dan ia menjadi terdesak. Tingkat kepandaian tosu-tosu itu sebetulnya sudah amat tinggi dan Bi Eng baru belajar silat dua tahun saja, mana dia bisa melawan mereka? Hanya karena semenjak kecil ia belajar menari-nari dengan monyet yang gesit maka ia memiliki kegesitan luar biasa, ditambah lagi biarpun hanya belajar dua tahun namun ia belajar langsung dari tangan seorang sakti seperti Ciu-ong Mo-kai, maka tadi ia dapat menghadapi pedang tosu tingkat lima dan empat, gadis ini benar-benar hanya dapat mengelak dan berloncatan ke sana ke mari menggunakan kegesitannya dalam tari monyet, sama sekali tidak mampu membalas serangan lawan.

Tiba-tiba terdengar suara Han Sin yang membuat gadis itu girang sekali.

“Eng-moi, Pek-in-koan-goat (Awan Putih Tutup Bulan) ke kiri!”

Setelah mendengar seruan ini, barulah terbuka mata Bi Eng dan secara membuta ia lalu melakukan gerakan yang disebutkan oleh kakaknya itu. Dua orang tosu itu terkejut sekali karena tiba-tiba gerakan Bi Eng berubah dan tahu-tahu telah menyerang mereka dengan dahsyat. Mereka terpaksa mengelak sambil melompat mundur, baru berani menyerang lagi dari kanan kiri.

“Hui-in-ci-tiam (Awan Terbang Keluarkan Kilat)!” Lagi-lagi Han Sin berseru sambil memandang pertempuran itu dengan penuh perhatian.

“In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari)!”

Seruan-seruan ini adalah gerak tipu yang paling tepat untuk dimainkan dalam keadaan seperti Bi Eng. Han Sin memang tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, akan tetapi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat telah ia pelajari teorinya sampai hafal benar, sampai sempurna sehingga ia dapat melihat bagaimana gerak tipu itu harus dimainkan sungguhpun kalau dia sendiri disuruh main, tentu gerakan-gerakan kaki tangannya kaku dan tidak biasa.

Bi Eng percaya penuh kepada kakaknya yang memang ia anggap manusia paling pintar di dunia ini, maka secara membuta ia dengan girang mentaati seruan-seruan itu dan berturut-turut ia mainkan Hui-in-ci-tiam disusul Im-mo-sam-bu yang mempunyai tiga jurus gerakan. Makin girang hatinya ketika dalam jurus kedua dari gerak tipu ini, jari-jari tangannya telah mengenai sasaran dengan tepat, yaitu di iga kiri tosu gelung lima.

Akan tetapi selama hidupnya Bi Eng belum pernah menotok orang. Ketika ia berlatih dengan suhunya, yang menjadi korban percobaan ilmu totokannya adalah Siauw-ong dan karena ia kasihan kepada monyetnya, ia selalu hanya menotok urat ketawa monyet itu untuk tidak menyiksanya. Kini setelah jari-jari tangannya menyentuh kulit tosu itu, ia menjadi jijik dan geli maka otomatis jari tangannya lalu mencari urat ketawa dan di lain saat tosu gelung lima itu berjingkrakan ke belakang sambil memegangi perutnya dan tertawa terpingkal-pingkal.

“Hah hah hah hah heh heh heh heh ….!”

Melihat sutenya dipukul lawan, tosu gelung empat kaget dan cepat mendekati sutenya, akan tetapi sutenya itu ternyata tidak luka malah tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan. Ia menepuk pundak sutenya dan membentak, “Sute, tidak melanjutkan serangan kok malah ketawa-tawa. Bagaimana sih kau ini?”

“He he he …. pinto (aku) ……. hah hah hah hah!” Tosu gelung lima itu terkekeh-kekeh dan bergelak-gelak, tak dapat lagi menahan ketawanya sampai perutnya terasa kaku dan sakit.

Melihat keadaan ini, barulah tosu tingkat empat itu kaget dan maklum bahwa ketawa sutenya ini bukanlah sewajarnya. Ia mencoba untuk memulihkan jalan darah sutenya, akan tetapi tidak berhasil. Ilmu totok yang dipergunakan oleh Bi Eng berbeda dengan ilmu totok Cin-ling-pai, maka tosu yang baru bertingkat empat itu tidak sanggup mengobati sutenya.

Sementara itu, Bi Eng dan Siauw-ong berloncat-loncatan saking girangnya melihat hasil pertempuran itu. Bi Eng girang dan bangga dan Siauw-ong mentertawai tosu yang masih terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh sampai keluar air matanya itu. Han Sin hanya menggeleng-geleng kepalanya dengan kening dikerutkan.

“Eng-moi, kau tidak boleh bertempur lagi,” katanya keren.

“Koko, ini merupakan latihan yang baik sekali, bukan?” kata Bi Eng girang.

Han Sin menggeleng kepalanya. “Ayoh kau bebaskan dia yang kau totok tadi!” perintahnya. “Totok ia punya in-tai-hiat dan tepuk urat di tengkuknya.”

Bi Eng tersenyum mengangguk. “Aku juga belum lupa cara pembebasannya, koko, akan tetapi baik sekali kau ingatkan agar jangan keliru.” Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri tosu gelung lima yang masih terpingkal-pingkal itu. Cepat ia menotok jalan darah in-tai-hiat lalu berkata kepada Siauw-ong. “Siauw-ong, kau tepuk tengkuknya tiga kali!”

Ia sendiri tidak sudi harus menepuk-nepuk tengkuk tosu itu. Siauw-ong yang mengikuti nonanya menurut, meloncat dan menepuk tosu itu tiga kali dengan telapak tangannya. Tosu itu gelayaran (terhuyung-huyung) hampir jatuh akan tetapi ketawanya berhenti. Tubuhnya terasa lemas dan ia jatuh duduk dengan napas terengah-engah.

Pada saat itu, dari atas puncak datang serombongan tosu lain dan semua tosu yang berada di situ bernapas lega. Kiranya yang datang ini adalah serombongan tosu yang terdiri dari tosu-tosu tingkat empat, tiga dan dipimpin oleh tiga orang tosu tingkat dua! Kali ini tiga ekor monyet cilik ini pasti akan tertawan, pikir mereka.

Tiga orang tosu tingkat dua itu adalah murid-murid langsung dari Giok Thian Cin Cu. Di Cin-ling-pai hanya terdapat dua orang tingkat satu, dan tiga orang tosu tingkat dua yang sekarang memimpin pasukan ini. Tosu tingkat tiga hanya ada lima orang, jadi tosu-tosu tingkat satu dua tiga yang langsung dipimpin oleh Giok Thian Cin Cu sendiri hanya ada sepuluh orang tosu. Ilmu kepandaian mereka ini tentu saja amat tinggi.

Apalagi Giok Thian Cin Cu sendiri yang selalu bertapa di puncak jarang keluar, bahkan dua orang muridnya, tosu tingkat pertama, juga jarang keluar, merupakan tosu-tosu tua terhormat yang untuk segala macam urusan dalam mewakili suhu mereka. Semua urusan luar diserahkan kepada tiga orang tosu tingkat dua ini yang memang tinggi kepandaiannya, dibantu oleh lima orang tosu tingkat tiga.

“Ada apakah ribut-ribut di sini?” terdengar suara keren dari tosu gelung dua yang mukanya merah. Sambil bertanya demikian, sepasang mata yang tajam itu menyapu ke arah Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong.

“Sam-wi suhu harap suka turun tangan membersihkan muka kita yang dihina orang!” kata tosu tingkat empat tadi. Kemudian ia menceritakan betapa dua orang muda dan monyetnya itu melanggar wilayah mereka kemudian mengeluarkan kata-kata kasar, malah sudah merobohkan beberapa orang tosu.

Tiga orang tosu tingkat dua itu mendengarkan penuturan ini dengan sabar. Akan tetapi mereka mengerutkan kening dan pandang mata mereka terheran ketika mendengar bahwa gadis cilik itu telah merobohkan beberapa orang tosu, di antaranya malah mengalahkan tosu tingkat empat! Hampir mereka tak dapat percaya. Gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, dengan kepandaian macam apakah bisa mengalahkan tosu Cin-ling-pai tingkat empat?

Tiga orang tosu tingkat dua itu memiliki kedudukan yang tinggi di Cin-ling-pai, merupakan komandan-komandan semua pasukan Cin-ling-pai, tentu saja mereka tidak memandang mata dan tidak mau ribut mulut dengan orang-orang muda seperti Han Sin dan Bi Eng, apalagi dengan seekor monyet kecil! Tosu muka merah memberi isyarat kepada tiga orang tosu tingkat tiga. “Tawan mereka dan bawa ke puncak, biar nanti kami selidiki murid siapa mereka ini berani mengacau di Cin-ling-pai!”

Tiga orang tosu tingkat tiga itu menjadi merah mukanya. Mereka adalah murid-murid Giok Thian Cin Cu sendiri, biarpun hanya bertingkat tiga, namun mereka ini adalah tosu-tosu muda yang langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu. Masa sekarang mereka bertiga disuruh menangkap dua orang muda dan seekor monyet? Menghadapi yang tiga ini, seorang di antara merekapun sudah cukup, masa harus maju bertiga? Benar-benar pekerjaan yang merendahkan kedudukan mereka. Akan tetapi karena yang memerintah adalah ji-suheng mereka, tentu saja tiga orang tosu ini tidak berani membangkang dan dengan muka merah mereka maju serempak.

Melihat majunya tiga orang tosu muda yang kelihatan kuat dan galak, Bi Eng tetap tersenyum mengejek dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Akan tetapi Han Sin khawatir sekali, takut kalau-kalau adiknya bertempur lagi, bukan takut adiknya kalah. Ini belum tentu, akan tetapi takut kalau-kalau adiknya akan mencelakai orang. Ia cepat melangkah lebar menghadang datangnya tiga orang tosu itu sambil berkata.

“Sam-wi totiang jangan terlalu mendesak kami. Biarlah kami melanjutkan perjalanan kami!”

Tiga orang tosu ini memang merasa segan kalau harus melawan gadis cilik dan monyet. Setidaknya kalau melawan pemuda ini, tidak terlalu memalukan. Mereka melihat Han Sin maju, lalu berebut untuk mendahului kawan menangkap pemuda ini. Tosu terdepan lalu mengerahkan lweekangnya mendorong Han Sin dari jarak dua meter, maksudnya merobohkan Han Sin tanpa menyentuh tubuhnya memamerkan lweekangnya, setelah pemuda itu roboh baru ditawan. Ia menggunakan pukulan jarak jauh dengan gerak tipu To-tiu-thai-san (Merobohkan gunung Thai-san). Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tenaga lweekangnya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri, membuat ia roboh terguling-guling!

Melihat seorang tosu melakukan gerakan mendorong lalu roboh sendiri terjengkang dan terguling-guling. Bi Eng tertawa dan mengejek. “Apa-apaan ini, tosu badut main komidi!”

Tosu kedua kaget sekali dan iapun cepat melakukan pukulan jarak jauh yang lebih hebat. Ia menggunakan gerakan Pek-lui-pai-san (Geledek menolak gunung) juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Im-yang-kun warisan gurunya. Ia tidak mendorong melainkan memukul ke arah dada Han Sin. Seperti tadi, pemuda ini melakukan gerakan mengangkat lengan untuk menangkis karena takut dipukul dan akibatnya hebat. Tosu itu terlempar jauh dan untuk beberapa menit tak dapat bernapas karena hawa pukulannya sendiri yang membalik membuat napasnya sesak.

Tosu ke tiga menjadi bengong dan ragu-ragu, tidak berani dekat dan semua tosu memandang dengan mata terbelalak. Apa lagi tiga orang tosu kelas dua yang memimpin pasukan itu. Mereka hampir tak dapat percaya akan kejadian itu.

PADA saat itu terdengar suara aneh menyeramkan, suara melengking tinggi seperti burung rajawali, makin lama makin keras sampai membikin sakit telinga. Bi Eng yang sudah belajar ilmu silat tinggi, cepat menahan napas dan mengerahkan lweekang. Akan tetapi tetap saja ia merasa kepalanya pening dan harus cepat-cepat menutupi kedua telinga dengan telunjuknya. Siauw-ong termangu-mangu saja, agaknya alat pendengarannya berbeda dengan manusia sehingga ia tidak terpengaruh suara yang penuh mengandung tenaga lweekang dan khikang ini. Di antara para tosu, mereka yang masih rendah kepandaiannya, yaitu gelung enam dan tujuh, banyak yang jatuh bergelimpangan! Han Sin terheran-heran melihat ini karena dia sendiri tidak merasakan sesuatu, hanya mendengar suara yang aneh dan melengking tinggi rendah tidak karuan.

Tiga orang tosu kelas dua dari Cin-ling-san berubah air mukanya dan mereka segera menjura ke arah datangnya suara dan si muka merah berseru, “Kami para tosu Cin-ling-pai telah menanti kedatangan Cinjin!”

Suara lengking itu lenyap, disusul suara ketawa terbahak-bahak, “Ha ha ha ha ha! Para tosu Cin-ling-pai tahu diri. Aku datang!”

Angin bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh berewok hitam, matanya besar-besar dan menakutkan. Pakaiannya seperti seorang pembesar saja biarpun tidak ada tanda pangkatnya, sepasang lengannya yang besar dan penuh urat-urat itu bertolak pinggang, kakinya dipentang dan sikapnya jumawa sekali. Ia menoleh ke kanan kiri memandang dengan mulut tersenyum mengejek dan memandang rendah, kemudian ketika melihat Bi Eng, senyumnya melebar dan matanya berseri. Ia menatap terus wajah Bi Eng sambil tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya lalu mengangguk-angguk.

“Cantik ……. cantik manis …… sungguh menggiurkan ……!” katanya.

Bi Eng mendongkol bukan main. Gadis ini membuang muka dan cemberut. Akan tetapi Han Sin berkedip kepadanya, memberi tanda supaya adiknya itu jangan mencari perkara. Biarpun bukan ahli silat, pemuda ini sekali pandang saja maklum bahwa yang baru datang ini adalah seorang jagoan kelas berat yang lihai sekali. Buktinya para tosu Cin-ling-pai kelihatan takut-takut.

Tosu muka merah lalu melangkah maju setindak sambil menjura. “Kami telah mendapat kehormatan besar dari kunjungan Cinjin. Tidak tahu ada perintah apakah dari Cinjin yang perlu kami sampaikan kepada twa-suheng?” Ucapan ini terdengar amat menghormat, akan tetapi mengandung sindiran bahwa tamu terhormat itu cukup bicara dengan mereka saja dan semua pesan akan disampaikan kepada twa-suheng, yaitu murid-murid tingkat pertama. Jadi sama saja dengan mengatakan bahwa kedudukan twa-suheng Cin-ling-pai masih lebih tinggi dari pada tamu ini.

Kakek tinggi besar itu mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. Dia ini bukan lain adalah Ban Kim Cinjin, seorang kakek berilmu tinggi yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng. Dia masih terhitung sute (adik seperguruan) Hoa Hoa Cinjin, maka kepandaiannya luar biasa sekali. Di dunia kang-ouw tidak ada orang yang belum mengenal namanya, nama yang ditakuti karena kakek ini terkenal jahat dan cabul. Tentu saja ia dapat menangkap sindiran dalam kata-kata si tosu muka merah, maka ia berkata, suaranya keras nyaring.

“Tosu-tosu Cin-ling-pai terkenal sombong, tidak kukira sesombong ini! Kalau suhu kalian si Giok Thian Cin Cu terlalu angkuh menemuiku, masih tidak apa karena dia seorang ciang-bun-jin. Akan tetapi hanya tosu-tosu bau tingkat dua yang menemui aku, sungguh-sungguh tidak pandang mata. Aku mewakili kerajaan untuk berunding dengan Cin-ling-pai, karena mengingat persahabatan kami hendak minta bantuan Cin-ling-pai mencari surat wasiat peninggalan pemberontak Lie Cu Seng. Masa hanya disambut oleh tosu-tosu pemakan nasi yang tiada gunanya?”

Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan para tosu Cin-ling-pai mendengar maki-makian ini. Siapapun adanya kakek ini, betapa lihaipun Ban Kim Cinjin, tidak semestinya menghina Cin-ling-pai sampai demikian hebatnya. Tiga orang tosu tingkat dua dari Cin-ling-pai adalah tiga orang gagah yang dijuluki Cin-ling Sam-eng (Tiga Orang Gagah dari Cin-ling-san). Mereka juga murid-murid terpilih dan tersayang dari Giok Thian Cin Cu, sudah mewarisi ilmu-ilmu silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun.

Yang tertua dan bermuka merah bernama Hap Tojin, seorang ahli ilmu pedang Cin-ling Kiam-hoat yang jarang bandingannya, yang kedua, tosu bermuka hijau adalah Hee Tojin yang terkenal sebagai seorang ahli lweekang yang amat kuat di samping ilmu silatnya yang juga lihai sekali, dan orang ketiga yang bermuka hitam adalah Tee Tojin yang keistimewaannya adalah ilmu ginkang yang luar biasa. Digabung menjadi satu, tiga orang ini sudah merupakan wakil Cin-ling-pai yang tidak mengecewakan dan karenanya dipercaya oleh Giok Thian Cin Cu untuk membereskan segala macam urusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan mereka.

Sambil menahan kemarahan, Hap Tojin si muka merah lalu melangkah maju dan menjura lagi. “Harap Cinjin jangan mengeluarkan ucapan seperti itu. Kami sesaudara yang berada di sini sudah mendapat perintah dari suhu untuk membereskan semua urusan. Jangankan hanya seorang diri seperti Cinjin, biarpun andaikata Kaisar Ceng mengirim utusan sebarisan, kiranya cukup dirundingkan dengan kami semua yang berada di sini. Kalau Cinjin ada urusan untuk disampaikan, harap katakan saja dan kami dapat memutuskan.”

Merah muka Ban Kim Cinjin, matanya bersinar-sinar marah. “Sombong! Kalau aku tetap hendak naik ke puncak berunding sendiri dengan Giok Thian Cin Cu, kalian mau apa?”

“Tidak bisa, Cinjin. Kalau kami diamkan saja, kami akan mendapat teguran keras dari suheng. Kecuali kalau Cinjin bisa melewati pasukan Cin-ling-pai, baru kiranya dapat sampai di puncak,” kata Hap Tojin. Begitu mendengar ucapan ini, para tosu bergerak merupakan bentuk-bentuk tin (barisan) yang teratur rapi. Semua tosu menghunus pedang dan terbentuklah barisan sebanyak tujuh lapis. Inilah barisan Cin-ling-tin yang amat kokoh kuat, terdiri dari tosu-tosu gelung tujuh di depan, lalu di belakangnya tosu-tosu gelung enam dan makin ke belakang makin kuat kedudukannya karena anggauta-anggauta barisannya lebih lihai dari pada yang di depan.

Ban Kim Cinjin mengangkat kepala dan tertawa bergelak. “Ha ha ha! Cin-ling-pai berkali-kali unjuk gigi. Baiklah, kali ini hendak kucoba betapa kuat barisannya!”

Tubuh kakek ini berkelebat ke depan dan kembali terdengar bunyi melengking rajawali yang dahsyat, dibarengi serbuannya ke depan, menyergap barisan terdepan. Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tosu gelung tujuh yang memegang pedang. Begitu kakek itu mengeluarkan bunyi lengking, barisan ini sudah kacau karena mereka menjadi lumpuh semangat dan tergetar jantungnya. Akan tetapi dengan gagah para tosu Cin-ling-pai maju juga dan menyerbu Ban Kim Cinjin. Kakek ini tidak memegang senjata, akan tetapi begitu ia menggerakkan kedua tangannya, ternyata kedua tangan ini lebih ampuh dari pada senjata tajam.

Beberapa gebrakan saja kakek ini menerjang seperti seekor burung rajawali menyambar korban, robohlah berturut-turut lima orang anggauta pasukan tosu itu dengan kepala remuk atau dada pecah! Darah berhamburan dan jerit terdengar mengerikan. Tosu-tosu lain dalam barisan itu tidak kenal takut dan pantang mundur, mereka terus menyerbu menggantikan kawan-kawan yang tewas. Akan tetapi mereka ini seperti nyamuk-nyamuk melawan nyala api, begitu maju mereka bertemu dengan pukulan-pukulan tangan sakti yang membuat mereka rebah tak bernyawa lagi. Sebentar saja, dari tiga belas orang tosu gelung tujuh ini, hanya tinggal tiga orang lagi yang belum tewas.

Bi Eng memandang kagum dan heran melihat kehebatan ilmu silat kakek itu. Siauw-ong bersembunyi di belakang nonanya, ngeri melihat begitu banyak darah muncrat keluar. Sedangkan Han Sin berdiri dengan muka pucat. Tak tahan ia melihat pembunuhan besar-besaran seperti ini. Tanpa dapat dicegah oleh Bi Eng lagi, pemuda ini lalu lari ke depan menuju ke medan pertempuran.

“Koko ….. jangan ….!” Bi Eng juga mengejar ke depan untuk menahan atau melindungi kakaknya. Ia cukup mengerti bahwa kakaknya itu biarpun amat pintar, namun adalah seorang pemuda lemah yang tidak pernah melatih diri dalam ilmu silat. Mendatangi tempat yang demikian berbahaya, benar-benar seperti mengantar nyawa.

Han Sin tidak perdulikan cegahan adiknya. Hatinya tidak kuat menahan melihat pembunuhan besar-besaran itu, apa lagi kalau ia lihat betapa kakek ganas itu maju terus hendak melabrak barisan-barisan berikutnya dan para tosu Cin-ling-pai agaknya juga tidak mau mengalah. Ia angkat kedua tangannya sambil berteriak-teriak keras.

“Cuwi totiang, hentikan pertempuran! Lo-enghiong yang gagah, harap hentikan pembunuhan-pembunuhan ini!” Ia terus berlari menghampiri Ban Kim Cinjin, dan terus mengangkat kedua tangan untuk memegang tangan kakek itu dalam usahanya mencegah kakek itu melancarkan pembunuhan dengan kedua tangan mautnya.

Melihat pemuda ini datang sambil mengangkat tangan, berlari-lari kaku, Ban Kim Cinjin menjadi marah dan mengira pemuda itu hendak membela para tosu Cin-ling-pai. “Bocah lancang, pergilah!” serunya sambil menggaplok pundak Han Sin dengan perlahan untuk merobohkan pemuda itu.

“Plak!” Tubuh Han Sin terlempar, akan tetapi kakek itu sendiri terjengkang ke belakang. Mukanya pucat dan napasnya terengah-engah. Ia merasakan tenaganya tadi seperti bertemu dengan baja yang keras.

“Jangan pukul kakakku! Bangsat, berani kau pukul kakakku!” Bi Eng dengan marah menyambar sebatang pedang dari tosu Cin-ling-pai yang terjatuh ke atas tanah, kemudian ia menyerang Ban Kim Cinjin dengan sebuah tusukan.

“Moi-moi, jangan …..!” Han Sin mencegah adiknya sambil merayap bangun. Ia tidak terluka dan tidak merasa sakit sama sekali.

Namun terlambat. Pedang di tangan Bi Eng sudah menusuk dan kakek itu menggerakkan tangan menangkis. Bi Eng menjerit, pedangnya terpukul patah oleh tangan kakek sakti itu dan gadis itu terhuyung lalu roboh.

Ban Kim Cinjin merasa lega mendapatkan bahwa tangannya masih tidak kehilangan keampuhannya. Ia tadinya sangsi apakah tenaganya tiba-tiba lenyap maka ketika mendorong pemuda lemah itu dia sampai terjengkang. Kini ia marah dan menggunakan separuh tenaganya untuk memukul Han Sin yang sudah datang lagi. Han Sin sedang sibuk hendak menolong Bi Eng, maka ia tidak bisa menjaga datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya.

“Blekk ….!” Kembali Han Sin terpelanting dan terguling-guling sampai tiga tombak lebih, akan tetapi ia dapat bangun lagi karena tidak merasa sakit.

Hebatnya, kakek itu mengeluarkan seruan kesakitan dan terguling roboh, dari mulutnya muntahkan darah segar! Saking herannya, sampai ia lupa akan sakitnya dan dengan beringas ia meloncat bangun, kemudian menubruk Han Sin, mengerahkan seluruh tenaganya menghantam kepala Han Sin.

Pemuda itu mendengar angin pukulan dahsyat mengancam kepalanya, segera mengangkat tangan kiri untuk menangkis.

“Dukkk ….!” Kini Han Sin hanya jatuh lagi terduduk, akan tetapi kakek itu seperti daun kering tertiup angin, mencelat sampai empat meter dan jatuh di atas tanah dengan mata mendelik dan nyawa putus!

Bukan main kagetnya Han Sin. Ia berlari menghampiri kakek itu dan melihat kakek itu sudah mati, tiba-tiba pemuda itu menangis!

“Apa yang kulakukan …. ah, Thian Yang Maha Kuasa …. apa yang telah kulakukan …..??”

Bagaimana seorang tokoh besar kang-ouw seperti Ban Kim Cinjin yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya itu bisa tewas ketika memukul dan tertangkis oleh Han Sin? Sedangkan yang lain-lain, para tosu gelung tiga yang kepandaiannya jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan Ban Kim Cinjin, ketika memukul Han Sin mereka hanya terpental dan roboh saja akan tetapi tidak sampai mati? Hal ini memang ada sebabnya.

Dengan latihan samadhi yang istimewa, yang dipetiknya dari kitab-kitab kuno dan dilatihnya tanpa petunjuk seorang ahli-ahli, secara keliru Han Sin telah melatih siulian semenjak ia kecil sampai belasan tahun lamanya. Latihan ini ia lakukan tanpa mengenal bosan dan lelah, bahkan dilakukan siang malam tak kenal waktu. Kekeliruannya ini tentu akan mencelakakan, dapat membuat orang menjadi gila atau kemasukan pengaruh iblis lalu mempelajari ilmu hitam kalau saja Han Sin tidak memiliki dasar watak yang memang bersih dan baik.

Sebaliknya dari pada mencelakakan, kekeliruan ini malah mendatangkan hawa sinkang yang mujizat di dalam tubuh pemuda ini. Sinkang ini demikian kuat sehingga sukar untuk diukur lagi kehebatannya, tanpa disadari oleh si pemilik.

Karena Han Sin tidak tahu mempergunakan hawa sinkang ini, maka hawa sinkang itu bekerja dan bergerak menurut jalan pikirannya. Kalau ia mengangkat tangan dan pikirannya ditujukan hendak menangkis pukulan atau mencegah serangan orang, secara otomatis, hawa sinkang itu menjalar ke seluruh tangannya yang menangkis dan di situ bersembunyi hawa pukulan yang mujizat.

Akan tetapi karena tidak dipergunakan untuk menyerang, hawa sinkang itu hanya bersifat menahan belaka. Maka tergantung dari kekuatan lawan yang ditangkis. Kalau lawan itu mempunyai tenaga pukulan tiga ratus kati, maka ketika tertangkis tenaga pukulan seberat itu akan membalik dan memukul penyerangnya sendiri.

Tosu-tosu tingkat tiga dari Cin-ling-pai ketika memukul Han Sin tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya, paling banyak tenaga dorongnya hanya tiga ratus kati, itupun dilakukan dengan pukulan jarak jauh karena mereka memang tidak berniat membunuh Han Sin. Maka akibatnya pun tidak sangat hebat bagi mereka, hanya terjengkang dan terlempar oleh hawa pukulannya sendiri yang membalik ketika membentur hawa sinkang yang keluar dari lengan Han Sin.

Sebaliknya, Ban Kim Cinjin yang sudah marah sekali, menggunakan pukulan sepenuh tenaganya, sedikitnya ada seribu kati lebih. Maka begitu terbentur lengan Han Sin dan pukulan itu membalik, mana kakek itu kuat menerimanya? Isi dadanya remuk dan nyawanya melayang!

Han Sin sampai saat matinya Ban Kim Cinjin, masih belum sadar akan kekuatannya sendiri. Masih belum mengerti bahwa di dalam tubuhnya bersembunyi kekuatan mujizat. Ia hanya tahu bahwa kakek itu mati setelah memukul dan ditangkisnya, maka ia menjadi kaget bukan main. Hatinya yang sudah merasa ngeri melihat banyak terjadi pembunuhan, yang mendatangkan rasa kasihan di dalam hatinya yang mulia dan welas asih, tentu saja menjadi hancur ketika melihat ada orang sampai mati karena beradu lengan dengannya. Ia merasa menjadi pembunuh dan karena perasaan inilah ia menangis sedih.

Para tosu Cin-ling-pai ketika melihat Ban Kim Cinjin tewas, menjadi terkejut sekali. Bagaimana pun juga, Ban Kim Cinjin adalah seorang utusan kerajaan Ceng. Kalau yang membunuh kakek ini tosu-tosu Cin-ling-pai, hal itu masih tidak hebat karena para tosu Cin-ling-pai yang gagah tentu saja akan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Akan tetapi sekarang yang membunuh kakek itu adalah dua orang muda yang tidak terkenal, maka karena matinya di Cin-ling-san, tentu saja para tosu Cin-ling-pai yang akan didakwa membunuh Ban Kim Cinjin.

Inilah hebat! Bukan saja Ban Kim Cinjin utusan kaisar Ceng, malah ia itu sute dari Hoa Hoa Cinjin! Dalam pikiran para tosu, mereka mengira bahwa Ban Kim Cinjin mati oleh Han Sin dan dibantu secara menggelap oleh Bi Eng, sama sekali mereka belum bisa menerima kalau ada dugaan pemuda itu dapat membunuh Ban Kim Cinjin hanya dengan jalan menangkis pukulannya.

“Tangkap pembunuh-pembunuh ini!” seru Cin-ling Sam-eng, tiga orang tosu Cin-ling-pai kelas dua itu. Mereka sendiri menubruk maju untuk menangkap Han Sin dan Bi Eng.

Han Sin melompat maju, mengangkat dadanya dengan sikap gagah, dan suaranya luar biasa sekali, nyaring dan berpengaruh sehingga sekian banyaknya tosu yang menerjang maju tiba-tiba berhenti dan terpaksa mendengarkan. Bahkan Bi Eng sendiri sampai bengong memandang kakaknya yang tiba-tiba mempunyai suara demikian hebat pengaruhnya.

“Nanti dulu! Cuwi totiang adalah orang-orang beribadat, orang-orang yang menjalani kesucian dan mengutamakan tata susila dan kebajikan. Apakah patut menghina seorang perempuan?”

Hap Tojin ketawa dingin untuk melenyapkan rasa jengahnya mendengar teguran ini. “Hemm, kalian sudah membunuh seorang utusan kaisar di sini, kalau tidak mau tangkap, bukankah kesalahannya akan ditimpakan kepada kami?”

“Cinjin ini tewas karena menyerangku, kalau mau bilang tentang pembunuhan, adalah aku yang membunuh. Adik perempuanku ini apa sangkut pautnya dengan kematiannya? Akulah yang bertanggung jawab dan kalau mau tangkap, boleh tangkap aku, jangan ganggu adikku.”

Semua tosu ragu-ragu mendengar ini. Cin-ling Sam-eng juga merasai kebenaran ucapan pemuda ini biarpun mereka masih tidak percaya kalau kematian Ban Kim Cinjin adalah karena perbuatan pemuda yang kelihatan lemah ini. “Kalau kau yang bertanggung jawab semua, biarlah kami lepaskan adikmu. Kamipun bukan orang-orang yang suka mengganggu perempuan. Nah, ayoh ikut kami ke puncak.”

Bi Eng menjadi pucat dan meloncat maju. “Tidak boleh! Tidak boleh kakakku ditangkap!” serunya marah dan gadis ini kembali menyambar sebatang pedang di atas tanah, siap untuk melakukan pertempuran besar-besaran melindungi kakaknya. Juga Siauw-ong kembali meringis-ringis menantang perang.

“Eng-moi, mundur! Kali ini kau harus menurut kata-kataku dan jangan menurutkan kekerasan hati. Kau pergilah dulu dengan Siauw-ong, lanjutkan perjalananmu dan tunggu aku di pantai sungai Wei-ho. Aku akan menyusulmu setelah urusan ini selesai. Aku percaya ketua Cin-ling-pai akan dapat mempertimbangkan urusan ini dengan adil.”

Pandang mata Han Sin berpengaruh dan luar biasa sekali, dari sepasang matanya mencorong keluar sinar yang biarpun Bi Eng adiknya sendiri merasa bergidik dan takut. Ia maklum bahwa kakaknya bersungguh-sungguh dalam hal ini dan akan menjadi marah kalau dia tidak mau menurut. Dengan muka pucat dan isak tertahan ia menggandeng tangan Siauw-ong, lalu membalikkan tubuh pergi dari situ sambil berkata, “Sin-ko, aku menanti-nantimu di pinggir sungai Wei-ho!”

Sebentar saja Bi Eng dan Siauw-ong lenyap dari situ. Han Sin menjadi lega hatinya. Dengan perginya Bi Eng yang ia tahu amat keras hatinya dan berani, ia merasa dadanya ringan dan urusan yang ia hadapi itu terasa lebih mudah dibereskan. Ia tersenyum kepada Cin-ling Sam-eng.

“Cuwi totiang, mau tangkap aku sebagai pembunuh, tangkaplah!”

Cin-ling Sam-eng maju bersama, takut kalau pemuda ini yang amat aneh dan mencurigakan diam-diam mempunyai kepandaian tinggi dan turun tangan lagi. Sebelum Han Sin bergerak, mereka sudah menubruknya dan dilain saat tubuh Han Sin sudah mereka belenggu dengan sebuah rantai besi yang besar. Rantai itu diikatkan kedua tangannya yang ditekuk ke belakang, terus dilibatkan ke leher dan dada, membuat Han Sin tak dapat berdaya sedikitpun. Pemuda ini sama sekali tidak melakukan perlawanan, tersenyum saja. Baju pada lengan kiri dan celananya sedikit robek ketika ia tadi terjatuh menerima serangan-serangan Ban Kim Cinjin.

Para tosu mengiringkan Cin-ling Sam-eng yang membawa Han Sin ke atas dan beramai-ramai mereka membawa kawan-kawan yang terluka dan tewas tidak lupa membawa pula jenazah Ban Kim Cinjin ke atas. Tempat yang tadi menjadi medan pertempuran itu kini sunyi kembali. Hanya darah yang membasahi rumput di sana-sini menjadi bukti bahwa di situ tadi telah dilayangkan beberapa nyawa manusia.

Hati Han Sin sudah tenang kembali, tidak seperti tadi ketika pada mula-mula ia melihat Ban Kim Cinjin tewas karena tangkisan tangannya. Diam-diam ia memutar otak dan merasa heran sendiri. Bagaimana seorang yang demikian menyeramkan dan lihai seperti Ban Kim Cinjin, yang demikian mudah membunuh beberapa orang tosu Cin-ling-pai, bisa tewas hanya karena ia tangkis pukulannya. Bagaimana hal ini mungkin terjadi? Dia tidak pernah belajar silat, hanya hafal teori ilmu pukulan Liap-hong Sin-hoat. Selain itu tidak belajar apa-apa lagi kecuali membaca isi kitab-kitab kuno dan melatih siulan untuk membersihkan pikiran dan menjernihkan hati.

Biarpun latihan-latihannya membuat pemuda ini mempunyai watak yang penuh welas asih dan sabar, namun tidak menghilangkan jiwa patriotnya yang diturunkan oleh leluhurnya. Apalagi kitab-kitab kuno, para pujangga dan bijaksanawan semenjak jaman dahulu selalu mengutamakan cinta negara dan bangsa. Oleh karena itu, di dalam hati kecil Han Sin juga terpendam rasa tidak suka kepada bangsa Mancu yang telah menjajah negara dan tanah airnya. Kalau ia teringat akan hal ini, teringat pula bahwa Ban Kim Cinjin adalah utusan kaisar Ceng karena itu berarti kaki tangan pemerintah penjajah, kecemasan bahwa ia telah menjadi sebab kematian orang itupun berkurang.

Pemuda ini yakin sepenuh hatinya bahwa dia tidak akan menghadapi malapetaka di puncak bukit itu, di depan para ketua Cin-ling-pai. Orang tak bersalah takkan kalah, demikian pelajaran di dalam kitab-kitabnya. Ah, Han Sin masih terlalu hijau, belum terbuka matanya bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang menyeleweng dari pada kebenaran, orang yang tidak mengenal atau sengaja tidak mau mengenal keadilan, yang tidak perduli akan kebajikan, hanya menurunkan nafsu hati berdasarkan keuntungan untuk diri sendiri!

Dengan dada lapang dan pikiran ringan pemuda ini menurut saja digiring ke puncak dalam keadaan terbelenggu seperti seorang penjahat besar. Dia toh tidak salah, pikirnya. Dia dan adiknya melewati gunung itu dan dihadang serta diganggu oleh para tosu, kemudian diapun bermaksud baik ketika mencegah Ban Kim Cinjin agar kakek itu tidak melakukan pembunuhan besar-besaran. Betul kakek itu telah binasa karena tangkisannya, namun ia tidak sengaja bermaksud hendak membunuh orang. Demikian sambil berjalan Han Sin berpikir dan hatinya tenteram.

Pada masa itu, ketua Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan. Kakek ini jarang memperlihatkan diri, apalagi kepada dunia ramai, bahkan para anggauta Cin-ling-pai sendiri jarang ada yang melihatnya karena kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamar pertapaannya. Selain bertapa dan memperdalam keahliannya dalam ilmu silatnya yang terkenal, yaitu Im-yang-kun dan Cin-ling-kun yang menjadi ilmu silat wasiat dari para tosu Cin-ling-pai, kakek inipun dengan diam-diam sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat baru yang amat hebat.

Tiga tahun yang lalu di dalam perantauannya Giok Thian Cin Cu bertemu dengan paman gurunya yang paling muda dan yang masih hidup di antara gurunya dan paman-paman gurunya, yaitu seorang pendeta aneh yang sudah disebut setengah dewa berjuluk Hui-kiam Koai-sian (Dewa Aneh Berpedang Terbang)! Hui-kiam Koai-sian ini dari nama julukannya saja sudah dapat diketahui bahwa dia adalah seorang manusia aneh ahli pedang. Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu dia masih menjagoi kalangan kang-ouw, akan tetapi tiba-tiba ia melenyapkan diri dan semenjak itu namanya tak pernah disebut orang. Oleh karena hal itu telah puluhan tahun, maka lambat laun namanya lenyap dan jarang ada orang kang-ouw mengenal namanya, kecuali tokoh yang tua-tua.

Dapat dibayangkan betapa girang hati Giok Thian Cin Cu ketika pada suatu hari, dalam perantauannya, di daerah Telaga Barat yang amat sunyi, ia bertemu dengan Susioknya ini. Hui-kiam Koai-sian yang melihat sinar mata murid keponakannya itu mengeluarkan cahaya dan wajahnya mengandung kebijaksanaan, menjadi girang karena maklum bahwa murid keponakan ini telah memperoleh kemajuan pesat, baik di bidang ilmu silat maupun di bidang kerohanian.

Apalagi ketika mendengar bahwa murid keponakan ini telah menjadi ketua Cin-ling-pai yang ia dengar tidak sudi tunduk kepada pemerintah Mancu, ia makin bangga. Dalam kegirangannya, ia berkenan menurunkan ilmu pedangnya, yaitu Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Lautan). Tentu saja dalam waktu pertemuan yang amat singkat, Hui-kiam Koai-sian hanya menurunkan teori-teorinya saja dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan sebelum dilatih sampai sempurna.

Sepulangnya ke puncak Cin-ling-san, Giok Thian Cin Cu lalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya dan diam-diam secara rahasia ia melatih ilmu pedang baru itu. Melatih sampai tiga tahun belum sempurna betul, padahal dilakukan oleh seorang ahli silat selihai Giok Thian Cin Cu, betul-betul dapat dibayangkan. Agar perhatiannya untuk mempelajari ilmu baru ini tidak terganggu, Giok Thian Cin Cu lalu menyerahkan semua urusan kepada kedua orang muridnya yang menjadi murid kepala, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan urusan di luar Cin-ling-pai, diserahkan kepada Cin-ling Sam-eng, murid-muridnya yang bertingkat dua.

Adapun dua orang murid kepala itu, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, adalah dua orang tosu berusia empat puluh tahunan yang pendiam. Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. It Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu pedang suhunya sedangkan Ji Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu lweekang. Biarpun ada perbedaan ini, namun pada umumnya ilmu silat mereka setingkat dan di masa itu kiranya hanya sedikit orang yang akan mampu mengatasi mereka.

It Cin Cu tinggi kurus bertahi lalat di pipi kanannya, sedangkan Ji Cin Cu orangnya gemuk pendek seperti arca Buddha maka ia mendapat julukan Siauw-bin-hud (Arca Buddha Tertawa) karena memang air mukanya ramah sekali dan selau tersenyum. Sebaliknya It Cin Cu bermuka muram dan angker maka ia mendapat julukan Thio-te-kong (Malaikat Bumi).

Biasanya, Cin-ling Sam-eng selalu dapat membereskan semua urusan luar tanpa mengganggu kedua orang suhengnya ini. Maka berkerutlah jidat It Cin Cu ketika tiga orang sute ini menghadap mereka dan minta mereka memutuskan sebuah urusan luar. Apa lagi ketika mendengar bahwa tiga orang sutenya ini minta keputusan akan diri seorang pemuda mata-mata yang mengacau Cin-ling-san.

“Sute, urusan mata-mata saja kenapa kalian bertiga tidak bisa membereskan sendiri?” tegurnya dengan keren.

“Suheng, urusan ini bukan hanya mengenai diri pemuda yang mencurigakan itu, akan tetapi menyangkut pula diri Ban Kim Cinjin yang datang sebagai utusan kerajaan Ceng,” kata Hap Tojin yang kelihatan takut menghadapi suheng yang memang amat keren dan galak itu.

Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya karena memang ia selalu tersenyum. Ia menggerakkan tangan kanannya tak sabar. “Urusan dengan kerajaan bangsa Mancu itupun tidak penting, masa kalian tidak bisa membereskan setelah kalian tahu pendirian kita yang tidak mau tahu menahu tentang urusan negara dengan pemerintah Mancu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar