HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah.
Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan manusia tidak? Sekiranya terjadi demikian, namanya yang buruk akan menyangkut pula masa depan anaknya. Itulah sama halnya dengan meracun hidup anak tunggalnya untuk selama-lamanya. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya? Itulah bunyi tulisan Wirapati pada tombak almarhum suaminya yang senantiasa meng-iang-iang dalam kalbunya.
Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyak-sikan betapa Sonny dengan gigih hendak menyelamatkan jiwa anaknya. Hatinya ter-haru. Sedangkan seorang yang bukan sanak bukan kadang, berani mempertaruhkan jiwanya. Masakan dia yang melahirkan Sangaji dari rahimnya sendiri, tidak? Hebat getaran hatinya tatkala mendengar pekik penghabisan Sonny yang menyatakan rasa cinta kasih yang tulus terhadap anaknya. Dan begitu melihat Sonny de Hoop menghabisi jiwanya sendiri, lantas saja ia menikam dadanya.
Anakku ...! Inilah jalan yang paling baik, bisiknya tatkala kena pandang anaknya. "Sebenarnya hal ini sudah harus kulakukan semenjak ayahmu tewas. Tetapi mengingat engkau ... aku ... aku ... sekarang, kalau engkau tidak dapat membawa Ibu pergi dari sini... akan sia-sialah jasat ibumu ini..."
Dengan hati pecah Sangaji menyambar tubuh ibunya dan memeluknya sambil men-ciumi ibunya sudah menjadi mayat.
"Tangkap! Tangkap!" terdengar suara Letnan Van Vuuren. Opsir itu seperti menjadi gila, tatkala melihat meriam kebanggaan kompeni macet oleh darah Sonny de Hoop yang mem-basahi sumbu dan bubuk mesiu. Itu berarti akan mensia-siakan kesempatan yang baik untuk membuat jasa.
Sebentar kemudian terdengarlah suara le-tusan senapan. Dan dalam ruang pendapa rumah Sangaji, peluru lantas berdesingan. Delapan serdadu maju berbareng hendak menangkap buruannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar