Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Sabtu, 31 Juli 2010

Ketika Aku Ingin Dihargai


Debu serta merta terangkat dikibaskan air yang kujatuhkan dari gayung. Seember air yang sengaja kuangkat dari kamar mandi tadi telah habis untuk membasahi tanah yang kering. Pekarangan dan jalan di depan rumah Bibi kini basah dan kelihatan segar dibanding tadi. Pun aku merasakan kesegaran itu. Bahagia rasanya bisa membagikan secuil kesejukan walau hanya untuk sebidang tanah yang pastinya merasakan kekeringan yang sangat akibat dihantam kemarau panjang.

“Ibu itu siapa sih, Bi?”

Kuarahkan telunjukku kepada seorang wanita yang baru saja melintas dari hadapanku. Seketika hatiku rusuh pasca berlalunya Ibu tadi. Dengan gaya yang kunilai pongah ia tak sedikitpun sudi menolehkan wajah kepada kami yang tak lain adalah saudaranya. Kukatakan kami adalah saudara, karena kami bertetangga.

Masih dengan sapu lidi di tangannya, Bibi menggerakkan leher sedikit agar mata kepalanya menangkap sosok yang baru saja melewati jalan depan rumah.

“Bu Cindy.”

Bibi menatapku sembari menerka apa yang tengah kupikirkan setelah ia menangkap wajah cemberutku yang terpampang sesaat.

“Kenapa?”

“Apa memang wajahnya selalu jutek gitu, Bi?”

Bibi seolah tak mendengar. Ia terus saja menyapu sampah di pekarangan hingga ke bibir jalan sambil sesekali mencabuti rumput-rumput yang mulai muncul dari tanah.

“Udah hampir sebulan Dini di sini, tetangga dan sekitar rumah kita semuanya udah Dini kenal. Kalau kebetulan ada yang berpapasan dengan Dini, mereka semuanya kelihatan ramah. Ada yang langsung negur, kasih senyum, ngganggukin kepala… Tapi Ibu itu… nggak pernah tuh. Jangankan tegur sapa, senyum bahkan noleh aja dia nggak mau, Bi.”

Wajah Bibi bersimbah senyum.

“Itu cuma perasaan kamu aja, Din.”

Cuma perasaanku? Atau tepatnya, aku berprasangka buruk kepada Bu Cindy. Benarkah?

Bukan hanya sekali dua kali senyum yang kusemburkan kepadanya tak beroleh sambutan, sapaan yang kugulirkan tak mendapat sahutan, bahkan kepala yang kuanggukkan demi rasa hormat kepadanya malah dibalas aksi buang muka yang melukai hati.

Apakah aku terlalu jelek untuk dilihat? Atau aku pernah melakukan kesalahan sedemikian besar kepadanya sehingga ia kelihatannya terlalu jijik melihatku. Entahlah. Tapi yang jelas, aku semakin sentimen dengan gayanya dan mulai terjebak dalam penyakit hati yang kronis, berprasangka buruk tentangnya.

***

Deru motor matic terdengar dari kejauhan. Sejenak kemudian kenderaan roda dua itu berlalu dari depan rumah. Pengendaranya adalah seorang wanita berambut ikal membonceng anak bungsunya berumur sekitar enam tahunan. Seperti biasa, dia lewat dengan tatapan lurus tanpa berniat sedikitpun menginfakkan senyum apalagi sapaan kepadaku dan Bibi yang tengah menikmati udara sore di halaman. Padahal tatapan mataku terus tertuju kepadanya, bersiap-siap jika sejurus pandangannya menyinggahi kami, maka akan kukembangkan senyum dan menganggukan kepala untuknya.

“Kerjaannya apa emang, Bi?”

Rasa kesal kembali menyambangi begitu mendapati sikapnya yang seolah tak melihat kami.

“Ibu rumah tangga aja.” Bibi tersenyum dengan kesewotanku.

“Cuma Ibu rumah tangga?”

Bibi mengangguk. “Ya. Tapi suaminya orang hebat. Orangtuanya juga.”

“Rumahnya yang paling besar itu kan, Bi?”

Kuarahkan telunjuk ke bangunan mentereng berjarak lima rumah dari rumah Bibi.

“Benar.”

Cap kesombongan yang kulekatkan pada diri Bu Cindy menyuruhku untuk mendalami keseluruhan tentang dirinya. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan dia seperti itu. Kenapa Bu Indah, Bu Tari, Bu Ema dan semua tetangga lainnya bisa menerimaku dan menghargaiku juga Bibi dengan baik. Beda total dengan Bu Cindy.

“Cuma Ibu rumah tangga tapi kok segitu sombongnya ya, Bi?

“Sombong gimana maksud kamu?”

“Apa Bibi nggak ngerasa, kita dibedakan dengan yang lain.” Kehempaskan tubuhku pada sandaran bangku. “Kalau Dini perhatikan sikap Bu Cindy kepada tetangga yang lain, sangat beda dengan cara dia memandang kita.”

Kulirik Bibi. Dia tetap serius dengan kain sulamannya. Tapi aku tau yakin, dia tetap mendengarkan semua keluh ocehanku dengan cermat.

“Emang Bibi pernah minjam uang sama dia? Atau Bibi pernah melakukan kesalahan yang besar sama dia? Atau mungkin Bibi ada sengketa dengan dia di masa muda dulu? Kenapa dia selalu cemberut dan tak pernah senyum sama kita?” Kugelontorkan sejumlah tanya kepada Bibi.

Bibi tak berekspresi. Beliau tetap fokus pada jarum yang menusuki kain di tangannya.

“Kita nggak bisa memaksakan seseorang untuk berlaku baik dan sopan kepada kita kan, Din?”

Akhirnya Bibi menimpali gerutuanku setelah cukup lama ku terdiam menimbang tanya dan jawab sendiri perihal Bu Cindy.

“Ya, Bi. Tapi setidaknya dia jangan pasang muka seram gitu dong.”

Bibi menyusun perkakas sulamannya. Konsentrasinya barangkali hilang dengan ceceran tanyaku.

“Udah lebih 12 tahun Bibi mengontrak rumah ini. Dan selama itu pula Bibi bertetangga dengan Bu Cindy. Tadinya Bibi juga seperti kamu, apa ada yang salah sampai-sampai Bu Cindy seolah tak memandang kita, tak menganggap kita.”

“Jadi, Bibi juga ngerasain yang sama?”

“Tadinya.” Bibi memasang wajah arifnya. “Tapi lambat laun Bibi bisa mengerti.”

“Kenapa, Bi?”

Tak sabar aku mendengarkan uraian Bibi.

“Dia memang seperti itu sifatnya.”

“Ah, tak mungkin.”

Aku tak puas dengan jawaban Bibi.

“Bibi punya salah apa mungkin sama dia? Atau Bibi pernah pinjam uang sama dia dan belum Bibi lunaskan?”

Bibi menggeleng. “Biarpun hidup Bibi pas-pasan, Bibi tidak pernah ngutang, apalagi sama Bu Cindy. Bibi juga merasa tak pernah melakukan kesalahan sama dia, dan kalaupun Bibi pernah berbuat salah, Bibi sudah berulang-ulang menjabat tangannya dan meminta maaf langsung. Agar jika mungkin ada kesalahan yang pernah Bibi perbuat kepadanya, semua bisa pupus.”

Pandangan Bibi menerawang di antara dedaunan pohon jambu biji yang bergoyang dihantam angin.

“Pada akhirnya Bibi sadar, buat apa sibuk dalam alam prasangka kita tentang orang. Toh kita tidak pernah merepotkan dia, tidak meminta uang sama dia, jadi buat apa dipikirkan. Hanya menambah beban sendiri kan ?” Bibi menaikkan alisnya.

Aku tersadar, lalu mengangguk membenarkan pendapat Bibi.

“Dini cuma heran, Bi. Setiap kali Dini pergi ke warung atau ke tempat lain, ketemu dengan Bu Cindy, dia bisa ramah sama orang-orang, ketawa lepas sama mereka, tapi kok ngelihat Dini, seperti ngelihat hantu atau apa gitu…”

“Tapi kamu nggak ada rugi kan, walaupun dia nggak menegur kamu?”

Aku mengangguk. “Tapi kalau damai, rukun, dan kompak antar tetangga, kan lebih nyaman, Bi.”

“Itu mau kita, Din. Maunya Bu Cindy nggak demikian. Menurut Bibi, kamu tak perlu terprovokasi dengan sikapnya. Tetaplah bersikap dan berbuat seperti biasa, seperti sikap kamu kepada yang lainnya. Tetaplah kembangkan senyum, tetaplah menyapa dan berikan apa yang biasa kamu berikan kepada orang lain, tak perlu mengikuti perlakuannya kepada kamu. Kalau kamu mengimbangi sikapnya, kamu otomatis menjadi sama seperti dia kan?”

Kulebarkan bibir. Sedikit terpaksa mengamini nasihat Bibi.

***

Lebih sebulan sudah aku tinggal di rumah Bibi. Selama itu pula aku telah menjalani profesi baruku. Setelah lulus dalam seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil yang kuikuti beberapa bulan lalu, aku telah mempersiapkan segalanya termasuk pindah tempat tinggal. Untuk jangka waktu yang belum bisa dipastikan, aku harus menumpang tinggal di rumah Bibi, karena kebetulan aku ditempatkan Pemerintah bertugas di wilayah yang dekat dari rumah Bibi. Sehingga mau tak mau, aku harus rela meninggalkan istanaku selama ini, rumah Ayah dan Ibu.

Sebelumnya sebenarnya Ayah sudah menawariku untuk mengurus penempatanku di daerah perkotaan yang masih bisa dijangkau dari rumah. Namun aku mementahkan tawaran itu. Aku tak keberatan ditempatkan di mana pun. Di tempat terpencil seperti apapun, akan aku terima.

Itu sudah konseksuensinya. Aku sudah menandatangani surat pernyataan bahwa akan bersedia ditempatkan dimanapun di seluruh wilayah Indonesia. Maka tak mungkin aku akan mengingkari janji itu. Aku rela menjadi abdi negara yang dilemparkan kemana-mana meski di daerah yang terisolir sekalipun, karena sudah terkontrak sampai usiaku 60 tahun nanti, untuk melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabku.

Beruntungnya, begitu aku menerima surat tugas, ternyata lokasiku bekerja tidak jauh dari kediaman Bibi Mila, adik kandung ayah yang tinggal di pinggiran kota. Sehingga aku tidak perlu sibuk dengan urusan mencari tempat dimana akan tinggal. Ayah dan Ibu tidak merasa khawatir, Bibi dan Paman pun turut senang karena kemunculanku menambah jumlah penghuni rumah mereka. Kehadiranku diharapkan memupus kerinduan mereka terhadap buah hati yang tak kunjung datang.


“Wah, kamu makin kelihatan cakep dengan seragam itu, Din.”

Bibi tiba-tiba telah hadir di sisiku. Ikut memandangiku yang telah dibaluti seragam berwarna khas pegawai pemerintah, hasil kerjanya selama beberapa hari ini.

“Ini karena Bibi yang jahit. Kalau yang jahit orang lain belum tentu sebagus ini. Bibi kan tau selera Dini yang gimana.”

Bibi terlihat gembira karena kepuasan yang terungkap dalam pujianku barusan.

“Andai Bibi kamu punya modal, udah jadi … apa namanya …desainer kondang ya, Din.”

Paman menyambung dari meja makan. Kalimatnya tidak jelas terdengar karena mulutnya masih penuh mengunyah sarapan.

“Ntar Dini promosiin deh hasil kerja Bibi ke teman-teman kerja Dini. Biar tangan terampil Bibi lebih sibuk nanti ngerjain pesanan.”

“Kalau Bibi banyak pesanan, sibuk, capek, bisa-bisa Bibi kamu lupa dan nggak sempat masak lauk yang lezat untuk kita dong, Din.”

Paman meneguk air hangat dari cangkir besarnya.

“Ya, tapi kan Bapak nggak perlu kerja sampe mati-matian di sawah sana kalau Ibu bantuin kerja cari uang.”

Bibi mengerling manja kepada suaminya.

“Udah siang nih.” Aku baru menyadari waktu berlalu tanpa mau berkompromi denganku yang tetap asyik mematut diri di depan cermin.

“Dini berangkat, Paman, Bi.”

Kuciumkan tangan pasangan suami istri itu ke jidatku.

“Hati-hati di jalan, Din.” Pesan Paman kubalas anggukan dan senyum.


Kulangkahkan kaki kanan dengan mantap setelah membaca doa. Hari masih pagi, jalanan pun masih terlihat lembab oleh siraman embun yang belum habis terkikis sinar matahari. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk tiba di sekolah tempat aku harus melaksanakan tugasku. Masih bisa santai.

Sebagai guru, yang pantasnya menjadi teladan bagi anak-anak didiknya, aku harus berupaya tiba lebih awal dari pada siswa. Aku membiasakan diri disiplin agar anak-anak itu turut mengikuti kebiasaanku. Datang tepat waktu dan menghelakan adat telat. Sangat tidak logis jika aku menyuruh mereka datang pada jamnya, sedang aku sendiri mencontohkan hal yang menyalah. Maka dari itu, aku selalu berusaha untuk menjadi model yang layak untuk ditiru oleh para anak didikku.


“Berangkat, Bu Dini?” sapa Bu Ema dan ibu-ibu lainnya yang tengah sibuk di warung Bu Kodir memilih dan memilah bahan mentah apa yang akan disiapkan untuk makanan hari ini.

“Ya, Bu. Mari.”

Kukembangkan senyum semekar mungkin agar Bu Ema dan yang lainnya merasa nyaman dan senang dengan sikap ramahku.

Aku berusaha berjalan sebiasa mungkin. Kiranya konsentrasiku sedikit oleng dan mempengaruhi langkah-langkah kakiku. Bisik-bisik ibu-ibu tadi sempat kutangkap walau terdengar agak samar. Aku beroleh pujian dari mereka. Otomatis telingaku terangkat. Mereka bilang, beruntungnya punya anak sepertiku, masih muda belia, berumur 20 tahun, sudah memegang ijazah sarjana, langsung lulus dalam ujian penyaringan CPNS, tentunya bermasa depan cemerlang nantinya. Dan ada lagi yang bikin aku salah tingkah, mereka bilang aku cantik, maka sewajarnya dan patut diperebutkan untuk dijodohkan dengan anak lelaki mereka. Weleh… weleh… indahnya puji-pujian itu.

Tapi di warung Bu Kodir tadi ada Bu Cindy. Apa dan bagaimana ya, responnya? Postif atau negatifkah? Jika mengingat sikapnya selama ini kepadaku, pasti dia tidak akan terima orang-orang mendengungkan hal baik tentangku. Tentunya dia… astaghfirullah… aku berburuk sangka terhadap Bu Cindy.


***

Daun-daun kering yang bergantung di pepohonan terjungkal berguguran, jatuh dan mengotori halaman rumah di sore yang cerah. Baru saja Bibi menyapu halaman rumah tadi, tapi noda-noda daun berwarna kuning dan cokelat itu kembali berserakan seperti belum dibersihkan.

“Kotor lagi, Bi.”

Aku berniat mengutip daun-daun yang telah rontok itu agar kembali bersih, tapi suara Bibi menghalauku untuk melakukannya.

“Udah, Din. Biarin aja. Kamu ke mari sebentar, ada yang nyariin nih.”

Alisku bertaut ketika mendapati sosok Bu Cindy telah berdiri penuh senyum di samping Bibi.

“Tadi saya lagi iseng nyoba resep bolu bertabur buah dari teman. Jadi saya mau minta tolong sama tetangga-tetangga termasuk Bu Mila dan …”

“Dini.” Kuanggukkan kepala, masih dengan bingung yang menyergap.

“Ya, Dini. Kira-kira nanti rasanya kurang enak, tolong kasih saran sama saya.”

Drastis berubah. Tak salah lihatkah aku dengan sikapnya yang baru saja ia tunjukkan.

“Permisi, Bu Mila, Dini.”

“Ya, Bu.” Kekembangkan senyum guna mencairkan kebengonganku.

“Terima kasih banyak.” Kompak kata-kata itu muncrat dari mulutku juga Bibi.

Kupandangi Bibi penuh arti. Sedang Bibi sepertinya sudah memahami arti dari bahasa tubuhku.

“Siang sebelum kamu pulang ngajar tadi, Bu Tari, Bu Ema dan yang lainnya bertandang ke rumah kita. Terus mereka cerita, tadi pagi kamu jadi bahan ceritaan di warung. Bu Cindy kelihatannya sangat serius mendengarkan semua cerita tentang kamu. Sesekali dia menanyakan kebenaran cerita itu, seolah dia tidak yakin akan keberadaan kamu, Din. Bu Ema yang sudah tau banyak tentang kamu, ya menceritakan kamu apa adanya.”

“Terus, apa hubungannya sama bolu ini, Bi?”

Bibi tertawa renyah.

“Desa ini berpenghuni orang-orang terpandang dan berpunya. Satu-satunya orang yang mengerjakan sawah orang, ya cuma pamanmu. Bapak-bapak yang lain punya usaha-usaha sendiri yang jauh lebih hebat bahkan kebanyakan dari mereka sudah punya karyawan dari desa seberang. Bu Cindy mungkin merasa kita bukan levelnya, makanya selama ini dia tidak sudi bertetangga dan berbaikan dengan kita. Tapi begitu tahu kamu, keponakan Bibi adalah seorang yang berpendidikan dan berilmu, sudah punya pekerjaan yang baik pula, dia menampikkan sikapnya selama ini. Mungkin sekarang dia mulai menganggap dan memperhitungkan kita, Din.”

Aku terpaku menekuri kalimat-kalimat Bibi.

“Kamu bisa mengambil pelajaran dari ini semua, Din. Karena kesungguhanmu belajar dan memanfaatkan waktu, di usia yang muda belia kamu bisa mengambil apa yang tidak bisa diraih oleh semua orang. Kamu punya sesuatu yang diandalkan. Keputusanmu untuk menjauhkan diri dari kebiasaan berleha-leha yang pada umumnya menjangkiti para remaja kota telah menuai hasil.”

Senyum getirku hadir. Teringat akan letihnya usahaku dalam mengejar nilai-nilai terbaik dalam setiap mata kuliah. Pontang panting aku berjuang sepenuh tenaga dan pikiran demi mengejar target, lulus kuliah selekas-lekasnya disamping ragam olimpiade dan lomba yang begitu banyak kuikuti. Wajib bagiku membuang niat untuk menyisakan sebongkah waktu untuk kata santai.

Ijazah Sarjana Pendidikan kuterima nyaris bersamaan dengan pemerintah kabupaten DS mengeluarkan pengumuman penerimaan pegawai. Aku turut dalam jajaran pendaftar. Mengingat banyaknya saingan aku belajar keras agar bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan nantinya. Mengingat cara belajarku yang ngotot, aku pastikan bahwa aku adalah pelamar yang paling sibuk membahas soal-soal yang diprediksi akan keluar dalam ujian.


“Ini buktinya, Din. Dengan ilmu yang menempelimu, jejeran prestasi yang kamu genggam, sangat mujarab memposisikan dirimu dan keluarga kamu di tempat yang terhormat dan berharga di mata orang. Penilaian dari Allah adalah memang yang terutama, tapi penilaian dari masyarakat bukan berarti tak perlu diperhitungkan, bukan?”

Benarlah kiranya kata-kata Bibi. Kita hanya dipandang orang jika memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Maka berusahalah memiliki apa yang membuat kita dipandang dan dihargai orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar