Part 4
Journey With Zhang Rui
Tahun 668 Masehi.
Chang’an.
Sudah hampir satu jam Ziwei mengelilingi pasar Chang’an mencari obyek menarik untuk lukisannya. Hari itu dia tak bersolek seperti saat berada di istana. Pakaian lelaki yang dikenakannya membuatnya leluasa. Dandanannya seperti pria pun membuatnya aman dari pria iseng meski sedang berjalan sendirian.
Tapi sampai sekarang dia belum juga menemukan sesuatu yang tepat untuk dilukis. Pembimbingnya, Bai Juyi atau Guru Bai, akan segera datang menjemputnya. Sementara belum satu goresan pun tertuang di buku sketsanya.
Di satu sisi jalan, dilihatnya seorang pria asing tengah mendemonstrasikan sesuatu. Dia bertubuh jangkung dan berpakaian warna-warni. Pria itu juga mengenakan topi tinggi. Dia berbicara dalam bahasa Mandarin yang fasih. Tapi dari wajahnya, Ziwei tahu dia bukan orang China.
Struktur tulangnya terlalu keras untuk orang-orang Dataran Tengah. Kulitnya putih pucat. Rambutnya hitam berombak. Alisnya tebal dan matanya tidak sipit. Hidungnya mancung. Mungkin dia orang Persia. Atau dari negara yang lebih jauh dari Persia: Turki. Dillihatnya pria itu sedang menuangkan cairan biru dari tempayan ke sebuah botol kaca bening. Botol itu digoyangnya sebentar lalu, “Puff!!!” – cairan itu lenyap dan sebuah asap misterius menyembul keluar dari botol.
Orang-orang mengerumuni pria itu terpana. Ziwei dari kejauhan pun tertarik. Sepertinya pria asing itu tengah melakukan pertunjukan sihir. Ini obyek yang langka.
Bergegas Ziwei membuka buku sketsanya dan mencelupkan kuas ke botol tintanya. Dia mulai menggambar wajah si pria asing. Sewaktu menggambar detail wajah dengan penuh konsentrasi, seseorang menubruknya mengakibatkan coretan besar di atas kertas.
“Aduh!” pekik Ziwei. Bukan karena rasa sakit akibat tertabrak – melainkan karena kertasnya tercoreng.
“Maafkan aku Tuan Muda!” si penabrak berkata kalap. “Aku sedang dikejar-kejar polisi. Bisakah aku bersembunyi sebentar di keranjang anyaman belakangmu?”
Dengan kesal Ziwei memandang wajah pria penabraknya. Tampangnya lusuh dengan rambut berantakan. Di atas bibirnya yang tipis terdapat kumis. Pria itu entah gelandangan dari mana. Ziwei marah karena bukan hanya kertasnya telah tercoret – pria itu malah minta tolong bersembunyi.
“Tuan Muda, tolonglah!” seru pria itu nyaris putus asa. Ziwei bergeser sejenak dan pria itu langsung menghambur ke dalam keranjang anyaman. Ziwei terpaksa ikut serta dalam permintaan pria itu. Dia menutup rapat keranjang. Agar kerangjang tersebut tidak dicurigai, Ziwei mendudukinya.
Ternyata, pria itu kalau dia dikejar-kejar petugas. Tidak lama, tiga orang polisi dengan golok di tangan tiba di tempat Ziwei. Kepala mereka terulur mencari-cari. Mereka menanyai orang-orang yang menonton aksi si orang asing. Tapi orang-orang itu sedang asyik menonton sehingga mereka menggeleng ketika ditanyai.
Salah seorang polisi menghampiri Ziwei. Kertas yang tercoret tadi telah disobeknya. Tak ada yang mencurigakan. Polisi hanya melihat seorang pemuda duduk tenang di atas keranjang anyam - tengah berkonsentrasi pada lukisannya.
“Tuan muda, apakah kau melihat seorang pemuda berlari kesini?” tanya polisi itu.
“Apakah pria itu berkumis dengan rambut panjang berantakan?” Ziwei balik bertanya.
“Ya!” si polisi mengangguk bersemangat. “Dan dia berbaju hitam!”
“Dia ke arah sana!” Ziwei menunjuk arah yang jauh. “Dia berlari cepat sekali. Kalau Tuan tidak segera menyusulnya, Tuan pasti kehilangan dirinya.”
“Baik. Terima kasih atas informasimu, Tuan Muda!” Polisi itu pun mengajak kedua temannya pergi mengejar buruan mereka.
Setelah merasa situasi aman, Ziwei berdiri dan membuka tutup keranjang anyaman. Pria yang bersembunyi bangkit berdiri sambil mengusap-usap kepalanya.
“Syukurlah aku punya kemampuan ‘menghilang di saat yang tepat’,” pria itu berkata bangga. “Tuan Muda, terima kasih atas bantuanmu.”
Ziwei mendengus mendengar ucapan terima kasih atas persekongkolan mereka. Dia kesal karena pria itu telah menggagalkan satu sketsanya. Sementara, pria asing yang hendak dilukis Ziwei telah berhenti beraksi. Ziwei tak lagi mendapat momen tepat untuk melukisnya.
“Jadi kau sudah sering dikejar-kejar seperti ini?” Ziwei bertanya sinis. “Sebenarnya apa yang kau lakukan sehingga petugas-petugas itu mengejarmu?”
“Aku…,” pria itu menggaruk kepalanya sebentar. Wajahnya memelas. “Aku berjualan di tempat yang tak memiliki ijin.”
“Memangnya barang apa yang kau jual?”
“Sebenarnya bukan barang - tapi jasa. Aku seorang pandai besi,” pria itu berkata sambil menepuk tas kain berisi perlengkapannya. “Tapi aku tak punya bengkel tetap. Jadi aku bekerja di jalanan. Itupun sebatas hanya memperbaiki benda-benda logam dengan palu. Aku tak bisa berbuat lebih banyak karena tak memiliki tungku.”
Ziwei menaikkan sebelah alis. Dia tak tahu apakah harus merasa prihatin setelah pemuda itu merusak satu sketsanya.
“Ziwei! Ziwei!”
Ziwei memutar tubuh. Pembimbingnya, Guru Bai menghampiri.
“Bagaimana, apakah kau sudah mendapat sesuatu untuk kau lukis hari ini?”
“Ya, tadi hampir… Sampai orang ini datang menabrakku dan merusak sketsanya…”
Pemuda itu terkejut. Merasa bersalah, kepalanya tertunduk. Pantas saja Tuan Muda ini bersikap sinis terus padanya. Rupanya sketsa lukisan si Tuan Muda tanpa sengaja dirusak olehnya.
“Maaf, Tuan Muda. Karena kecerobohanku, sketsamu rusak,” kata pemuda itu.
Ziwei sebal. Guru Bai menengahi. “Sudahlah, tak mengapa. Kita masih dua hari di Chang’an. Siapa tahu besok kau mendapat obyek bagus lagi.”
Guru Bai mengamati pemuda itu dengan seksama lalu berkata, “Hei, bukankah kau anak angkat si pandai besi Zhang?”
Wajah pemuda itu berbinar. “Benar. Dari mana Tuan tahu?”
“Sepuluh tahun lalu aku biasa ke bengkel ayah angkatmu ketika masih di Chang’an. Aku biasa memintanya memperbaiki kuas bergagang besiku di sana. Apa kau sudah lupa? Kau kira-kira baru sepuluh tahun waktu itu.
“Ah ya, aku ingat. Tuan pelukis di akademi seni rupa kerajaan bukan? Tuan Bai?”
“Benar sekali anak muda! Ternyata kau tidak lupa. Jadi, dimana sekarang kau tinggal? Apa masih di tempat yang dulu?”
“Sudah tidak lagi Tuan Bai. Sejak ayah angkatku meninggal, bengkelnya kena gusur. Jadi aku sekarang menggelandang.”
“Oh, sayang sekali. Aku turut prihatin.”
Ziwei melihat pemuda itu dari atas hingga bawah. Usianya baru dua puluh tapi dia kelihatan beberapa tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Apa karena kerasnya kehidupan jalanan yang membentuknya?
“Baiklah anak muda. Aku harus kembali ke penginapan bersama muridku ini. Kau masih ingat asrama tempat tinggalku dulu? Disanalah kami menginap. Aku berada di Chang’an sampai lusa. Datanglah mengunjungiku.”
“Baik!” pemuda itu menyanggupi riang.
Guru Bai dan Ziwei melangkah hendak meninggalkan tempat itu. Tapi baru beberapa langkah, Guru Bai berhenti dan berbalik lagi.
“Ada yang kulupa, anak muda. Namamu. Siapa lagi?”
Pemuda itu tertawa, menampakkan sederet gigi bagus dan putih.
“Zhang Rui. Namaku Zhang Rui, Tuan!”
***
Sudah hampir tiga tahun Ziwei tinggal di istana Permaisuri Wu di Luoyang. Selama hampir tiga tahun ini pula dia mengembangkan teknik melukisnya dari guru-guru terbaik, buku-buku serta lukisan-lukisan kenamaan.
Pada musim semi tahun itu, Permaisuri Wu yang sudah lama tidak melihat keramaian kota Chang’an mengadakan sebuah kontes kepada para pelukis istana. Mereka diminta ke Chang’an untuk melukis kehidupan rakyat di sana. Meski Kaisar Gaozong dan Permaisuri Wu tinggal di Luoyang, Chang’an masih diakui sebagai ibukota Dinasti Tang. Sebagai kota permulaan pertama di jalur Sutra, Chang’an menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai tempat dan negara.
Ziwei termasuk salah satu pelukis yang pergi ke Chang’an. Dia pergi bersama Jingjing dan dua pelukis wanita istana yang lain. Pembimbing mereka, Bai Juyi, mendampingi mereka. Mereka berada di Chang’an selama tiga hari. Dan Ziwei sudah hampir menemukan tema lukisannya jika saja pria bernama Zhang Rui itu tidak menggagalkannya.
Sore usai bertemu Zhang Rui, di kamar penginapan, Ziwei mendengar Jingjing mengeluh,
“Oh, celakalah aku kali ini! Aku tak menemukan satu pun obyek menarik lukisanku. Fokusku selama ini cuma bunga. Aku pasti tak lulus kontes ini.”
Ziwei tak berkata apa-apa. Permulaannya hari ini juga tak mulus. Jadi dia tak bisa mengomentari keluhan Jingjing.
Jingjing dan Ziwei, beserta dua pelukis wanita lain mengikuti saran Bai Juyi. Keempatnya mengenakan pakaian serta berdandan seperti pria. Bai meminta mereka tetap berpakaian seperti itu meski telah berada di penginapan.
Seorang pelayan cilik mengetuk pintu kamar kedua gadis. “Masuk!” Jingjing berseru.
”Di luar ada seorang pria yang ingin menemui salah satu murid Guru Bai.”
“Siapa dia?” Jingjing bertanya.
“Namanya Zhang Rui. Katanya dia mau menemui Tuan Muda yang sketsa lukisannya dia rusak siang tadi.”
“Itu aku!” sahut Ziwei. Dia lalu mengikuti pelayan cilik itu menemui Zhang Rui.
Di halaman penginapan, Zhang Rui telah menunggu. Sewaktu melihat Ziwei datang, dia tampak gembira. Diacungkannya seekor kelinci ke wajah Ziwei.
“Lihat! Aku membawakanmu ini.”
“Dari mana kau memperolehnya?” Ziwei bertanya curiga. “Apakah kau mencuri?”
Zhang Rui tampak terkejut. “Tentu saja bukan,” jawabnya - berusaha tidak tersinggung. “Usai bertemu denganmu siang tadi, aku berjumpa seorang pemburu. Kubantu dia menguliti hewan-hewan buruannya dan dia memberiku upah kelinci ini.”
“Aku berikan untukmu sebagai penebus kesalahan siang tadi,” Zhang Rui berkata tulus. “Kuharap kau sudi menerimanya sebagai makan malammu.”
Ziwei akhirnya menerima kelinci itu. Zhang Rui telah menunjukkan perasaan menyesal. Ziwei sepatutnya menghargai. “Terima kasih,” katanya singkat.
Zhang Rui tersenyum lega. Pada saat bersamaan, Bai Juyi melewati halaman dan melihatnya. Dia berseru,
“Zhang Rui! Kebetulan kau datang. Mari ke ruanganku. Kita makan-makan dan berbincang-bincang.”
“Baik! Aku akan ke sana!” sahut Zhang Rui. Dia menepuk bahu Ziwei satu kali.
Ziwei terkejut. Dia hendak menegur, tapi kemudian disadarinya kalau dia tengah menyamar. Zhang Rui hanya menganggapnya sebagai salah satu teman lelaki baru.
Malamnya, Bai Juyi memanggil Ziwei. Zhang Rui sudah tak ada dan sang guru berkata padanya,
“Besok, Zhang Rui akan menemanimu berkeliling mencari obyek bagi lukisanmu.”
Ziwei menatap Bai Juyi seolah tak percaya. “Guru memintaku pergi berdua dengannya?”
“Ya. Aku harus bersama tiga pelukis wanita yang lain. Mereka tampaknya kesulitan menemukan obyek yang tepat. Mungkin karena spesialisasi lukisan mereka berbeda-beda. Kamu lain. Kamu bisa melukis apa saja asal menemukan momen yang tepat.”
“Soal Zhang Rui kau tak perlu cemas. Dasarnya dia periang dan sikapnya bersahabat. Dia juga anak baik. Dia bisa menjagamu.”
Ziwei sedikit tenang. Dia pun mengiyakan akan pergi bersama Zhang Rui keesokan hari.
***
Keesokannya, Zhang Rui datang pagi-pagi dan menunggu Ziwei di penginapan.
Bai Juyi pergi bersama Jingjing dan kedua pelukis wanita yang lain. Beberapa pelukis pria pun bersiap pergi – ada yang sendiri, berdua atau berkelompok beserta guru pembimbing mereka.
Dengan bersemangat, Zhang Rui menhampiri Ziwei. “Selamat pagi, Tuan Muda! Sini, kubawakan tasmu!”
Ziwei belum menyetujui, Zhang Rui telah meraih buntelan berisi peralatan melukisnya dan berjalan lebih dulu. Ziwei mengikutinya.
Zhang Rui membawa Ziwei berkeliling. Pertama-tama, mereka pergi ke pasar dan melihat sekelompok orang tengah berkerumun. Rupanya mereka tengah menonton pertandingan akrobat.
“Bagaimana kalau kau melukis ini, Tuan Muda?”
Ziwei mempertimbangkan sejenak. “Tidak. Yang seperti ini juga ada di Luoyang. Aku tak akan memilih ini.”
Keduanya berjalan lagi. Pada sebuah pemukiman yang rumah-rumahnya berdempetan satu sama lain, Ziwei dan Zhang Rui berhenti. Di salah satu halaman rumah tersebut tengah dilangsungkan upacara pernikahan.
Pengantin prianya sepertinya berusia dua puluhan. Pengantin wanitanya bercadar merah. Melihat kedua pengantin itu tengah melangsungkan upacara, jantung Ziwei jadi berdegup.
Dia tiba-tiba teringat Zheng Yun. Sudah hampir tiga tahun sejak pertemuan terakhir mereka di taman timur istana Luoyang. Zheng Yun masih berada di semenanjung Korea. Dan dari surat terakhir yang diterima Ziwei musim dingin lalu, Zheng Yun menulis kalau dia akan pulang tepat waktu – bersamaan pada saat Ziwei kembali dari istana.
Ziwei memikirkan sisa waktunya di istana. Enam bulan lagi. Dan setelah itu Permaisuri Wu akan mengembalikannya ke kediaman Zheng. Dan Ziwei tak bisa lagi menghindari pernikahannya dengan Zheng Yun. Membayangkan dirinya melaksanakan upacara pernikahan dengan Zheng Yun membuat Ziwei bergidik.
“Tuan Muda,” panggil Zhang Rui membuyarkan lamunan Ziwei. “Coba lihat mas kawin yang dibawa mempelai wanita. Banyak sekali! Berpeti-peti! Kurasa dia pasti anak perempuan keluarga kaya.”
Belasan pria mengangkut peti-peti mas kawin milik mempelai wanita. Jika Ziwei menikah kelak, peti-petinya akan lebih banyak dari yang dilihat Zhang Rui sekarang. Ibunya telah menyiapkan sejak belasan tahun lalu. Emas, perak, batu-batu berharga serta perhiasan-oerhiasan dalam dua buah peti. Belum peti-peti lain yang berisi kain-kain sutra, kelambu, selimut dan lain sebagainya….
“Kalau kelak istriku membawa mas kawin sebanyak itu, kami pasti hidup berkecukupan hingga lima generasi di bawah kami,” komentar Zhang Rui terkekeh-kekeh.
Ziwei tertawa mendengar kenaifan Zhang Rui. Meski kelihatannya banyak, belum tentu mas kawin tersebut itu sanggup bertahan hingga lima generasi berikutnya. Anggapan seperti itu terlalu berlebihan.
“Mari kita pergi dari sini,” ajak Ziwei.
“Eeh, kau tak melukis?” Zhang Rui bertanya keheranan. “Setidaknya, para pengangkut peti-peti mas kawin itu merupakan obyek yang menarik.”
“Tidak menurutku,” tukas Ziwei singkat tanpa membeberkan alasan sebenarnya.
“Baiklah, hari ini kau majikanku. Aku menuruti perintahmu saja!”
Pada tengah hari, Zhang Rui dan Ziwei singgah di sebuah kedai untuk makan siang. Ketika menunggu pesanan mereka datang, Zhang Rui mengamati wajah Ziwei lama-lama.
“Ada apa? Kenapa memandangiku seperti itu?” tanya Ziwei dari balik cangkirnya. Dia sedang minum sewaktu mendapati Zhang Rui mengamatinya.
Salah tingkah, Zhang Rui tertawa. “Bukan apa-apa…, Ah, tak sopan bila kuutarakan.”
Alis Ziwei berkerut. “Tidak apa-apa, katakan saja apa yang kau pikirkan.”
“Ehm, kulitmu sangat halus Tuan Muda,” Zhang Rui memberanikan diri bicara. “Kalau tanganmu mungkin ya karena kau seorang pelukis dan tidak pernah bekerja kasar. Tapi wajahmu juga benar-benar halus. Kau jadi kelihatan… terlalu kemayu untuk menjadi seorang pria!”
Tawa Zhang Rui meledak. Ketika dillihatnya Ziwei tak bereaksi, Zhang Rui berhenti tertawa dan berucap sesal, “Maafkan aku sudah bicara lancang.”
Ziwei tersenyum. Dia membasahi telunjuknya dengan air dalam cangkirnya lalu menulis dua huruf di atas meja.
“Apa yang kau tulis itu, Tuan Muda?” tanya Zhang Rui.
“Namaku,” jawab Ziwei. Sebenarnya, jika Zhang Rui bisa membaca kedua huruf itu dia pasti menemukan petunjuk tentang Ziwei.
Alis Zhang Rui berkerut melihat kedua huruf itu. “Aku hanya tahu menulis namaku sendiri. Aku juga mengenal sedikit sekali huruf. Tulisan dengan guratan begitu rumit, aku tak bisa baca. Memangnya namamu siapa, Tuan Muda?”
“Ziwei.”
Seandainya Zhang Rui bisa membaca huruf yang tertera di atas meja, dia pasti tahu kalau itu adalah nama bunga. Pakis Ungu. Dan nama begitu hanya dipakai oleh wanita.
“Aku tak tahu Ziwei ini berarti apa. Aku senang akhirnya bisa mengetahui namamu, Tuan Muda. Hanya saja, bukankah sesama pria sering menyebut marga mereka jika berkenalan? Aku belum mengetahui nama keluargamu.”
“Zhao. Margaku Zhao.”
“Zhao yang sama dengan Jendral Zhao Yun dari jaman Tiga Negara?”
“Ya. Saudaraku bahkan diberi nama Zhao Zilong, seperti nama kecil sang Jendral.”
“Apakah keluargamu keturunan pejabat, Tuan Muda?”
“Ya. Ayahku masih menjabat di kementerian pajak.”
Zhang Rui terkesima. “Orang kaya dan terpelajar seperti kalian, pasti pandai memilih nama yang tepat bagi anak-anaknya. Kalian juga mencatat silsilah keluarga dan mengatur pernikahan dengan sesama keluarga penting lainnya.”
Sepertinya yang dikatakan Zhang Rui benar. Ziwei mengingat perjodohannya sendiri. Tenggorokannya tercekat. Zhang Rui melanjutkan,
“Kehidupan begitu tidak berlaku bagi orang-orang sepertiku. Aku dan ibuku datang ke Chang’an ketika aku masih sangat kecil. Aku bahkan tidak ingat nama desa tempatku berasal. Ayahku meninggal sewaktu aku masih bayi. Dan ketika ibuku tidak bisa bertahan menghadapi kerasnya kehidupan Chang’an, aku jadi yatim-piatu gelandangan.”
“Aku pernah dianggap tak lebih dari sekedar pembantu hina. Namun bukan berarti kebahagiaan tidak pernah menghampiri hidupku. Mendiang Ayah angkatku orang baik. Tapi orang baik pun suatu hari akan berpisah dari kita. Tuan Muda, kau kenapa?”
Ziwei trenyuh mendengar cerita Zhang Rui. “Tidak apa-apa,” katanya sambil tersenyum. “Terkadang kukira hidupku sulit. Tapi mendengar kisahmu, kisahku jadi tidak ada apa-apanya.”
***
Malam hari tiba dan Ziwei belum juga menemukan obyek yang cocok bagi lukisannya. Zhang Rui menyarankan ini-itu. Tapi semuanya terasa kurang tepat bagi Ziwei.
Ziwei sudah akan memutuskan kembali ke penginapan ketika Zhang Rui berkata, “Tuan Muda, mari kita pergi ke suatu tempat. Aku yakin kau pasti belum pernah ke sana.”
“Tempat apa?” tanya Ziwei.
Zhang Rui setengah berbisik, “Nama tempat itu ‘Paviliun Seribu Bunga’… Terletak di distrik ‘Lampu Merah’ Chang’an.”
“Distrik ‘Lampu Merah’? Dimana itu?”
“Astaga, Tuan Muda! Kau pura-pura lugu atau karena kau terlalu lama tinggal di istana hingga tak tahu apa itu ‘Distrik Lampu Merah’?”
Ziwei menggeleng kebingungan.
“Mari, ikut denganku!” Zhang Rui menarik tangan Ziwei.
Ziwei mengikuti Zhang Rui yang berjalan di depan. Mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang sangat ramai. Lampion-lampion merah menerangi sisi-sisi jalan. Orang-orang ramai lalu-lalang. Kebanyakan lelaki. Mereka seperti tengah mencari-cari sesuatu. Gedung-gedung di kedua sisi jalan terang-benderang. Dan para wanita berjejer di pintu serta balkon-balkon. Mereka berdandan tebal, berpakaian bagus dan agak terbuka. Dari mulut mereka keluar kata-kata rayuan membuai hati.
‘Distrik Lampu Merah’ ternyata adalah daerah pelacuran! Zhang Rui rupanya membawanya ke kawasan favorit pria hidung belang! Wajah Ziwei memucat. Seumur hidup tidak pernah terpikir olehnya akan memasuki wilayah begini.
Sudah terlambat untuk menolak. Ziwei terlanjur berjalan semakin dalam bersama Zhang Rui. Para wanita penghibur tak henti-hentinya menawarkan diri. Merasa malu karena pada dasarnya dia juga seorang wanita, Ziwei menundukkan kepala.
Zhang Rui dan Ziwei akhirnya sampai di Paviliun Seribu Bunga yang megah dan terang-benderang. Dengan keadaan sekelilingnya, nama Paviliun Seribu Bunga yang semestinya indah, kini terdengar seronok. Tidak seperti gedung-gedung lain di jalan itu, bagian depan Paviliun Seribu Bunga tak dijejali wanita-wanita yang sibuk menjajakan diri.
“Paviliun Seribu Bunga ini tempat berkelas. Kau akan tahu sesampainya di dalam,” bisik Zhang Rui.
Ziwei dan Zhang Rui masuk ke dalam Paviliun Seribu Bunga. Ternyata, di aula utama orang-orang penuh bersesak-sesakan. Di tengah-tengah aula terdapat sebuah panggung berbentuk lingkaran tertutup tirai sutra biru tipis. Ziwei hendak berjalan mendekati panggung – tapi Zhang Rui mencegahnya.
“Yang di depan itu untuk tamu-tamu khusus. Bagi yang melihat gratis seperti kita, hanya boleh duduk di belakang,” Zhang menjelaskan.
Jadi, Ziwei dan Zhang Rui duduk di belakang. Ziwei memperhatikan, dalam sekejap tempat itu telah penuh. Kebanyakan lelaki. Dari penampilan, tampak jelas mereka berasal dari status sosial menegah ke atas. Ada yang datang bersama pelayan atau pengawal mereka. Sebagian besar adalah pria-pria muda. Namun di antaranya terdapat juga beberapa pria berumur dengan rambut yang telah memutih.
Tidak lama kemudian, tirai sutra biru diangkat. Di atas panggung melingkar muncul seorang wanita muda berpakaian biru. Bagian bahunya terbuka. Roknya terbelah di kedua sisi memperlihatkan kaki-kaki semampai bersepatu sol datar penuh sulaman.
Wanita itu cantik. Sayang wajahnya tanpa ekspresi. Aneka perhiasan memenuhi rambutnya. Jepit rambutnya bergoyang-goyang, kontras sekali dengan wajahnya yang tidak bergeming. Bibir wanita itu terkatup rapat. Dia melihat penontonnya dengan tatapan tajam memuakkan. Para penonton yang sebagian pria sepertinya tidak menyadari hal itu. Mereka hanya terpukau pada kecantikan si wanita.
Lonceng-lonceng mulai dibunyikan. Musik dimainkan. Wanita itu mulai meliukkan tubuh. Dia melempar senyum mengejek ke arah penonton. Penonton bertepuk tangan ketika wanita itu menari. Mereka bersorak-sorai setiap kali wanita itu melakukan gerakan lemah-gemulai nan erotis. Usai menari, salah satu dari penonton di dekat panggung berdiri dan berseru,
“Seratus keping emas!”
Yang lain membalas, “Dua ratus keping emas!”
“Tiga ratus!”
“Enam ratus!”
Ziwei membisiki Zhang Rui. “Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka sedang melakukan ‘lelang penari’. Pria mana yang menawar paling tinggi akan ditemani si penari malam ini.”
Ziwei terbelalak. “Jangan harap kau bisa ikut pelelangan,” lanjut Zhang Rui. “Upahmu bertahun-tahun di istana pun tak sanggup membayar si penari.”
“Delapan ratus!”
“Seribu!”
“Seribu lima ratus!”
“Haaa?” semua orang bergumam terpukau. Ada yang berani membayar seribu lima ratus keping emas untuk si penari?
Seorang pria berjubah kuning berdiri. Usianya sekitar enam puluhan. Berambut putih. Wanita mucikari menghampirinya, tertawa-tawa berkata, “Benarkah Tuan mau membayar sebegitu banyak untuk penari ini?”
“Aku, Pejabat Cui, tidak pernah ingkar janji dengan kata-kata yang telah kuucapkan!”
“Oooh, Tuan Pejabat. Maaf jika membuatmu tersinggung. Dengan emas begitu banyak, tentu saja si penari bisa bersamamu malam ini.”
Si penari berdiri tepat di tengah panggung bak patung. Wajahnya kembali beku tanpa ekspresi. Hanya matanya yang memancarkan sinar – kali ini yang dilihat Ziwei adalah sinar kebencian.
Ziwei telah menemukan obyek lukisannya. Malam itu, sesampainya di penginapan, Ziwei mulai melukis sketsa ‘Lelang Penari’.
***
Kembali di Luoyang, Ziwei memeindahkan sketsanya ke atas kanvas. Ziwei tekun dengan pekerjaannya. Dia mengerahkan seluruh emosinya untuk menyelesaikan lukisan tersebut.
Meski beberapa hari telah berlalu, Ziwei masih mengingat jelas ekspresi si penari. Wanita itu mungkin mencintai tari – karena dia menari dengan segenap jiwa. Tapi dia tak dapat menolak hal-hal yang terjadi setelah dia menari. Usai menari dia ibarat benda. Dilelang kesana-kemari. Dia tak punya hak atas tubuhnya sendiri. Dia tidak boleh yang memilih pria mana yang dia sukai. Uang-lah yang memilihkan pria baginya. Si penari terperangkap dengan profesinya. Dia menjadi muak. Dan rasa muak itu menjelma menjadi api tersembunyi dalam dirinya.
Sayang ketika lukisan itu selesai, Bai Juyi menolaknya.
“Lukisan macam apa ini? Kau berani mempersembahkan lukisan semacam ini kepada Yang Mulia Permaisuri?” Bai Juyi memarahi Ziwei.
“Memangnya kenapa, Guru? Bukankah Yang Mulia Permaisuri ingin melihat lukisan tentang kehidupan rakyat? Inilah lukisan itu. ‘Lelang Penari’dalam lukisan itu nyata. Ia terdapat di ibukota Kerajaan Tang Yang Agung kita!” Ziwei membela diri.
“Tapi ini sangat vulgar! Lihat caramu melukisnya! Terlalu berlebihan!”
“Mananya yang berlebihan? Apakah aku melukis para lelaki terhormat ikut serta dalam pelelangan itu berlebihan? Itu memang nyata! Bahkan yang menawar si penari dengan harga tertinggi malam itu adalah seorang pejabat. Apa Guru baru tahu kalau ternyata di antara pejabat kita, ada yang memakai gaji yang diberikan oleh negara untuk memuaskan nafsu mereka?”
“Zhao Ziwei!” Bai Juyi amat murka hingga menggebrak meja. “Kakekmu, Guru Zhao Ji, tidak pernah melukis hal demikian! Dia terkenal memiliki sopan santun yang tinggi. Dia sama sekali tidak pernah memilih tema begini dalam lukisannya. Mengapa kau sebagai cucunya tidak seperti dia?”
Ziwei terdiam. Hatinya pedih mendengar dirinya dibandingkan dengan sang kakek. Bai Juyi menghukum Ziwei. Dia dilarang melukis selama tujuh hari dan diminta intropeksi diri. Ziwei tidak membantah. Dia pun menjalani hukuman.
Akhirnya tibalah hari Permaisuri Wu melihat lukisan dari para pelukis yang telah mengunjungi Chang’an. Mereka melukis kehidupan ibukota seperti yang diharapkan sang permaisuri. Kebanyakan adalah tema keramaian seperti pasar-pasar, kedai minum atau rumah makan. Ada satu lukisan mengenai pedagang-pedagang asing yang sedang bertransaksi. Permaisuri Wu mengamati detail penampilan para pedagang dalam lukisan tersebut. Lain asal negaranya, beda pula pakaiannya. Permaisuri Wu tersenyum. Chang’an benar-benar telah berubah menjadi kota multi bangsa.
“Mana karya Pelukis Wanita Zhao?” Permaisuiri Wu bertanya ketika tidak menemukan satupun lukisan Ziwei. “Guru Bai, apakah selama di Chang’an dia tidak melukis?”
Bai Juyi menjawab enggan, “Sebenarnya dia melukis. Hanya saja, hasilnya tidak layak diperlihatkan ke Yang Mulia.”
“Apakah dalam kontes ini kau yang memutuskan suatu karya layak atau tidak?” Permaisuri Wu menyindir. Bai Juyi terdiam. “Sebelum lukisan itu diperlihatkan kepadaku, tidak ada seorangpun bisa mengklaim lukisan itu tidak layak! Bawa karya Pelukis Wanita Zhao kemari!”
Lukisan Ziwei pun dibawa ke hadapan Permaisuri Wu. Sewaktu melihatnya, Permaisuri Wu terkesima hingga tak sanggup berkata-kata sesaat.
***
Usai melihat lukisan ‘Lelang Penari’, Permaisuri Wu meminta Ziwei menemuinya.
Ziwei menemui Sang Permaisuri di ruang pribadinya. Tak ada siapapun di ruangan itu selain Ziwei dan Permaisuri Wu. Para dayang serta pengawal diminta menunggu di luar.
Lukisan Ziwei bertengger pada salah satu kanvas di sisi meja tulis Sang Permaisuri. Permaisuri Wu tengah memandang lukisan itu sewaktu Ziwei tiba.
Ziwei memberi salam tapi Permaisuri Wu tidak menyahutinya. Ziwei menunggu. Lama dalam keheningan, tiba-tiba Permaisuri Wu berkata,
“Wanita Penari ini, tidakkah dia terlihat seperti mengejek para penawarnya?”
Ziwei terkejut. Permaisuri Wu sepertinya menangkap ekspresi si penari. Bahkan Guru Bai tidak memperoleh persepsi begitu. Bagi Bai Juyi, lukisan itu tak lebih dari sekedar karya seronok yang mengeksploitasi tubuh wanita.
“Pria-pria ini tidak tahu harus kemana lagi untuk untuk menghamburkan uang mereka. Jadi mereka menghabiskannya untuk si penari,” gumam Permaisuri Wu.
“Tapi tidak semua uang itu diberikan ke si penari, Yang Mulia,” sanggah Ziwei. “Menurut narasumber hamba,si penari hanya mendapat secuil kecil. Sisanya yang berjumlah besar diambil oleh mucikarinya.”
“Kasihan sekali! Dia sudah tak diijinkan memilih, uangnya pun tak bisa dia nikmati seluruhnya,” Permaisuri Wu prihatin. Lalu dia tertawa, “Lihat pria-pria terhormat di bawah panggung ini. Mereka tampak seperti hewan-hewan kelaparan yang sedang menunggu berebut daging.”
Permaisuri Wu menghembuskan napas puas. “Aku paling menyukai lukisan ini. Lukisan ini akan disimpan dalam arsip kerajaan. Agar di masa mendatang, orang-orang yang melihatnya tahu kalau ada kejadian seperti ini pada masa Dinasti Tang Yang Agung. Sejak jaman dahulu, pekerjaan yang berhubungan dengan nafsu memang tak dapat terhapuskan oleh Dinasti manapun.”
Permaisuri Wu memutar kepalanya menatap Ziwei. “Kau telah bekerja cukup baik kali ini. Maka sepatutnya kau menerima hadiah.”
Ziwei tiba-tiba terpikir sesuatu. Dia berlutut kepada Permaisuri Wu.
“Yang Mulia, kalau bisa, hamba tidak menginginkan hadiah berupa uang atau benda.”
“Kalau begitu, kau menginginkan apa? Aku belum tidak memberi hadiah bagi mereka yang telah menjalankan misiku dengan baik.”
Ziwei memberanikan diri bicara. “Hamba ingin, Yang Mulia melakukan sesuatu bagi hamba.”
Alis Permaisuri Wu berkerut. “Aku juga belum pernah bertemu dengan orang yang tawar-menawar hadiah denganku. Tapi kau pengecualian, Pelukis Wanita Zhao. Nah, katakan, apa permintaanmu.”
Ziwei bersujud. “Hamba meminta Yang Mulia untuk membatalkan pertunangan hamba dengan tunangan hamba, Zheng Yun!”
Permaisuri Wu terkejut. “Mengapa kau meminta hal itu? Bukankah kalian telah bertunangan cukup lama?”
Ziwei menengadahkan kepala. “Hamba dan Zheng Yun memang telah bertunangan sejak masih kecil. Tapi perjodohan itu merupakan keputusan kakek-kakek kami. Hingga sekarang, hamba sama sekali tidak memiliki perasaan sebagai seorang kekasih terhadap Zheng Yun. Hamba selalu merasa resah jika memikirkan masa tinggal di istana yang hampir usai dan setelahnya Yang Mulia akan mengembalikan hamba ke rumah Zheng.”
“Tapi bukan aku yang menciptakan perjodohan kalian, bagaimana kau bisa memintaku membatalkannya?”
“Keluarga Zheng sangat patuh kepada Yang Mulia. Yang Mulia bisa menggunakan kekuasaan Anda untuk meminta keluaga Zheng membatalkan pertunangan dan mencari mempelai lain bagi Zheng Yun. Mereka pasti akan menaatinya.”
Permaisuri Wu mengangkat sebelah alisnya, “Pelukis Wanita Zhao, kau akan membuatku terlihat sebagai penguasa wanita yang kejam.”
“Hamba tidak berani berbuat demikian Yang Mulia!” seru Ziwei sambil bersujud.
Permaisuri Wu termenung. “Dulu, sewaktu aku pertama kali menjadi selir Kaisar Taizong, kukira aku mencintai Beliau. Lalu, ketika aku menjadi istri Kaisar yang sekarang, aku juga mengira telah jatuh cinta padanya…”
“Tapi sekarang kusadari kalau aku tak mencintai siapapun selain diriku sendiri.”
Permaisuri Wu kembali melihat ke arah Ziwei. Dia tersenyum. Senyum yang mengandung rahasia.
“Lukisan ‘Lelang Penari’ terlalu murah untuk permintaanmu itu, Pelukis Wanita Zhao. Tidak sepadan. Aku akan memberimu syarat lain.”
Ziwei berkata berapi-api. “Apa syarat lain Yang Mulia?”
Permaisuri Wu berpikir sejenak. “Kudengar, pemandangan Gunung Qiu di Shandong, sangat indah. Gunung itu terkenal sebagai Gunung Suci karena merupakan tempat kelahiran Konfucius. Sejak dulu aku menginginkan ruang perpustakaan istana ini dilukis pemandangan gunung tersebut. Aku membayangkan para sarjana membaca kitab ‘Pelajaran Agung’ karya sang Filsuf di perpustakaan sambil dikelilingi lukisan panorama Gunung Suci.”
“Aku akan pergi ke Gunung Qiu, dan melukis pemandangannya di perpustakaan Yang Mulia!” Ziwei berkata tanpa berpikir panjang.
Permaisuri Wu menatap Ziwei lekat-lekat. “Masalahnya, tak seorang seniman pun yang berani ke sana saat ini. Gunung Qiu itu sekarang dipakai sebagai markas Pemberontak Ikat Kepala Kuning.”
Ziwei menganga. Permaisuri Wu, menantangnya. “Nah, Pelukis Wanita Zhao, apakah setelah mendengar tentang sarang pemberontak, kau masih mau pergi ke sana demi mendapat ‘kebebasanmu’?”
Ziwei balas menatap Sang Permaisuri tanpa berkedip. “Hamba bersedia!”
“Walau tanpa pengawalan khusus agar tidak menarik perhatian?”
“Hamba tetap akan pergi!”
Permaisuri Wu tersenyum penuh kemenangan. “Kalau begitu pergilah. Dan jika di perjalanan nanti kau patah semangat hendak membatalkan misi ini, ingatlah kunci ‘kebebasanmu’ berada di tanganku.”
***
Bai Juyi kurang senang dengan keputusan Ziwei pergi ke Gunung Qiu. Tapi dia tak bisa mencegahnya karena semua itu adalah keinginan Ziwei sendiri.
“Aku tak tahu kesepakatan apa yang kau buat bersama Yang Mulia hingga kau nekat ke sana. Meski kau sangat berbakat, jika terjadi sesuatu pada dirimu, Yang Mulia tidak akan memberi sesuatu yang melebihi gelar anumerta ‘Pelukis Kerajaan’ kepadamu.
“Pergilah bersama Zhang Rui,” ujar Bai Juyi – tampak lelah setelah sekian tahun mengabdi kepada majikan-majikan penuntut seperti keluarga kerajaan dan menghadapi murid-murid berpendirian teguh seperti Ziwei. “Kebetulan dia sekarang tinggal di Luoyang atas permintaanku. Bersamanya kalian tidak terlihat mencolok. Pergilah ke Gunung Qiu dan laksanakan misimu. Jaga dirimu baik-baik.”
Meski mereka sering tidak sependapat, bagi Ziwei, Bai Juyi tetap merupakan pembimbing yang baik dan perhatian. Ziwei lalu bersujud dalam-dalam, memberi hormat kepada gurunya.
***
Zhang Rui merasa senang karena dapat menemani Ziwei lagi. Kali ini waktu kebersamaan mereka lebih lama ketimbang di Chang’an.
Ziwei merasa telah akrab dengan Zhang Rui. Dia nyaman dengan penampilan Zhang Rui yang berantakan dan kadang sedikit urakan. Zhang Rui masih menganggap Ziwei sebagai Tuan Muda karena gadis itu kembali berdandan seperti pria. Pada saat malam, keduanya berbagi kamar tempat menginap. Dan Ziwei selalu pandai menjaga rahasia dirinya sehingga Zhang Rui sedikit pun tidak curiga mengenai identitas sebenarnya.
Sepanjang perjalanan menuju Shandong, mereka juga beberapa kali mengalami peristiwa menarik. Seperti suatu siang, ketika sedang beristirahat dekat sebuah sungai, mereka tidak sengaja melihat sekelompok gadis-gadis muda yang tengah mandi di sungai tersebut. Akibatnya, Ziwei dan Zhang Rui diteriaki maling dan nyaris dikejar petani-petani berwajah garang yang kebetulan lewat di situ.
Lalu pada suatu malam, sewaktu keduanya menginap di sebuah rumah di dusun terpencil, mereka juga menjumpai peristiwa aneh. Malam itu, Ziwei yang sulit terlelap melihat bayangan kepala melintasi jendela kamar. Perasaannya tidak enak. Dia membangunkan Zhang Rui. Ketika mereka mengendap-ngendap keluar kamar untuk mengecek, rupanya bayangan kepala itu milik seorang pria.
Pria itu bukan hantu. Dia juga bukan pencuri – karena pencuri pasti akan langsung menuju kamar menggasak barang-barang berharga. Lagipula, pencuri mana yang nekat tidak menutup wajahnya dan beraksi pada malam terang bulan seperti ini?
Ziwei dan Zhang Rui bersembunyi di balik batu-batu taman buatan. Keduanya menunggu. Pria itu juga kelihatan menunggu. Tak lama berselang baik Ziwei maupun Zhang Rui dikejutkan kehadiran seorang gadis. Gadis itu, yang mereka kenali sebagai putri si pemilik rumah - menemui pria itu. Keduanya bicara sejenak lalu memanjat sebuah tangga yang tersampir di tembok. Ziwei dan Zhang Rui menganga. Malam itu mereka telah menjadi saksi sepasang kekasih yang memutuskan kawin lari.
Keesokan paginya, Ziwei dan Zhang Rui dibangunkan oleh suara histeris Nyonya pemilik rumah yang shock karena putrinya menghilang.
***
Ziwei dan Zhang Rui tiba di Gunung Qiu pada hari keempat belas. Mereka tiba di kaki gunung Qiu menjelang siang hari.
Ziwei amat puas dengan pemandangan Gunung Suci itu. Benar-benar sebanding dengan perjalanan jauh yang telah ditempuhnya. Gunung Qiu seolah memancarkan kemisteriusan dari alam semesta. Benar-benar tempat yang cocok untuk kelahiran seorang filsuf agung seperti Konfucius.
Ziwei tidak ingin membuang-buang waktu. Dia segera mengeluarkan kertas sketsanya dan mulai melukis.
Zhang Rui merupakan tipe orang yang akan banyak bicara bila dia senang. Tapi siang itu dia terpaksa menahan kegirangannya agar Ziwei dapat berkonsentrasi melukis. Zhang Rui mengalihkan perhatiannya dengan menikmati pemandangan Gunung Qiu.
Ziwei melukis sambil menjelajah ke bagian atas Gunung Qiu. Zhang Rui mengikutinya. Meski melukis Gunung Qiu tidak akan selesai hanya dalam waktu sehari, Ziwei berusaha terus menyerap pesona Gunung Qiu hari itu.
Ziwei terus berkonsentrasi pada pekerjaannya hingga tidak menyadari dirinya diintai. Sekitar pukul dua siang, ketika melewati sebuah celah sempit, dia dan Zhang Rui dihadang belasan pria berikat kepala kuning.
Tangan Ziwei gemetaran. Akhirnya dia bertemu juga dengan orang-orang ini. ‘Pemberontak Ikat Kepala Kuning’. Demikian orang-orang itu menyebut diri mereka. Mereka merupakan gabungan para penjahat dan perampok. Mereka mengklaim diri sebagai utusan Langit dan menentang pemerintah - seperti para pendahulu mereka: ‘Pemberontak Bandit Kuning’ dari jaman Tiga Negara.
Para Pemberontak Ikat Kepala Kuning perlahan-lahan mengepung Ziwei dan Zhang Rui. Zhang Rui membisiki Ziwei, “Tuan Muda, kita sepertinya terlibat kesulitan besar…”
“Iya…,” desis Ziwei. Nyalinya menciut. Tiba-tiba dia merasa bodoh karena telah menerima tantangan Permaisuri Wu ini.
”Jika di perjalanan nanti kau patah semangat hendak membatalkan misi ini, ingatlah kunci ‘kebebasanmu’ berada di tanganku.”
Kata-kata Permaisuri Wu terngiang di telinga Ziwei. Salah seorang pemberontak merampas tas Ziwei ketika dia lengah. Mereka menumpah isinya keluar dan menemukan sebuah lempengan emas.
“Apa ini?” tanya si penggeledah. Sepertinya dia buta huruf karena tak dapat membaca tulisan di lempengan emas tersebut.
Salah seorang rekannya menghampiri. Dia melihat lempengan emas itu dan membaca tulisan yang terukir di atasnya.
“Tanda Pengenal Wanita Istana,” pria itu membalik lempengan sebelahnya. “Zhao Ziwei.”
“Orang ini berasal dari istana! Dia seorang wanita!”
Zhang Rui segera membentengi Ziwei. “Tidak mungkin! Kau salah baca! Tuan Mudaku bukan perempuan!”
“Kalau kau bilang dia bukan perempuan, kau-lah yang tak dapat membaca tulisan ini, bodoh!” pria itu mengejek Zhang Rui. “Dia wanita! Wanita yang menyamar sebagai pria!”
Zhang Rui menatap Ziwei lekat-lekat meminta kejelasan. Tuan Muda, kau sesungguhnya pria atau wanita? Tapi Ziwei tetap diam. Wajahnya pucat dan bibirnya gemetar.
“Kalian orang-orang barbar yang menodai Gunung Suci!” Ziwei melontarkan kata-kata tajam setelah berhasil mengumpulkan kekuatannya. “Kalian tak pantas berdiri pada secuil tanahpun di gunung ini.”
Pria yang membaca lempengan emas tadi membalas Ziwei, “Kalau kami tak pantas berdiri di sini, lalu apakah kau pantas? Seorang wanita menyamar jadi pria dan pergi berdua dengan pria yang jelas bukan siapa-siapanya! Apakah itu juga tidak menodai Gunung Suci ini?”
“Aku tidak demikian! Aku kemari karena perintah Permaisuri Wu untuk melukis Gunung Suci!”
“Aha! Dan Permaisurimu itu! Apakah dia orang baik? Kami dengar dia mengucilkan suaminya dan mengurus pemerintahan sekarang. Kurasa, dia tinggal menunggu Sang Kaisar wafat dan merampas tahtanya!”
“Di dunia ini, mana ada wanita yang bisa memimpin negara dan memerintah lelaki? Wanita semestinya berada di belakang pria. Dan kau Nona, seharusnya kau duduk diam saja di rumah!”
Ziwei menggigit bibir menahan amarah. Zhang Rui masih bersiaga di sampingnya. Lalu salah seorang pemberontak itu berseru,
“Ayo kita tangkap mereka! Yang pria kita jadikan budak. Wanitanya kita pakai bersenang-senang.”
Rekan-rekannya bersorak. Mereka menghambur menyerang Ziwei dan Zhang Rui. Zhang Rui mencoba menghalau para pemberontak itu dengan sekuat tenaga. Ketika melihat ada celah untuk lolos, dia menarik tangan Ziwei.
“Lari! Kita harus lari sekuat tenaga, Tuan muda!” teriak Zhang Rui.
Ziwei berlari kencang hingga paru-parunya serasa hendak keluar lewat tenggorokannya. Dia dan Zhang Rui terus berlari. Kini jarak mereka dengan para pemberontak itu agak berjauhan. Tapi jika keduanya lengah sedikit saja, mereka pasti akan tertangkap.
Mendadak, Zhang Rui yang berlari paling depan berhenti. Ziwei juga otomatis berhenti.
“Kenapa?” Ziwei berkata panik. Para pemberontak Ikat Kepala Kuning di belakanga mereka. Sebentar lagi mendekat.
Ziwei mengikuti pandangan Zhang Rui turun ke bawah. Di ujung kaki mereka rupanya terdapat tebing dengan sungai yang tak terukur kedalamannya.
Jalan buntu!.
“Tidak ada jalan lain,” desis Zhang Rui. “Tuan Muda…,” panggilnya ambil menggenggam tangan Ziwei erat. Ziwei terpana menatapnya.
Zhang Rui menarik Ziwei meloncat bersamanya ke dalam air. Sejurus kemudian, yang terdengar dari lembah itu adalah jeritan Ziwei.
***
Entah apakah arus yang menyeret ataukah tangan Zhang Rui yang menariknya. Ketika Ziwei sampai ke tepian, dia mendapati dirinya masih hidup.
Ziwei terduduk dan gemetar. Dia masih ketakutan dengan peristiwa tadi. Belum pernah seumur hidup dia dikejar-kejar seperti ini dan meloncat dari tempat begitu tinggi.
Berbeda dengan Ziwei, Zhang Rui justru tampak sanga bersemangat. Dia mengibas-ngibaskan air dan berseru girang,
“Wah, asyik sekali! Menegangkan! Yang tadi itu benar-benar petualangan yang jauh lebih mendebarkan daripada dikejar-kejar polisi di Chang’an!”
Zhang Rui tertawa keras. Dia kemudian menoleh ke arah Ziwei. Rambut ‘Tuan Mudanya’ tergerai hingga ke punggung. Pakaiannya basah kuyup dan air sungai menetes-netes dari bulu matanya yang lentik.
Zhang Rui tergagap-gagap. “Kau… kau wanita sungguhan?”
“Aku sudah coba memberimu petunjuk lewat tulisan namaku,” ucap Ziwei lirih. “Tapi kau tak bisa membacanya…”
***
Zhang Rui dan Ziwei terdiam cukup lama di tepi sungai itu sambil mengeringkan diri. Ziwei sepertinya tak ingin diganggu. Dia termenung dan menatap sungai tanpa bergerak sedikitpun.
Zhang Rui dilanda dilema. Bagaimana dia harus memanggil Ziwei sekarang? Tuan Muda? Nona atau Putri?
Harus diakuinya kalau Ziwei memang pandai menyembunyikan identitasnya. Zhang Rui coba mengingat-ingat apakah dia pernah berlaku tidak sopan kepada majikannya ketika dia masih menjadi lelaki atau tidak. Aduh, sekarang segalanya tidak lagi menjadi lebih mudah.
Setelah terdiam cukup lama, pada akhirnya Zhang Rui membuka percakapan.
“Sebelum berangkat, apakah kau tahu di Gunung Qiu bersembunyi pemberontak?”
Tanpa memutar kepalanya, Ziwei menyahut lirih, “Ya, aku tahu…”
Zhang Rui bangkit dan pindah duduk di samping Ziwei. “Kalau begitu kenapa kau masih nekat pergi ke sana? Sementara kau sudah tahu tempat itu berbahaya – terlebih bagi wanita sepertimu?”
“Karena aku telah membuat kesepakatan dengan Yang Mulia Permaisuri Wu.”
“Kesepakatan apa?” Zhang Rui penasaran.
“Kesepakatan tentang kebebasanku…”
“Apa?”
Ziwei terdiam sesaat. “Ketika berusia enam tahun, aku ditunangkan dengan cucu kawan baik kakekku.”
Zhang Rui mendengar perkataan Ziwei seperti usai mendengar geledek.
“Harusnya sudah kuguga…,” gumam Zhang Rui. Dia tampak kecewa. “Kau berasal dari keluarga terpandang. Pasti akan menikah dengan pria dari keluarga sederajat pula…”
“Tapi masalahnya aku tidak pernah mencintainya. Aku bahkan takut menikahinya… Kakekku… dia pasti kecewa denganku…”
“Aku sudah pernah bertemu tunganganku dan tinggal di rumahnya itu selama beberapa waktu sampai Permaisuri Wu membawaku pindah ke istana. Selama itu aku tidak pernah punya perasaan apa-apa padanya.”
“Tunanganku itu, dia pergi ke Semenanjung Korea untuk berperang. Apakah aku bukan wanita baik jika tidak pernah merindukan atau tidak sering memikirkannya?” Ziwei menoleh ke arah Zhang Rui dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tak tahu bagaimana cara membatalkan pertunangan ini hingga akhirnya membuat kesepakatan dengan Yang Mulia Permaisuri...”
Kata-kata Ziwei berikutnya mencengangkan Zhang Rui.
“Jika aku berhasil melukis keindahan panorama Gunung Qiu di perpustakaan istana, Yang Mulia akan menggunakan kekuasaannya untuk membatalkan perjodohan ini!”
***
Ziwei kehilangan seluruh sketsanya di Gunung Qiu. Dengan mencoba mengingat keindahan panorama Gunung Suci dalam benaknya, Ziwei memutuskan kembali ke istana dan melukis sketsa baru di sana.
Setelah mengetahui Ziwei sesungguhnya adalah wanita, sikap Zhang Rui sedikit berubah padanya.
Dia jadi selalu mendahulukan kepentingan Ziwei. Jika yang lalu dia senang menepuk bahu Ziwei seperti seorang teman lelaki, kini Zhang Rui tidak berani lagi melakukan itu.
Ketika malam tiba dan mereka harus menginap, Zhang Rui menolak berbagi kamar dengan Ziwei. Jika kebetulan mereka hanya memperoleh satu kamar, maka Zhang Rui akan memberikan kamar itu kepada Ziwei dan dia memilih tidur di luar.
Pada suatu senja, Zhang Rui dan Ziwei tiba di sebuah rumah pembuat cermin perunggu. Mereka bertanya apakah bisa menginap disana malam itu.
“Aku bersedia menerima kalian asal kalian tidak keberatan tidur di bengkel suamiku,” kata si Nyonya rumah. “Di bengkel itu ada kamar yang biasa dijadikan gudang.”
Ziwei dan Zhang Rui setuju. Ketika masuk ke dalam bengkel, Ziwei melihat kondisi ruangan itu cukup bersih. Alat-alat pertukangan telah disimpan rapi dalam kotaknya. Cermin-cermin perunggu kecil diletakkan di atas meja menunggu diukir dan diberi hiasan. Pada bagian dalam bengkel, dekat kamar gudang yang dimaksud sang nyonya rumah, berdiri dua buah cermin besar melebihi tinggi orang dewasa.
Ziwei berhenti sejenak memandangi bayangan dirinya di dalam cermin tersebut. Entah sudah berapa lama dia tak bersermin lagi. Zhang Rui yang berada di belakangnya juga melihat ke arah cermin. Pandangan keduanya bertemu di cermin.
Cara memandang mereka saat itu berbeda dari sebelum-sebelumnya. Zhang Rui takut sesuatu yang dia khawatirkan semenjak mengetahui identitas Ziwei yang sebenarnya akan muncul saat itu. Dia cepat-cepat memutar kepala,
“Aku pergi sebentar. Nyonya tadi memintaku mengambil makanan di dapurnya.”
Keluar sebentar dari bengkel tersebut membuat pikiran Zhang Rui jernih kembali. Beberapa saat kemudian dia kembali ke bengkel membawa makanan dan selembar pakaian wanita berwarna merah tua.
“Pakaian itu untuk apa?” tanya Ziwei ketika melihat pakaian wanita tersampir di lengan Zhang Rui.
“Pakaian ini untukmu,” ujar Zhang Rui seraya mengangsurkannya kepada Ziwei.
“Apa kau memperolehnya dari mencuri?” goda Ziwei.
Zhang Rui tertawa, “Kau juga pernah berkata begitu sewaktu kuberi kelinci. Aku tidak mencurinya. Nyonya tadi yang memberikannya. Katanya itu pakaian bekasnya yang akan disumbangkannya ke biara. Aku memintanya untukmu karena kupikir, kau tak punya pakaian lain sejak tasmu ketinggalan di Gunung Qiu.”
Ziwei mengelus pakaian tersebut. Modelnya agak ketinggalan tapi masih layak pakai.
“Hanya dari kain katun biasa,” Zhang Rui berujar. “Memang tidak sebanding dengan pakaian-pakaian sutra yang biasa kau kenakan di istana. Kalau kau tidak suka, tidak usah dipakai.”
Ziwei tersenyum tipis. Dia mengambil pakaian itu dan masuk ke kamar gudang.
Tak berapa lama, Ziwei keluar dari kamar. Zhang Rui nyaris tidak mengenalinya dan mengira ada wanita lain di ruangan itu.
Ziwei berdiri di depan kedua cermin perunggu besar. Pakaian wanita itu dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Dia menatap bayangannya di cermin.
Zhang Rui berjalan menghampirinya. Dengan refleks dia menyentuh bahu Ziwei dan berbisik,
“Apakah ini benar Zhao Ziwei yang kukenal?”
Ziwei tersenyum mengangguk. Zhang Rui memegang erat bahunya seperti orang terhipnotis.
“Ziwei,” bisiknya. “Kurasa saat ini hidupmu berada di persimpangan dua buah jalan.”
Ziwei menyimak perkataan Zhang Rui.
“Jalan yang satu akan mengantarmu kembali kepada Yang Mulia Permaisuri, tunanganmu dan keluargamu… Dan di jalan yang satu aku sedang menanti.”
“Kau wanita dengan bakat luar biasa. Wanita sepertimu takdirnya tak ditentukan oleh siapapun. Tidak oleh kakekmu, Permaisuri ataupun tunanganmu. Kau seharusnya bisa menentukan takdirmu sendiri.”
“Ziwei, di jalan yang satu aku menanti. Aku tidak menawarkanmu harta atau kedudukan seperti yang dimiliki tunanganmu. Aku menawarkan kebebasanmu…”
Ziwei memandang Zhang Rui di dalam cermin. Keputusannya selanjutnya akan mempengaruhi seluruh sisa hidupnya. Dan saat itu Ziwei memutuskan. Dia akan memilih salah satu jalan. Jalan yang ada Zhang Rui di sana.
Bersambung...
Sumber :
http://merlinschinesestories.blogspot.com
Merlin's Chinese Stories, Merlin Penyihir Penasihat Raja Arthur.
Blog yang memuat hasrat-hasrat terpendam akan cerita-cerita China klasik dan segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar