Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Selasa, 22 Juni 2010

Kekasih Jiwa

Title : Kekasih Jiwa
Author : Sweety Qliquers
Genre : Romance 21+/Kekuasaan/Bisnis
Production : www.rainlovers86.blogspot.com
Production Date : Selasa, 22 Juni 2010 – 10.58 AM
Cast :
Go Ah Ra as Kang Hae Bin
* Menurut Cha Bong Gun, ia tidak secantik gadis yang diidamkan pria pada umumnya
* Menurut Cha Bong Gun, ia gadis cerdas dan mandiri
* Selalu menjaga cintanya hanya untuk Cha Bong Gun seorang, walaupun ia tahu Cha Bong Gun milik Yeon Yi
* Tatapan matanya yang penuh dengan cinta, atau lebih tepatnya penuh kasih sayang, ketulusan dan pengertiannya, membuat Cha Bong Gun semakin cinta
* Diberikan identitas baru oleh Lee Dong Ho-bodyguard Cha Bong Gun, Go Ah Ra

Yunho`DBSK as Cha Bong Gun
* Seorang sarjana teknik, bekerja di lapangan sebagai perancang proyek bangunan besar
* Hae Bin bukan wanita pertama yang menjadi selingkuhannya, selama ia menjalin hubungan dengan Yeon Yi-tunangannya
* Seks menjadi sebuah kebutuhan baginya
* Perselingkuhannya dengan wanita-wanita hanya demi seks, Bukan cinta
* Menantu Ahn Jae Wook

Son Dam Bi as Han Ji Eun
* Sahabat Kang Hae Bin
* Tidak pernah lupa memberikan informasi terbaru Cha Bong Gun untuk Kang Hae Bin
* Menjadi wanita simpanan Lee Mong Ryong-bossnya di kantor

Gong Yoo as Lee Dong Ho
* Bodyguard Cha Bong Gun
* Bertugas melindungi Kang Hae Bin dari orang-orang yang ingin membunuhnya
* Memberikan paspor, identitas baru, rumah, pekerjaan, saudara baru dan juga nama baru Go Ah Ra untuk Kang Hae Bin

Lee Min Ho as Jang Seong Woo
* Teman kantor Kang Hae Bin
* Menaruh hati pada Kang Hae Bin sejak lama
* Cintanya bertepuk sebelah tangan pada Kang Hae Bin, Karena Kang Hae Bin masih sangat mencintai Cha Bong Gun

Extended Cast :
Yoon Eun Hye as Oh Yeon Yi
* Gadis cantik, nyaris sempura-tunangan Cha Bong Gun
* Memberikan ancaman ke Kang Hae Bin untuk segera meninggalkan Cha Bong Gun-calon suaminya
* Anak seorang kontraktor ternama di Korea-Ahn Jae Wook

Song Hye Gyo as Son Jae Kyung
* Kabag Kang Hae Bin
* Sangat membenci Ahn Jae Wook, karena menurutnya Ahn Jae Wook adalah kontraktor yang membuat gedung parkiran runtuh dan menewaskan seratus orang lebih
* Menuduh Cha Bong Gun-kontraktor yang selalu disanjung-sanjung pemerintah, tukang korupsi

Ahn Jae Wook
* Papa Oh Yeon Yi
* Mertua Cha Bong Gun
* Orang yang punya kuasa untuk menangani proyek-proyek besar di Korea
* Memiliki banyak kenalan para aparat kepolisian dan orang-orang pemerintahan

Daniel Hanney as Lee Mong Ryong
* Boss Kang Hae Bin-cs
* Pemilik perusahaan Entertainment dimana Kang Hae Bin, Han Ji Eun, Jang Seong Woo, Sin Jae Kyung, Lee Min Jung bekerja

Lee Min Jung
* Sekretaris Direksi
* Memberikan kabar pada Kang Hae Bin, bahwa Han Ji Eun mengalami kecelakaan ketika menjalankan tugas luar di Jepang




Ketika kami pertama kali bertemu, aku tahu, aku akan membuat kesalahan pada hal paling penting dalam hidupku. Gadis ini tidak secantik gadis yang diidamkan pria pada umumnya. Tapi, ia sungguh cerdas, mandiri, dan tidak seperti gadis lain yang aku kenal. Gadis ini mempunyai sesuatu yang luar biasa, yang tidak dimiliki para wanita lain. Entah apa, tapi ada sesuatu yang istimewa.

“Makan, ya?” aku menawarinya untuk kesekian kali.

“Aku sudah makan.” Kang Hae Bin, begitu nama gadis ini, menolak lagi.
“Kau diet, ya?” aku meledeknya.

Hae Bin cuma tertawa, sambil mencubit pelan lenganku. Dia mencubitku karena malu, bukan karena genit.

“Kalau begitu, aku antar kau pulang sekarang. Aku harus ke....”

“Aku tahu.”

Hae Bin tersenyum tipis. Aku selalu tidak sengaja menyakiti hatinya. Hae Bin masuk ke mobilku dan duduk dengan manis, tanpa menyentuh apa pun. Aku menjalankan mobil perlahan, sambil meliriknya. Ia tersenyum. Aku tahu, seperti apa perasaannya, setiap kali aku mengatakan kalimat seperti tadi. Ini malam Minggu, dan aku hanya punya waktu bersama Hae Bin sampai pukul tujuh malam.

”Terima kasih sudah mengantarku,” Hae Bin mengucapkan dengan sangat sopan.

Aku hanya mengangguk. Hae Bin melangkah masuk pagar kompleks kos yang sederhana.

”Hae Bin.” Panggilanku menghentikan langkahnya.

Hae Bin berbalik cepat.

”Hampir lupa, aku membeli ini ketika pulang kerja tadi. Manis sekali.” Aku mengeluarkan keranjang besar kelengkeng bangkok.

”Kau membelinya untukku?” Hae Bin mendekat, tanpa mengu¬lurkan tangannya.

Aku mengangguk. Padahal, sebenarnya, aku membeli oleh-oleh itu untuk Oh Yeon Yi, tunanganku.

”Cha Bong Gun, terima kasih. Kau baik sekali. Tapi, ini terlalu banyak.”

”Kau bisa berbagi dengan teman kosmu, ’kan?

Hae Bin mengangguk, lalu menerimanya. ”Kau hati-hati, ya.”

Aku mengangguk. Sebenarnya, aku ingin sekali memeluknya untuk meminta maaf atas sedikit waktu yang aku sediakan untuknya. ”Jangan tidur terlalu malam, ya.”

Hae Bin tersenyum, lalu mundur sedikit untuk menjaga jarak dengan mobilku. Ia melambaikan tangan dan aku meninggalkannya.

Yeon Yi sudah menungguku. Cantik. Nyaris sempurna. Aku menciumnya sekilas, lalu mengeluarkan kotak kue yang aku beli setelah mengantar Hae Bin. Selalu seperti itu. Oleh-oleh yang aku siapkan untuk Yeon Yi, selalu saja akhirnya aku berikan pada Hae Bin.

”Papa sudah menunggu untuk membicarakan soal gedung.”

”Ya. Maaf, terlambat. Banyak pekerjaan.”

”Tidak apa-apa.”

Yeon Yi menggandengku masuk ke rumah mewahnya. Tapi, tiba-tiba saja bayangan wajah Hae Bin membuat perutku seperti kram. Tempat kos biasa dengan kamar-kamar kecil dan penghuninya yang sederhana. Alangkah bedanya.

Satu jam ke depan, aku hanya bisa melihat Yeon Yi begitu semangat membicarakan tentang pernikahanku dengannya. Lima bulan yang lalu, aku juga sesemangat itu. Tapi, pertemuanku dengan Hae Bin sudah membawaku pada kekeliruan yang aku ciptakan sendiri.

”Kau buta atau bodoh, sih?” Gadis itu berkacak pinggang di depan mobilku, setelah bangun dari depan kap mobilku. Aku baru saja menabraknya. ”Kalau mau balapan, jangan di jalan raya, dong!”

”Maaf, saya buru-buru dan....”

“Kau bodoh sekali. Kau tahu lampu merah untuk apa?”

“Nona, saya sudah bilang, saya....”

”Kau menabrakku!” Gadis itu makin keras berteriak dan orang-orang mulai berdatangan menonton, tanpa ada yang menolong.

”Saya minta maaf. Saya akan bawa Nona ke rumah sakit dan....”

”Kau pikir, dengan begitu aku... astaga....” Gadis itu memegang pelipisnya. Darah menempel di jari-jarinya dan mulai mengalir di pipinya. ”Minggir!”

Aku ikut panik, tapi lebih panik melihat kemarahannya. Seperti orang bingung, aku membiarkan gadis itu masuk dan duduk di belakang setir. ”Cepat masuk!”

Aku betul-betul terkesiap. Lalu, aku mengambil tasnya dan memasukkan isinya yang jatuh berantakan, duduk di sebelahnya.

”Nona, tenang, biar.....”

”Diam! Aku tidak mau mati di jalanan.” Gadis ini dengan sigap melarikan mobilku, kencang sekali, sambil berteriak, ”Pasang sabuk pengamanmu!”

”Nona, minggir, biar saya yang bawa, dan....”

“Diam! Kau akan lebih repot kalau aku mati di mobilmu.” Gadis ini membentakku dan terus memakiku sepanjang jalan, sambil tak henti-hentinya menyalip kiri-kanan dengan menyembunyikan klakson. Tidak sampai lima menit, gadis ini membawa mobilku ke sebuah rumah sakit yang seharusnya ditempuh dalam waktu lebih dari 15 menit. Dia turun dan berlari sendiri ke ruang UGD rumah sakit, sambil mengeluarkan kartu kreditnya.

”Kau memang gila. Namaku Kang Hae Bin. Siapa tahu diperlukan, kalau aku sampai mati di sini. Aduh, kepalaku sakit sekali,” gadis itu memberikan kartunya padaku, meraba kepalanya. Darah begitu banyak di tangannya. Ia berteriak, ”Kepalaku...!” Dan, dia pingsan.

”Saya betul-betul minta maaf.” Aku duduk di ruang perawatan setelah gadis bernama Kang Hae Bin ini siuman. Hae Bin memandangku, tidak ada lagi kemarahan di matanya. Dan, aku tersihir dari cara dia memandangku. Matanya teduh sekali.

”Aku... saya....” Aku tergagap, saat matanya menatapku bingung.

”Sudah berapa lama aku di sini?” Hae Bin memandang sekitarnya.

”Semalam.” Aku memberikan air putih.

Gadis itu duduk perlahan.

”Astaga, aku bisa dipecat kalau hari ini tidak masuk.”

”Ini sudah pukul sembilan pagi. Aku sudah menelepon kantormu.” Untung ada ID card perusahaan tempatnya bekerja. Karena, di dompetnya hanya ada KTP dan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.

”Ruang perawatan kelas berapa ini?” Hae Bin menatapku lagi.

”Kelas utama.” Aku memberikan teh manis hangat.

”Kau gila.” Hae Bin membaringkan kepalanya perlahan di bantal yang diaturnya tinggi. ”Kau pikir, perusahaanku mau membayar ini. Jatahku hanya di kelas dua.”

”Saya yang akan membayar.” Aku memandang gadis itu. ”Sungguh, saya tidak bermaksud sombong atau apa. Anggap saja ini permintaan maaf saya atas kejadian kemarin.”

”Aku harus pulang sekarang.”

”Dokter akan melakukan scan kepala. Kau harus tetap di sini dulu.” Aku menyentuh lengannya untuk menenangkannya.

”Kau mampu membayar semua perawatanku?” Hae Bin memandangku lugu.

“Maksimal sepuluh hari ke depan, aku masih mampu.”

”Terima kasih untuk semuanya.” Hae Bin mengangkat punggung telapaknya. Jarum infus itu membuatnya sedikit kesakitan. ”Aku benci sekali dengan infus,” Hae Bin menggumam, lalu tersenyum lucu, sambil melihat pakaiannya. ”Perawat yang memandikan aku, ’kan?”

”Ya. Aku minta kau dimandikan tadi pagi dan diganti semua pakaianmu, termasuk pakaian dalammu.” Aku merasa lebih relaks melihat senyumnya.

”Siapa yang membelikan pakaian dalamku?”

”Aku.”

”Aduh! Kau tahu artinya jika pria tak dikenal membelikan pakai¬an dalam. Itu pertanda sial jodoh,” Hae Bin mengumpat pelan. ”Aku mau gosok gigi.”

”Akan kubantu,” aku memapahnya ke kamar mandi, menyiapkan sikat dan pasta gigi, membantunya menyikat giginya.

Aku membantunya berbaring. Hae Bin meraba kepala dan pelipisnya. ”Siapa yang memotong rambutku?”

”Perawat. Untuk memudahkan mengobati kepalamu. Ada beberapa jahitan di atas pelipismu. Jadi....”

“Kau utang banyak sekali padaku,” Hae Bin menggumam.

”Aku tahu. Kalau ada keluargamu, aku bisa memberi....”

”Tidak perlu,” Hae Bin menyahut cepat. ”Aku hanya ingin keluar dari rumah sakit.”

”Aku akan bicara dengan dokter. Kalau-kalau kau boleh berobat jalan.”

”Terima kasih,” Hae Bin menatapku agak ragu. ”Kau terus di sini sejak kemarin?”

”Ya.” Aku melihat pakaianku. Lusuh dan tidak wangi.

”Sebaiknya kau pulang saja,” Hae Bin mengernyitkan dahi. ”Di mana tasku?”

Aku mengambil tasnya dari dalam lemari.

”Boleh tolong ambilkan ponselku?”

”Mati. Pecah. Maaf. Akan kuganti nanti.”

”Yang sama persis. Itu hadiah dari mantan kekasihku.” Hae Bin tertawa kecil, lalu meringis, merasakan sakit di pelipisnya. Aku ikut tertawa. Entah kenapa, aku malah berniat membelikan ponsel yang jauh lebih bagus lagi.

”Kau bisa pakai telepon ruangan ini,” aku menunjuk meja kecil di pojok.

“Ya. Aku akan menelepon kantor. Sebaiknya kau pulang. Aku bisa minta temanku menunggui aku di sini.”

”Kau tidak apa-apa kalau aku tinggal sebentar?” aku ragu, enggan sekali meninggalkannya sendiri.

”Tentu saja. Tolong beri tahu dokter, aku ingin secepatnya keluar dari sini.”

”Oke. Tapi, sebaiknya aku bantu kau sarapan dulu.”

”Terima kasih. Aku memang lapar.” Mata gadis ini jujur sekali.

Dan, lima hari berikutnya, aku dengan setia menemaninya, setiap pulang kerja sampai pagi. Tak ada keluarga, teman kos, atau teman kantornya yang ikut menjaga. Mereka memang sering datang menengok, tapi tidak menginap. Itu membuatku bisa merawatnya, menyuapinya, membersihkan lukanya, membantunya menggosok gigi setiap pagi dan malam, membetulkan selimutnya saat dia terlelap tidur. Aku senang melakukannya sendiri. Hae Bin adalah pasien yang manis, tidak rewel, dan sangat tenang. Hae Bin tidak pernah mengeluh dan aku mulai jatuh cinta padanya....

Sepulang Hae Bin dari rumah sakit, aku seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun. Berminggu-minggu selanjutnya, aku begitu rajin menengoknya, mengantar dan menjemputnya dari kantor. Kami mulai saling membagi segala sesuatu, termasuk hati kami.

Dia sangat baik. Saat aku memberi tahu bahwa aku sudah bertunangan, Hae Bin dengan halus meminta maaf padaku, karena dia telah berharap banyak untuk bisa bersamaku. Dan, aku tidak bisa meninggalkannya, sekalipun sudah aku coba puluhan kali. Gadis ini menyayangi aku dengan caranya sendiri. Ketulusannya membuatku rapuh.

”Sayang, bangun!” Aku tergeragap. Yeon Yi mengguncang pundakku keras. ”Kau kelihatannya capek sekali.”

”Aku banyak lembur, proyek di KangSan Town membuatku kurang tidur.” Aku meneguk air yang disodorkan Yeon Yi.

”Tapi, hari ini kau janji mau mengajakku nonton, ’kan?

”Ya. Pasti.” Aku menegakkan dudukku. ”Papamu mana?”

”Kau ketiduran. Kata Papa, pestanya dibicarakan besok saja.”

Aku memejamkan mata sekilas. Besok aku janji mengantar Hae Bin ke Huang Dong Town. ”Ayo, berangkat. Nanti terlalu malam.”

”Kan kita memang mau nonton yang midnight.” Yeon Yi memandangku bingung. ”Kau kenapa, sih?”

”Sorry, orang ketiduran kan nyawanya susah dikumpulkan.”

Hae Bin akan tertawa terbahak-bahak kalau aku melucu. Tapi, Yeon Yi menanggapi dengan senyum kesal.

”Ya, sudah. Kita cari makan dulu.”

Aku memeluk bahunya. Tidak seperti dulu. Aku dulu menggenggam jarinya.

Aku menyetir perlahan. Yeon Yi mulai mencari-cari gelombang radio dan bernyanyi kecil. Pikiranku melayang. Hae Bin selalu duduk manis dan mengobrol, sambil bercanda.

Esok paginya, Hae Bin menanggapi telepon permohonan maafku dengan diam sejenak, lalu tertawa kecil. ”Tidak apa-apa. Aku juga diajak memancing oleh teman-teman. Ke Huang Dong Town-nya besok saja. Cuma mencari tas pesanan kakakku, kok.”

”Bagaimana kalau nanti malam kita cari di mal dekat sini?”

”Kakakku minta ganti tas yang sama persis dengan yang aku rusakkan. Dulu belinya di Huang Dong Town. Harus sama persis. Tapi, tidak harus buru-buru, kok.”

”Kalau begitu, nanti sore aku secepatnya ke tempatmu. Kalau tidak keburu, Sabtu atau Minggu besok, ya?”

”Oke.” Hae Bin menutup ponselnya. berniat menyelesaikan urusanku secepatnya dan akan mengajak Hae Bin keluar, sekadar makan malam.

Setengah jam kemudian, aku duduk mendengarkan wedding planner yang mengoceh dengan semangat. Sementara mata orang-orang di sekitarnya, kedua calon mertuaku, calon istriku, dan calon pengiring pengantinku, berbinar-binar.

Ternyata, semua meleset dari dugaanku. Urusan ini menyita waktuku lebih dari seharian. Pukul sembilan malam, aku baru terbebas dari semuanya. Aku menghubungi ponsel Hae Bin. Tidak aktif. Kutelepon tempat kosnya. Temannya menjawab, Hae Bin ke Huang Dong Town bersama teman-temannya dan belum pulang.

Aku putuskan untuk pulang, masuk ke apartemenku dan merebahkan diri di sofa. Hae Bin tidak pernah tergantung padaku. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri, sekalipun aku sudah berjanji akan membantunya. Hae Bin juga tidak pernah menuntut janji, bahkan dengan manis akan mencoba membuatku merasa tidak bersalah. Hal-hal kecil yang makin membuatku jatuh hati padanya.

Waktu seperti mengejar dan menuntutku. Mau tidak mau, aku harus melepas Hae Bin. Aku kasihan terhadapnya, kalaupun aku harus mengeraskan hati mempertahankan Hae Bin. Ketulusannya padaku, meluluhlantakkan diriku yang dikenal sebagai penakluk wanita.

Hae Bin bukan wanita pertama yang menjadi selingkuhanku, selama aku menjalin hubungan dengan Yeon Yi. Aku seorang sarjana teknik, bekerja di lapangan sebagai perancang proyek bangunan besar. Seks menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Perselingkuhanku dengan wanita-wanita itu hanya demi seks. Bukan cinta.

Uang bukan masalah besar bagiku. Gaji sebulanku tidak habis dalam tiga bulan, di luar lembur dan bonus lain. Kadang-kadang aku tergoda memancing Hae Bin untuk berbuat iseng, seperti yang aku lakukan bersama dengan wanita-wanita sebelumnya. Tapi, tatapan matanya, ketulusan dan pengertiannya, membuat aku lunglai. Mata Hae Bin penuh dengan cinta, atau lebih tepatnya penuh kasih sayang. Aku sungguh menyayangi gadis ini dan tidak ingin menyentuhnya....

”Hai,” Hae Bin menyapaku ramah, sambil duduk di sampingku. Aku menjemputnya di kampus, tempatnya mengambil kuliah malam.

”Hai,” aku mencium pipinya, mengacak rambutnya, dan menjalankan mobil perlahan. ”Bagaimana kuliahmu?”

”Ada dosen yang memintaku mengulang ujian.”

”Kenapa begitu?”

”Aku membuatnya kecewa dengan nilai C.” Hae Bin tertawa. ”Aku lapar sekali. Sejak siang belum sempat makan.”

”Kau mau makan apa?”

Aku selalu ingin memanjakannya. Terkadang aku mengira, aku hanya kasihan melihat keadaan Hae Bin yang kelihatannya miskin. Bekerja dan kuliah, kadang-kadang masih saja dia mengajar les privat anak-anak sekolah. Tapi, sekarang aku tahu, aku kagum, bukan kasihan. Sekalipun keadaannya seperti orang yang kekurangan uang, belum pernah sekali pun aku mendengar Hae Bin mengeluh soal uang. Bahkan, dengan senang hati memberikan uangnya untuk para pengemis di setiap lampu merah. Hae Bin mempunyai kebaikan hati yang alami.

”Kau kurus sekali,” Hae Bin memandangku dengan sayang.

”Terlalu banyak memikirkanmu,” aku bercanda, sambil meraih kepalanya dan mengecupnya. ”Ayo, kita cari makan. Biar aku gemuk lagi.”

Hae Bin tertawa kecil. ”Aku ingin makan ayam fast food.”

”Aku juga ingin.” Aku tersenyum, membelokkan mobil ke arah PilSung Avenue. Yeon Yi tidak pernah mau makanan tidak sehat seperti itu. Tapi, Hae Bin begitu suka menikmati ayam crispy. Hae Bin membuatku ikut bersedia berdiri mengantre untuk mendapatkan makanan ini.

”Kau baik sekali,” Hae Bin selalu mengatakan kalimat itu, setiap kukabulkan permintaannya. Aku memang selalu mengabulkannya.

”Kau juga,” kugenggam jarinya. Tak sehalus tangan Yeon Yi.

”Enak?” Aku tertawa melihatnya menyesap tulang ayam.

”Enak sekali. Ini makanan yang cukup mewah untuk kantong mahasiswa yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Kau tidak suka, ya?”

Aku suka melihat caranya makan. Sejak pertama aku mengajaknya makan, sampai sekarang, caranya tetap sama: menikmati tanpa dibuat-buat.

”Aku suka, kok. Enak sekali.” Aku berusaha memberi kesan bahwa makanan ini sangat enak. Dan memang enak, meski kurang sehat.

”Ini untukmu,” seperti biasa, Hae Bin memberikan dagingnya untukku, setelah mengupas kulit dan melolosi tulang-tulangnya. Gadis yang unik sekali. Aku melakukan hal yang sama dan memberikan kulit bertepung garing pada Hae Bin.

”Aku mau pulang besok.”

Aku terbatuk. Hae Bin cepat memberikan minum untukku.

”Untuk apa? Kau mau dinikahkan, ya?”

”Ngacor! Kau, tuh, yang.... Maaf.” Hae Bin terdiam sejenak. ”Ma-ma masuk rumah sakit.”

”Sakit apa?”

”Biasalah. Mama kan sering sulit menjaga makan. Darah tinggi, asam urat, entah apa lagi. Mamaku bandel banget.”

Aku memandang Hae Bin. Gadis ini sungguh manis. Dia tidak pernah menarik perhatianku dengan hal-hal yang mempriha¬tinkan. Biasanya, para gadis akan memanfaatkan kesusahannya untuk lebih menarik simpati pasangannya.

”Perlu aku antar?”

”Tidak usah. Aku biasa pulang sendiri, kok.”

”Berapa hari kau di sana?” Aku merasa sudah ditinggalkan.

”Mungkin tiga atau empat hari. Aku cuti lima hari.” Kebetul¬an tidak ada ujian.

”Kau janji akan hati-hati.” Aku mengusap pipinya.

”Ya.” Hae Bin mengambil tanganku, menggenggam erat, ”Kau juga, ya. Jangan tidur malam terus. Kau sudah terlalu kurus.”

”Aku janji.” Aku ingin sekali memeluknya dan memberikan apa saja untuk menebus rasa bersalahku, karena selalu membiarkan dia mengurus masalahnya sendiri.

”Kita pulang, yuk.” Hae Bin mengajakku berdiri. Aku mengangguk dan menggandengnya keluar. Kami masuk mobil dengan diam.

”Bong Gun, aku....”

”Ssst... aku tidak pisah darimu, Hae Bin.” Aku memeluknya dengan sepenuh jiwaku. ”Aku sayang sekali padamu.”

”Aku lelah, Bong Gun. Antar aku pulang, ya.”

“Tidak mau nonton dulu?” Aku tidak ingin berpisah begitu cepat.

“Aku capek sekali. Pekerjaan kantorku banyak sekali hari ini.”

“Ya, sudah. Kau naik kereta pukul berapa?”

“Enam pagi.” Pukul lima besok, aku harus mengantar Yeon Yi ke bandara.

“Kau bisa sendiri?” Aku menatapnya dengan permohonan maaf.

“Tentu saja.” Hae Bin tertawa, lalu mengangkat bahu. “Ayo.”

Kalau saja aku bisa mempunyai waktu berdua dengan Hae Bin lebih banyak lagi, memanjakannya lebih lama lagi.

“Terima kasih, ya, makan malamnya.”

Hae Bin berdiri di samping pintu mobil. Tubuhnya yang tinggi sedikit dibungkukkan untuk dapat berbicara denganku. Rambut panjangnya terterpa angin malam, menebarkan wangi samponya.

“Ya,” aku menjawabnya, sambil memegang tangannya. “Aku punya sesuatu untukmu.”

“Apa lagi?” Hae Bin tertawa.

Kukeluarkan kotak kecil dari sakuku, yang sedianya akan aku beri secara pribadi dan romantis. Tapi, toh, Hae Bin bukan gadis yang menganggap keromantisan sebagai hal penting. Dia selalu bersikap sewajarnya dan biasa saja untuk hal-hal yang bahkan menyanjungnya.

“Ini apa?”

Aku mengeluarkan kotak kecil yang sangat bagus.

“Nanti saja kau buka sendiri,” kujawab sambil tersenyum.

“Terima kasih, kau baik sekali.”

Astaga... kalimat itu selalu membuatku makin sayang padanya. Matanya memperlihatkan ketulusan ucapannya, bukan kerakusan.

“Besok hati-hati, ya.” Aku melepas tangannya.

Hae Bin seperti biasa mundur dan melambaikan tangannya. Jam tangan Cyworld seharga satu kali gajiku yang urung aku berikan pada Yeon Yi, karena ternyata dia memakai jam tangan yang harganya dua kali lipat mahalnya dari yang aku beli, akhirnya untuk Hae Bin juga.

Menunggu Hae Bin selama lima hari membuatku merasa sudah berbulan-bulan tidak bertemu Hae Bin. Berpuluh SMS aku kirim setiap hari, dan Hae Bin membalas seperlunya. Tapi, aku tidak peduli, aku memang ingin terus mengiriminya kabar.

“Sayang, jangan lupa, besok kita mengepas pakaian, ya?” Yeon Yi mengultimatum.

Mati aku. Aku sudah janji akan menjemput Hae Bin di stasiun besok.

“Jam berapa, sih?” Aku memang lupa. Bahkan, kalau Yeon Yi tidak meneleponku, aku juga akan lupa menjemputnya.

“Tuh, kan selalu lupa. Besok pukul lima, sepulang aku dari kantor. Kita ketemu di bridal saja, ya,” Yeon Yi memandangku manja.

“Oke.”

“Ya, sudah, ayo jalan. Kok, bengong?”

“Kita mau ke mana?” Aku memang linglung.

“Ya, ampun, Sayang... kita mau ambil undangan pernikahan kita!” Suara Yeon Yi meninggi. “Setelah itu, kita jemput mami-papimu di bandara. Lupa juga?”

“Sorry,” aku menggumam pelan. Aku memang lupa semuanya. Tiga hari tidak bertemu Hae Bin membuatku benar-benar senewen. Aku menarik napas dalam dan menjalankan mobil cepat.

“Sayang, arah bridal ke kiri, bukan ke kanan!” Yeon Yi sedikit menyentak kesal.

“Sayang, aku mau ke apotek depan sebentar. Kepalaku sakit, mau flu kayaknya.” Aku beralasan cepat. Aku tidak pernah berbohong pada Hae Bin.

“Bilang, dong!” Yeon Yi menyahut kesal dan tangannya mulai mencari-cari gelombang radio kesayangannya.

“Berapa kau cetak undangannya?” aku bertanya.

“Enam ratus,” Yeon Yi menjawab semangat.

Berarti kemungkinan satu juta orang lebih yang akan hadir.

“Kau sudah menyiapkan daftar semua undangan kita?”

“Sudah, dong!”

“Tidak ada yang terlupa seorang pun?” Aku heran, sebegitu banyak nama, bisa tidak ada yang lupa.

“Tentu saja tidak! Termasuk Kang Hae Bin!”

Aku tersentak kaget, mengerem mobilku mendadak. Aku tahu betapa pucatnya wajahku.

“Kau kaget?” Yeon Yi dengan tenang memandangku.

“Dia....”

“Hanya teman?” Yeon Yi tersenyum menakutkan. “Bong Gun, Hae Bin tidak berarti apa pun untukku. Wanita itu tidak akan mempengaruhi pernikahan kita sedikit pun. Aku sama sekali tidak cemburu, apalagi sakit hati.”

Dari mana kau tahu Hae Bin?” Aku menahan napasku.

“Tidak penting dari mana aku tahu, ‘kan? Aku sudah bilang, Hae Bin tidak berarti apa-apa pada hubungan kita. Dia cuma wanita murahan yang biasa kau ajak tidur, ‘kan?”

Kata-kata Yeon Yi membuatku menahan gemeretak gigiku. Tenggorokanku tersekat. Aku menjalankan mobil perlahan dan diam. Bukan karena rasa bersalah pada Yeon Yi, tapi justru karena kemarahanku. Hae Bin tak pernah tidur denganku, dan Hae Bin tidak murahan....

***

Malam ini, aku menjemput Hae Bin di kampusnya. Aku menatap Hae Bin dengan beribu rasa. Gadis ini memandangku kasihan, atau aku sendiri yang terlihat kasihan, atau aku bahkan tidak tahu siapa yang seharusnya dikasihani.

“Tidak apa-apa kau menikah.” Hae Bin mengambil tanganku. “Toh, sewaktu aku mengenalmu, kau sudah bertunangan.”

Aku tidak sanggup untuk bicara. Memandangnya saja aku tak sanggup. Dia mengetahui semua isi hatiku, sebelum aku ucapkan.

“Aku juga sayang sekali padamu, Bong Gun.” Hae Bin jarang sekali meng-ucapkan kalimat ini. Aku tahu dia tidak berbohong. “Kau bisa pergi dariku kapan saja kau mau. Kau bisa datang padaku kapan saja kau mau.”

“Kau tidak akan pergi dariku?”

Aku menatap matanya, terperanjat dengan jawabannya. Gadis ini selalu menganggap diriku sangat istimewa.

Mata bening Hae Bin menatapku, tanpa air mata. “Apa kau lihat aku bisa meninggalkanmu?”

“Yeon Yi akan terus menyakitimu, kalau kau tidak pergi dariku.”

“Bong Gun, kalau aku pergi darimu, bukan karena aku tidak mampu menanggung penghinaan Yeon Yi. Tapi, karena aku tidak tahan merasakan kau disakiti Yeon Yi.”

“Hae Bin, bisakah kita....”

“Aku mau pulang, Bong Gun.”

Hae Bin berdiri terhuyung. Aku merangkulnya dan keluar dari rumah makan yang cukup tertutup. Yeon Yi pasti membuntutiku. Atau menyuruh orang mengikutiku, ke mana pun aku pergi.

“Maafkan aku, Hae Bin,” aku berbisik halus.

Hae Bin hanya menggangguk.

Aku hampir tidak kuat merasakan sakitnya hati Hae Bin. Yeon Yi mendatangi Hae Bin minggu kemarin dan berbicara keras di tempat kosnya. Hae Bin tidak pernah mengadu padaku. Tapi, aku tahu, itu akan dilakukan Yeon Yi, seperti ancaman sebelumnya, saat aku menjelaskan Hae Bin tidak bersalah. Sepanjang jalan, Hae Bin memeluk lenganku, seakan takut sekali kehilangan diriku. Aku sudah membawa gadis ini pada suatu keadaan yang sungguh menyakitkan. Seperti simalakama bagiku, baginya....

“Kau mau pulang ke tempatku, Hae Bin?” aku berbisik pelan.

“Aku tidak tahu, Bong Gun. Aku takut sekali.”

Untuk pertama kalinya aku melihat Hae Bin meneteskan air mata, membasahi lengan kiriku. Suara Hae Bin sungguh mengiris hatiku.

“Aku mencintai dirimu, Bong Gun. Aku tidak bisa berpa¬ling.”

Pagi ini, kudapati Hae Bin tertidur di pelukanku, tanpa pakaian....

Dan pagi berikutnya, Hae Bin menghilang....


Lima tahun kemudian….
“Kau mau pulang, Hae Bin?” Han Ji Eun memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, sambil memandang Hae Bin dengan khawatir. “Kau sakit, ya?”

“Tidak, hanya kurang tidur,” Hae Bin menjawab malas. “Mau pergi ke mana?”

“Pulang. Aku capek banget,” Ji Eun melambaikan tangannya.

Hae Bin membalas tanpa menoleh.

“Kau mau pulang, Hae Bin?” tiba-tiba Jang Seong Woo sudah berdiri di depannya. “Bareng?”

“Aku mau ke....”

“Aku antar,” Seong Woo memotong cepat. “Kau tidak bawa mobil, ‘kan?”

“Iya. Tapi, aku ditunggu Ji Eun di bawah.”

“Ya. Sudah.” Seong Woo mundur. “Hati-hati, ya.”

“Terima kasih.”

Hae Bin menarik napas, memerhatikan punggung jangkung Seong Woo meninggalkannya. Dia begitu baik padaku. Tapi, aku mencintai Bong Gun.

Hae Bin masuk mobil Ji Eun dan memasang sabuk pengaman. “Antarkan aku ke toko buku terdekat, ya.”

“Okay, bos.”

Ji Eun melambaikan tangan pada Seong Woo yang berdiri di lobi kantor, sepertinya ingin memastikan bahwa Hae Bin tidak berbohong.

“Sebaiknya aku pulang saja. Kepalaku pusing sekali.”

Hae Bin membelokkan rencananya.

“Kurasa Seong Woo orang yang cukup layak untukmu,” Ji Eun berkomentar, sambil memutar arah menuju apartemen Hae Bin. “Tampan, cerdas, dan kaya.”

“No comment,” Hae Bin menjawab sambil menurunkan sandaran. “Bangunkan aku, kalau sudah sampai rumahku.”

“Kau yang nebeng, kok, jadi aku yang repot? Ha...ha...ha.... Masih memikirkan pria rahasia itu?”

“Jangan memulai.” Hae Bin menutup wajahnya dengan saputangan.

“Ia makin sukses.” Ji Eun mengambil surat kabar di dashboard. “Dia menguasai semua proyek raksasa di Seoul. Lihat ini.”

Hae Bin melihat ke koran yang belum sempat dibacanya. Gambar Bong Gun sedang bersalaman dengan salah satu menteri, sambil memamerkan senyumnya yang khas.

“Ia tahu betul harus menikahi siapa. Mertuanya membawanya menjadi kontraktor paling hebat di negeri ini.”

Hae Bin membaca beritanya sekilas dan melipatnya lagi.

“Aku heran, bagaimana kau bisa menjadi simpanannya?”

“Gila kau. Aku bukan simpanan.”

Hae Bin mengambil ponselnya yang bergetar lalu mematikannya. ”Seong Woo.”

“Kurasa, dia jatuh cinta padamu. Kenapa kau tidak berpacaran saja dengan Seong Woo?”

“Karena, aku memang tidak ingin berpacaran.”

“Atau, karena pria rahasiamu itu? Kau yakin akan menunggunya sampai tua? Itu pun kalau dia masih ingat padamu....”

“Kau lapar?” Hae Bin memutuskan pembicaraan.

Ji Eun tertawa keras. “Ada restoran Prancis yang baru buka dekat tempatmu. Mau coba?”

“Sure,” Hae Bin menjawab sambil mengambil dompetnya. “Kau yang bayar, ‘kan?”

Ji Eun tertawa lagi, membelokkan mobilnya, masuk parkir gedung berlantai tiga puluh dua itu.

Hae Bin duduk sambil membaca memo, menunggu Ji Eun keluar toilet. Kebiasaan Ji Eun setiap naik lift lebih dari sepuluh lantai.

“Bu Hae Bin?” seseorang dengan seragam safari berdiri di depannya.

Hae Bin berdiri memandangnya, bingung. “Ya?”

“Bisa saya bicara sebentar?”

“Tidak,” Hae Bin memutuskan cepat. Otaknya terus mengingat kapan dan di mana dia bertemu dengan pria ini. Tapi, rasanya memang seperti kenal.

“Maaf, Bu. Saya....”

“Maaf. Saya harus pergi.”

Hae Bin masuk ke toilet. Hae Bin melihat pria itu masih berdiri memandangnya, saat dia dan Ji Eun keluar toilet, bahkan sampai masuk ke dalam restoran.

“Kau kenapa?”

“Kupikir, ada yang mengikutiku.” Hae Bin menarik buku menu.

“Wajar. Kau simpanan orang hebat di negeri ini.”

“Otakmu itu selalu ngeres. Aku sudah bilang, setelah Bong Gun menikah, aku tidak pernah bertemu dia lagi.”

“Ya. Tapi, kau terus mengurung hatimu untuk Bong Gun, ‘kan? Seperti katak dalam tempurung saja.”

“Menyebalkan sekali bicara denganmu.”

Hae Bin menuliskan menunya.

“Ini, tentang Bong Gun lagi.”

Ji Eun mengeluarkan sebuah tabloid bisnis. Hae Bin menariknya dan membacanya sekilas seperti biasa. Gambar Bong Gun memeluk Yeon Yi dan menggandeng anaknya, terlihat layaknya sebuah keluarga yang bahagia. ‘Profil keluarga Sukses.’ Hae Bin membaca dalam hati, sambil tersenyum kecil.

“Bong Gun tidak bahagia.” kata Ji Eun. “Nanti kujilid lagi.”

“Dari mana kau tahu?” Hae Bin terperanjat mendengarnya.

“Matanya. Pria tidak bisa menyimpan matanya. Sikapnya juga kaku.”

“Sok tahu. Bong Gun memang selalu bersikap kaku. Sebaiknya kita makan sajalah.”

“Itu pria yang membuntutimu?”

Ji Eun melirik ke arah pojok. Hae Bin meliriknya dan hampir tersedak.

“Ya.”

“Kau lihat ini?” Ji Eun membuka korannya, menunjuk orang di belakang gambar Bong Gun. “Mirip, ‘kan? Pasti salah satu pengawalnya.”

“Astaga....”

“Berarti, ada dua kemungkinan: Bong Gun masih mencarimu, atau Yeon Yi yang mencarimu.”

“Semoga tidak dua-duanya,” Hae Bin berkata sungguh-sungguh.

“Atau pengawalnya yang jatuh cinta denganmu?” Ji Eun tertawa. “Lagi pula, untuk apa dia membuntutimu, kalau bukan karena suruhan majikannya.”

“Cepat makan dan kita pulang. Kepalaku sakit.”

“Kepalamu atau hatimu?” Ji Eun ikut berdiri.

“Dua-duanya.” Hae Bin menertawakan dirinya sendiri.

Hae Bin membuka apartemen kecilnya dan menyalakan AC ruangan. Telepon rumahnya terus berdering, tapi dia memang malas mengangkatnya. Bahkan, saat beralih ke ponsel, Hae Bin juga tidak mengangkatnya. Penelepon tanpa identitas.

Hae Bin membuka map hitamnya, memeriksa semua potongan berita tentang Bong Gun lima tahun terakhir, kesuksesan sebagai kontraktor nomor sekian di Seoul. Minimal setiap minggu, wajahnya muncul di majalah, koran, tabloid, atau bahkan di televisi. Yeon Yi telah menjadikannya sangat sukses, dan aku telah menjadikan dirinya hanya sebagai orang yang mencintai diriku....

Hae Bin menyalakan televisi. Seperti biasa, kilasan berita kecelakaan dan kematian mewarnai televisi. Lama-kelamaan, Hae Bin terlelap juga.

***

“Kau harus baca ini,” bisik Ji Eun, sambil menaruh koran pagi di meja kerjanya, lalu keluar ruangan Hae Bin.

Hae Bin tidak perlu membuka halaman bisnis. Judul di halaman pertama membuat jantungnya hampir berhenti. Mertua Bong Gun ditangkap polisi terkait dugaan kasus....

“Kau seperti habis dipaksa minum obat.”

Son Jae Kyung, yang sedang membahas pekerjaan dengannya, tertawa sambil menarik korannya. “Pria tua ini pantas dihukum mati.”

“Kau dendam sekali?”

“Kau tidak menonton TV, ya?” Jae Kyung memandangnya dengan wajah kesal. “Kontraktor ini yang membuat gedung parkiran itu runtuh dan menewaskan seratus orang lebih. Kau tahu, menantu kesayangannya yang membangun gedung itu.”

“Tidak mungkin.”

“Baca saja beritanya,” Jae Kyung menunjuk isi koran. “Biar tahu rasa menantunya itu. Aku sudah merasa bahwa menantunya itu, yang selalu disanjung-sanjung pemerintah, ternyata tukang korupsi juga.”

“Kenap, kau yang sewot?” Hae Bin tertawa kecil. “Kita kembali ke pekerjaan....”

“Oke.” Jae Kyung membuka laptopnya. “Minggu ini kau punya jadwal ke EulBok Town, KangSan Town, dan Huang Dong Town.”

“EulBok Town?” Hae Bin tertawa. “Apa mereka juga suka mendengarkan musik?”

“Aku atau kau, sih, bosnya?” Jae Kyung menghentikan tawa Hae Bin.

“Okay.” Hae Bin melipat korannya. “Lalu?”

“Di KangSan ada penyelenggara lokal. Kau hanya perlu memastikan semuanya sudah beres. Yang terpenting adalah izin kepolisian dan penginapan untuk crew pemusik.”

“Sponsor?”

“Ya, termasuk ini.” Jae Kyung memberikan daftar sponsor. “Jangan lupa kau temui pejabat setempat. Selebihnya, dari dua hari kau di sana, biaya ditanggung sendiri.”

“Big boss mulai bangkrut, ya?”

“Bagaimana tidak bangkrut? Dia kan menanggung hidup dua wanita pemboros: istrinya dan Ji Eun simpanannya itu.” Jae Kyung memukulkan map di kepala Hae Bin. “Kau pura-pura tidak tahu! Kau kan teman baiknya.”

“Kau cemburu?” kata Hae Bin, sebelum Jae Kyung menutup pintu kaca ruangannya dengan keras.

***

Hae Bin menyalakan televisi yang tidak henti-hentinya menyiarkan kecelakaan gedung dan penangkapan Ahn Jae Wook, terkait kasus itu. Nama Bong Gun juga disebut-sebut sebagai rekanan, yang membuat gedung itu lemah bangunan.

“Taruhan, tidak sampai dua minggu, dia akan lolos dari tahan¬an dan kasus ditutup. Lihat saja.”

Seong Woo sudah duduk di depannya mengomentari berita.

Hae Bin tidak menanggapi dan memberikan file untuk ditandatangani. “Kata Jae Kyung, kau ke Jepang bulan depan?”

“Kau ikut, ya?” Seong Woo menatapnya dengan harapan.

“Ingin, sih, tapi....”

“Aku akan bilang pada Lee Mong Ryong untuk menugaskan kmu juga. Atau, aku belikan tiket.”

“Menyenangkan.” Hae Bin tersenyum. “Tapi, tidak. Terima kasih.”

“Bagaimana aku bisa mencapai pintu hatimu?” Seong Woo berdiri dan membawa mapnya pergi.

Hae Bin menatapnya.

“Hae Bin,” kepala Seong Woo menyembul lagi di pintu, “Mau makan siang bareng?”

“Ya. Aku mau.” Hae Bin tersenyum dan kepala Seong Woo menghilang.

Hae Bin mengembuskan napasnya keras-keras dan mulai menelepon.

***

Pulang kerja, Hae Bin mampir di swalayan dan pulang sudah larut. Ia merasakan malam ini panas sekali. Dia bangun untuk memastikan AC tidak mati, lalu duduk di dapur kecil, sambil membuka koran sore yang dibelikan Ji Eun untuknya. Wajah-wajah Bong Gun mulai bermunculan setiap hari, setelah berita kasus Ahn Jae Wook, mertuanya, makin ramai. Dia mengambil botol mineral dari kulkas dan beranjak ke ruang tamu, duduk di sofa, sambil meneguk air es.

Hae Bin terlonjak, saat terdengar bel pintu dan lampu berkedip di atas pintu apartemennya. Hae Bin mengintip dari kaca lup, seorang pria bersafari berdiri seperti terburu-buru. Pria yang menyapanya di restoran dulu. Perlahan Hae Bin membuka pintu dengan tetap mengaitkan rantai pintu.

“Terima kasih, Bu Hae Bin mau membukakan pintu,” pria itu meng¬angguk sopan. “Kami mau minta bantuan untuk....”

“Bong Gun....” Hae Bin membuka rantai pintu dan pria itu memapah Bong Gun yang terduduk lesu, seperti sedang mabuk. Hae Bin cepat menutup pintu, menguncinya lagi.

“Maaf, kami mengganggu, Bu,” pria itu mendudukkan Bong Gun. “Saya Lee Dong Ho.”

“Ya,” Hae Bin menjawab singkat, lalu melihat ke arah Bong Gun. “Dia....”

“Mabuk. Pak Bong Gun terus dikejar banyak orang.” Dong Ho tidak perlu menjelaskan lagi, setelah Hae Bin menerima koran lain dari Dong Ho dan secepatnya Hae Bin membaca.

“Pak Bong Gun minta bertemu Bu Hae Bin,” Dong Ho berkata perlahan.

Hae Bin tidak tahu harus bagaimana. Bertahun-tahun dia hidup dalam bayangan Bong Gun, dan sekarang Bong Gun ada di depannya, terkulai lemas.

“Bagaimana kalau orang tahu Bong Gun di sini?” Hae Bin melirik korannya.

“Sudah menjadi tugas saya menjamin keselamatan Bu Hae Bin dan Pak Bong Gun.” Dong Ho menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menunjukkan betapa dia memohon padanya. “Boleh kami minta minuman hangat?”

“Akan saya buatkan kopi panas.” Hae Bin bangkit.

“Terima kasih banyak.” Dong Ho menegakkan kepala Bong Gun yang terkulai lagi.

“Bagaimana dengan Yeon Yi?” Hae Bin membuat kopi secepat mungkin.

“Bu Yeon Yi dan putrinya sudah di Singapura.” Dong Ho menerima cangkir kopi.

“Kenapa Bong Gun tidak ikut?”

“Pak Bong Gun tidak mau meninggalkan Anda.”

“Apa?” Hae Bin seperti tersengat listrik.

“Pak Bong Gun lebih memilih di Seoul untuk memastikan Bu Hae Bin baik-baik saja.”

“Bagaimana dia tahu saya ada di sini?” Hae Bin memandang ke arah Bong Gun tanpa bisa melakukan apa-apa.

“Pak Bong Gun tidak pernah meninggalkan Ibu. Sayalah yang ditugaskan selama ini untuk memastikan Bu Hae Bin baik-baik saja.”

“Astaga....” Hae Bin duduk dan kembali melihat ke arah Bong Gun yang mulai bergerak.

“Kopi, Pak.”

Dong Ho mendekatkan gelas kopi ke Bong Gun, dan Bong Gun menyeruputnya keras. Lalu, kepalanya lunglai lagi di atas sandaran sofa.

“Di mana kamar mandi?”

Hae Bin menunjuk pintu di depan dapur. Dong Ho memapah Bong Gun masuk kamar mandi. Hae Bin duduk dengan linglung dan merasakan udara menjadi sangat dingin. Bong Gun keluar kamar mandi tanpa dipapah lagi, berjalan mendekati Hae Bin sambil menatapnya.“I’m so sorry....” Bong Gun tiba-tiba memeluknya, sambil menangis keras.

Hae Bin benar-benar bingung, lalu melepaskan Bong Gun perlahan dan mendudukkannya di sampingnya.

“Maafkan aku, Hae Bin. Aku meninggalkanmu begitu lama.”

“Kau lebih baik istirahat.” Hae Bin menariknya ke kamar sebelah. “Kau tidur saja, besok kita bicara.”

Dong Ho membantu Hae Bin menyelimuti Bong Gun.

“Hae Bin....” Bong Gun memegang tangan Hae Bin.

“Bong Gun.” Hae Bin menahan sesak hatinya. “Kau akan baik-baik saja. Aku ingin kau beristirahat dulu.”

“Aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu begitu saja....”

“Aku tahu,” Hae Bin membiarkan saja air matanya jatuh. “Aku akan menemanimu.” Hae Bin menarik sofa kecil dan duduk di samping tempat tidur. Aku mencintai Bong Gun lebih daripada aku mencintai diriku sendiri. Hae Bin menggumam dalam hati, sambil menggenggam tangan Bong Gun, menatap mata Bong Gun yang setengah sadar. Matanya bengkak dan di wajahnya terlihat bekas memar biru.

“Kau tidak menciumku?” Bong Gun berbisik serak, berusaha tertawa.

“Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi.” Hae Bin mengambil ta¬ngan Bong Gun dan meletakkan kepalanya di atas tangan Bong Gun. “Kau harus tidur.”

“Ya. Aku memang lelah sekali.” Bong Gun mencium kening dan memeluk kepala Hae Bin. “Kau mau naik ke tempat tidur?”

“Tidak usah.” Hae Bin tersenyum kecil. “Tidurlah.”

“Aku tidak membunuh siapa pun, Hae Bin. Aku tidak mencelakakan siapa pun.”

“Aku percaya,” jawab Hae Bin halus. “Kecelakaan gedung itu....”

“Hae Bin...,” Bong Gun berbisik. Ada aroma segar dari mulutnya. Pasti Leo berkumur dengan pasta gigi, mengulang kebiasaannya dulu saat malas gosok gigi.

Hae Bin menatap mata lelah Bong Gun. “Ya.”

“Aku mau kau percaya bahwa aku tidak pernah meninggalkanmu.” Mata Bong Gun berkaca-kaca. “Aku mencintai dirimu dengan....”

“Aku percaya. Aku percaya sekarang kau istirahat. Besok banyak waktu untuk....”

“Tidak, Hae Bin. Besok mungkin aku sudah mati. Hae Bin....”

Bong Gun menciuminya dengan halus sekali. Hae Bin melihat Dong Ho datang menyentuhnya dan Hae Bin merasa sangat ngantuk, lalu terlelap tanpa sadar....

“Bong Gun!!!!” Hae Bin berteriak keras, sambil terlonjak bangun. “As-taga, aku mimpi?”

Hae Bin berlari keluar. Tidak ada gelas kopi di mejanya. Semua tampak rapi dan tidak ada bekas tamu semalam. Hae Bin duduk de¬ngan linglung, mengambil air mineral di meja kaca dan tertegun. “Astaga... aku bermimpi.”

Hae Bin melihat dapur. Bersih dan tidak ada gelas kotor. Seharusnya ada setumpuk gelas dan piring kotor. Hae Bin menyelidik, membuka rak piring lalu tersenyum. Dong Ho tidak meletakkan cangkir pada tempatnya. Aku tidak bermimpi.

Hae Bin mengguyur badannya dan berpakaian dengan sangat cepat. Hari ini ada jadwal bertemu klien di luar kota. Sebelum turun ke tempat parkir, Hae Bin menyempatkan diri untuk menarik uang tunai di ATM. Dengan cepat dia melarikan mobilnya ke kantor.

***

“Kau seperti dikejar setan.”

Ji Eun menyambutnya dengan secangkir kopi.

“Bos di mana?”

“Sudah berangkat ke SungKi Town. Kenapa?”

“Aku ingin minta orang lain untuk menggantikanku meeting.”

“Jangan memohon padaku untuk menggantikanmu. Aku sedang bangkrut. Kau bilang akan membayar utangmu hari ini.”

Hae Bin mengambil uang yang baru ditariknya. “Dua ratus ribu dulu. Aku lupa butuh cadangan dana ke luar kota.”

Hae Bin melihat berkas transaksi dari ATM dan hampir berteriak.

“Kenapa? Apa aneh kalau uangmu selalu habis? Biaya melamunmu dan keluyuranmu ke gedung bioskop kan tidak murah! Kalau masih ada sisa uang, berikan padaku siang nanti, ya. Aku benar-benar malas ke bank.”

“Ya.” Hae Bin menjawab sambil melihat berkasnya lagi dengan tidak percaya. Ada tambahan dua digit angka. Dari mana datangnya uang sebanyak ini? Astaga... mungkinkah Bong Gun?

Hae Bin berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan dia bersyukur ada orang lain yang bersedia menggantikannya menemui kliennya di EulBok Town. Pikirannya terus melayang, memikirkan di mana dan bagaimana Bong Gun sekarang. Dia seperti bermimpi memeluk Bong Gun semalam. Tapi, sekarang Bong Gun menghilang lagi seperti dulu.

Seong Woo mengetuk pintu ruangannya.

“Masuk.” Hae Bin menutup laptopnya, tersenyum. “Kau rapi sekali.”

“Ada janji makan siang.” Seong Woo tersenyum. “Kau mau ikut?”

“Kalau tidak mengganggu.”

Tidak ada salahnya menyenangkan Seong Woo. Dia selalu baik padanya.

“Sangat tidak mengganggu. Tapi, jangan bawa Ji Eun, ya.”

“Okay.” Hae Bin menatap Seong Woo keluar ruangannya.

Hae Bin merasa dadanya terus berdesir mengingat kejadian tadi malam. Bong Gun datang untuk bersembunyi atau memang menginginkan dekat dengan dirinya?

Saya akan memastikan Bu Hae Bin baik-baik saja.... Di mana Bong Gun?

“Kau seperti baru kesetrum listrik.” Ji Eun membuatnya terkejut. “Koran terbaru. Dia dicari-cari polisi.”

Hae Bin membacanya. Dua hari sebelumnya Bong Gun dikeroyok massa yang kesal karena pembebasan Ahn Jae Wook sebagai tahanan rumah. Sehari setelahnya, polisi terus mencari Bong Gun, karena salah seorang pengeroyoknya hilang dan ditemukan meninggal dengan luka-luka yang parah mengenaskan. Diduga, Bong Gun yang melakukannya. Bahkan, Ahn Jae Wook sendiri berharap Bong Gun cepat ditemukan. Rupanya, polisi mencari semua orang yang terkait dengan Bong Gun.

Hae Bin ingin sekali memuntahkan isi perutnya. Kepalanya tiba-tiba menjadi sakit dan pandangannya berkunang-kunang. “Hae Bin....” Ji Eun mengguncangnya, sambil memberikan teh manis.

Hae Bin meneguk habis teh manisnya.

Ji Eun memandangnya khawatir. “Kau tidak apa-apa?”

“Ya.” Hae Bin melihat jamnya. “Aku mau makan siang dengan Seong Woo.”

“Sejak kapan kau makan siang dengan Seong Woo? Kau akhirnya membuka hatimu untuk pria sempurna itu?”

“Paling tidak aku bisa terhindar dari koranmu yang makin panas beritanya.” Jawaban Hae Bin membuat Ji Eun tertawa, lalu meninggalkan ruangannya.

Hae Bin duduk di samping Seong Woo, sambil terus memikirkan Bong Gun.

Bong Gun membunuh? Aku terlalu percaya, aku tidak mengenalnya atau semua memang sudah berubah? Bagaimana kalau polisi atau orang lain tahu, semalam Bong Gun ada di tempatku?

***

Seong Woo menyalakan radio. Hampir semua saluran menyiarkan berita yang sama. Semua orang memburu Bong Gun. Dan, semua berita bertanya, di mana Bong Gun?

“Akhirnya, Bong Gun kena batunya?” Seong Woo mengomentari.

“Maksudmu apa?” Hae Bin terenyak kaget.

“Kau tidak lihat? Semua proyek besar di negeri ini diambilnya.”

“Pasti karena mendapat dukungan pemerintah juga, ‘kan? Jadi dia tidak salah sendirian, dong?”

Entah kenapa tiba-tiba Hae Bin ingin sekali membicarakan Bong Gun. “Harusnya, semua pejabat yang terlibat juga ditangkap.”

“Masalahnya, sekarang bukan korupsi yang dituduhkan, tapi pembunuhan.”

“Bong Gun tidak mungkin membunuh.”

Hae Bin kaget dengan jawaban dirinya sendiri.

“Kurasa juga tidak.” Jawaban Seong Woo sangat mengejutkan. “Pasti ada konspirasi atau sesuatu yang sedang terjadi di negeri ini.”

“Kau seperti detektif saja.” Hae Bin tertawa, sambil mengambil koran di jok belakang dan membukanya. Wajah Bong Gun menempati hampir seperempat lebar koran, Hae Bin merasa dadanya sakit sekali. Tadi malam wajah ini begitu dekat denganku.

“Kau juga tertarik dengan berita itu?” Seong Woo menoleh sekilas.

“Aku tidak tertarik pada properti, politik, atau apalah. Kita bekerja di dunia Entertainment. Jadi, aku rasa....”

“Sebenarnya, kasihan juga, si Bong Gun itu. Dia jadi korban kerakusan para koruptor.”

“Kau kelihatannya kenal betul dengan buronan itu.”

“Omku salah satu rekannya dalam proyek-proyek besar.”

“Lalu?”

“Kok, jadi tertarik?”

“Naluri manusia, membicarakan hal yang sedang in.”

“Sebenarnya, yang dekat dengan orang-orang pemerintah itu memang Ahn Jae Wook, mertuanya itu. Dia yang melobi hampir semua proyek besar di Korea untuk menantunya. Kalau kita perhatikan, setiap kali sebuah proyek didapat oleh Ahn Jae Wook, ada saja pejabat yang mobil mewahnya bertambah atau istri-istri pejabat yang keluyuran ke luar negeri.”

“Kenapa kau tidak membuat acara di televisi dengan program government gossip atau apalah?”

“Ini serius, Non.” Seong Woo menoleh, sambil tersenyum.

“Lalu, apa kaitannya dengan Bong Gun?”

“Menurut kabar burung, Bong Gun sebenarnya sudah tidak lagi mau mengerjakan proyek-proyek mertuanya. Kabarnya, dia malah akan mundur dan berbisnis sendiri secara kecil-kecilan.”

Hae Bin merasa sedikit lega.

“Tidak ada yang ingin Bong Gun mundur, kecuali para saingannya. Figur Bong Gun adalah maskot bagi proyek-proyek besar, terutama bagi penyedia proyek-proyek pemerintah. Ahn Jae Wook sangat bermurah hati pada orang-orang yang bisa menggolkan tender untuknya. Baginya, Bong Gun adalah mesin penghasil uang.”

“Kau benar-benar mengenalnya, ya? Bagaimana liputanmu tentang tuduhan pembunuhan Bong Gun?”

Seong Woo memandang Hae Bin sekilas, seperti sedang berpikir sesuatu.

“Pasti saingan bisnisnya ingin menggantikan maskot properti. Kasus Ahn Jae Wook adalah bumbu terbaik untuk melenyapkan Bong Gun.”

“Kalau memang Bong Gun tidak membunuh, kenapa dia harus lari? Tidak menyerahkan diri saja untuk berlindung di kepolisian.”

“Kau ini memang lugu. Orang yang dinyatakan buronan lalu menyerahkan diri, itu sama saja mengaku bersalah. Atau, mungkin dia berpikir malah masuk ke sarang musuh. Pejabat-pejabat hukum kan ada juga yang nyambi jadi kontraktor.”

Hae Bin berusaha mencerna semua kata-kata Seong Woo, benar untuk pandangan umum. Tapi, apa benar seperti itu? Atau, memang Bong Gun membunuh? Hae Bin melihat ke spion lagi. Mobil merah itu masih terus di belakangnya, padahal mobil itu bisa mendahului mobil Seong Woo yang berjalan perlahan.

Dari mana uang yang ada di tabunganku? Orang salah transferkah? Siapa Lee Dong Ho sebenarnya?

Hae Bin berusaha tenang sebisa mungkin saat makan siang dengan teman-teman Seong Woo. Tapi, tetap saja sepanjang makan siang, matanya tidak berhenti menyapu ruangan restoran yang sangat luas itu. Hae Bin merasa ada banyak orang memperhatikan dirinya.

“Astaga, Seong Woo, aku lupa.” Hae Bin menahan tangan Seong Woo yang siap menyalakan mesin mobil. “Aku harus mengambil uang untuk Ji Eun. Kau mau ikut turun atau mau menungguku sebentar?”

“Kau ke ATM dulu saja, aku bawa mobil ke lobi. Okay?” Seong Woo tersenyum. “Jangan lama-lama, ya.”

“Okay.”

Hae Bin cepat turun mobil dan menuju pintu masuk kembali ke dalam mal. Ketika itulah sebuah ledakan besar terjadi, mobil Seong Woo meledak....

Hae Bin merasa dirinya terpental membentur tembok dan berbenturan dengan beberapa orang lain. Dia ingin menjerit dan berlari mendekat, tapi instingnya membisikkan lain. Hae Bin berjalan cepat masuk mal setenang mungkin dan menarik uang ATM semaksimal tarikan tunai dan keluar mal dengan cepat. Hae Bin melirik berkas tarikan. Sisa uangnya masih sangat banyak.

Hae Bin menyandarkan tubuhnya setengah tidur di jok belakang taksi dengan memegangi telinganya yang terus berdengung. Bukan hanya karena suara ledakan, tapi karena benturan ke tembok yang membuat Hae Bin merasa kepalanya terus berdenyut.

“Terima kasih.” Hae Bin mengulurkan uangnya dan pergi secepatnya sebelum sopir taksi mengembalikan sisa uang argo. Ia masuk apartemennya dengan tergesa, membuka lemari pakaiannya, dan mencari tas untuk mengepak pakaian.

“Ji Eun, cepat kau keluar kantor dan jemput aku di apartemenku. Sekarang!” Hae Bin berteriak di telepon. “Nanti saja aku ceritakan.”

Tak sampai setengah jam, Ji Eun sudah datang. Seperti biasa dengan koran tentang pengejaran Bong Gun. Hae Bin menceritakan semua kejadian dari awal datangnya Bong Gun sampai meledaknya mobil Seong Woo.

“Ya, ampun! Untuk sementara kau tinggal di tempatku saja. Paling tidak, rumahku lebih aman.”

“Ya.” Hae Bin mengikuti Ji Eun masuk ke mobilnya dan....

“Tunggu.” Hae Bin mencegah Ji Eun menyalakan mesin mobil. “Kita naik taksi saja.”

Ji Eun menjerit kecil dan keluar mobil dengan cepat, naik lagi ke tangga atas. Sepanjang jalan, mereka terus diam sampai di rumah Ji Eun yang bergerbang tinggi dan dijaga satpam.

Paling tidak selama seminggu atau dua minggu ini aku bisa tenang....

Ini sudah lebih dari dua bulan sejak kematian Seong Woo. Tidak sedikit pun namanya ikut disebut-sebut terlibat kecelakaan itu. Mungkin, tidak ada orang yang memerhatikan dia keluar dari mobil Seong Woo sebelum peledakan. Tapi, Hae Bin tetap merasa bahwa dia terus diikuti orang.

Hae Bin turun pesawat dengan tergesa. Jadwal keberangkatan pesawat yang sering diubah seenak-enaknya oleh maskapai membuatnya dongkol setengah mati. Sampai pintu keluar, Hae Bin cepat masuk taksi dan melesat pergi. Sudah terlambat satu jam jadwal pertemuan dengan kliennya. Rasanya, Hae Bin ingin sekali berbalik saja. Tapi, grup musik ini bisa marah dan membatalkan kontrak konsernya, kalau dia benar-benar tidak datang. Lebih lagi, Lee Mong Ryong akan mengoceh sepanjang hari.

Hae Bin menghentikan taksi dan memandang ke sekeliling. NamGil Town tidak berubah secepat Seoul, tapi nyaman untuk pebisnis-pebisnis entertainment seperti perusahaannya. Tingkat kolusinya jauh lebih rendah, bahkan dibanding beberapa kota besar lain.

“Delta Music?” Hae Bin mengeluarkan tanda pengenalnya pada petugas security di lobi gedung mewah ini.

“Lantai dua belas, kiri.” Satpam itu mengangguk simpatik.

Hanya perlu setengah jam untuk membuat direktur itu setuju dengan angka kontraknya. Hae Bin merasa lift ini lambat sekali, masih ada janji dengan gedung pertunjukan dan pihak berwajib untuk permohonan izin. Semua sudah lewat waktu dari yang sudah dijanjikan.

“Taksi!” Hae Bin melambaikan tangannya di lobi.

Sebuah taksi perlahan mendekat. Hae Bin cepat membuka pintu taksi dan duduk dengan terburu-buru. Barisan anak remaja yang lewat di depannya benar-benar membuatnya lebih terlambat lagi.

Tiba-tiba Hae Bin melihat seseorang yang seperti pernah dilihatnya, melirik padanya dari luar. Pria itu melihatnya dan seperti tersenyum padanya, lalu menghilang dalam kerumunan remaja yang terburu masuk ke bus di halaman gedung.

Sedetik kemudian, taksi di depannya meledak, terpental keluar lobi....

Hae Bin duduk lemas di dalam kamar hotelnya. Mereka memburuku. Tapi, siapa? Hae Bin membiarkan saja kepalanya berdenyut hebat. Seong Woo sudah mati karenanya. Sekarang seorang lagi tanpa sengaja menggantikan dirinya mati.
Telepon di meja kecil berkedip. Hae Bin menekan tombol speaker.

“Ya?”

“Maaf, Bu, telepon dari Bu Han Ji Eun? Apakah Ibu mau terima?”

Ji Eun? Hae Bin mengernyitkan keningnya. Hae Bin menggeretakkan giginya, dan tangannya menjadi sangat gemetar.

“Tolong bilang, saya belum kembali dari luar. Terima kasih.”

Bagaimana Ji Eun tahu aku menginap di hotel ini?

Hae Bin cepat menengok ke pintu yang berbunyi. Hae Bin tak menjawab, tidak membukanya. Perasaannya berkecamuk hebat, ada apa sebenarnya? Di mana Dong Ho yang akan melindunginya? Di mana Bong Gun?

Hae Bin terkejut melihat laptopnya berkedip-kedip.

Hae Bin membukanya cepat, tidak ada alamat pengirim. ‘Ada tiket pulang di lobi hotel. Segera tinggalkan Nam Gil Town. LDH.’ Lee Dong Ho?

Hae Bin cepat mengemasi barang-barangnya dan turun tergesa ke lobi. Dia membayar dengan tunai dan membuka pintu taksi. Sebelum taksi bergerak, Hae Bin menangkap sosok Dong Ho di belakang petugas security di balik kaca lobi, tersenyum, sambil mengangguk padanya.

Hae Bin terus memutar otak. Siapa sebenarnya Dong Ho? Tapi, bagaimanapun, dia satu-satunya orang yang Hae Bin percaya saat ini. Bong Gun pasti tidak akan mencelakakan dirinya. Dia tahu dan Bong Gun tahu, Hae Bin mencintai Bong Gun lebih dari siapa pun. Bong Gun juga mencintai Hae Bin jauh lebih besar lagi....

***

Hae Bin mendapati apartemennya bersih sekali. Dia membuka kulkas dan isinya penuh dengan buah-buahan. Hae Bin mengambil sebuah jeruk, menimbangnya dan meletakkannya kembali. Bagaimana kalau ada racunnya?

Tiba-tiba dia merasa lapar sekali. Hae Bin mengangkat telepon untuk memesan makanan, tapi diurungkannya. Hae Bin keluar apartemen dan menuju kantin di lantai atas apartemennya. Hari itu kantin cukup ramai oleh orang yang menikmati makan malam. Hae Bin mengelilingi seluruh ruangan, mengintip menu di balik lemari kaca, memesan, lalu duduk di sebuah meja yang sudah terisi oleh anak muda.

“Kelihatannya enak sekali,” kata Hae Bin, sambil tersenyum.

“Ya. Mamaku tidak masak. Jadi....”

“Kau lapar sekali, ya? Makanmu terburu-buru sekali.”

“Ya, Kak, saya memang lapar sekali.” Pemuda kecil itu tertawa. “Kakak mau makan juga?”

“Itu pesananku datang.”

Hae Bin menerima piring burger spesial dengan kentang goreng dan irisan keju, yang menimbulkan aroma menggoda. Pemuda itu memandang burger-nya, sambil menelan ludah.

“Kau mau?” Hae Bin tersenyum.

“Kelihatannya enak. Tapi, Mama menyuruhku makan nasi goreng.”

“Di sini tidak ada mamamu, ‘kan?” Hae Bin tersenyum sambil berbisik. “Kakak lupa sedang diet keju. Bagaimana kalau kita tukar makanannya?”

“Nasi gorengku kan tinggal separuh, Kak?”

“Tidak apa-apa. Aku minta kentangnya sedikit saja.”

Hae Bin menukar piringnya. Mengangsurkan gelas soft drinknya dan meneguk teh manis anak itu.

Anak itu melahap burger dengan semangat, Hae Bin melihatnya dengan perasaan tak keruan. Mungkin, aku terlalu paranoid dengan racun.

“Enak sekali. Terima kasih. Kakak tidak makan?”

Hae Bin menyendok nasi goreng sisa anak tadi sambil berpikir, hanya dengan begini aku bisa terhindar dari mati konyol. Tapi, mungkin akan mati karena kuman dari orang yang memberikan sisa makanannya padaku.

***

Hae Bin masuk kantor pagi sekali. Dia meletakkan semua pekerjaan yang sudah diselesaikannya di meja Ji Eun. Kalau tidak salah, dia pulang siang ini. Hae Bin masuk kembali ke ruangan kantornya dan berhenti sejenak di depan ruangan Seong Woo yang sudah terisi orang lain.

Ia menarik napas panjang dan membuka pintu ruangannya. Dia berusaha bekerja setenang mungkin. Kantor ini sangat ketat dalam menjaga keamanan. Hampir di setiap pintu masuk, ada petugas keamanan. Lee mong Ryong, pemilik perusahaan ini, sangat menjaga privasinya.

Tiba-tiba Hae Bin merasa sepi sekali. “Semua orang yang dekat denganku celaka,” pikirnya sedih. Hae Bin ingin sekali menangis. Tenggorokannya terasa makin sakit, ketika air matanya tidak mau keluar.

“Selamat pagi Bu Hae Bin. Ini surat untuk Ibu dan....” Lee Min Jung, sekretaris direksi, masuk dengan sopan.

“Terima kasih, Min Jung.” Hae Bin menerima suratnya. “Kau makan apa?”

“Roti bakar.” Min Jung mengangkat roti bakarnya yang tinggal separuh.

“Untuk aku saja, ya. Aku lapar sekali.” Hae Bin menyambar roti bakar dengan cepat.

“Ya, ampun..., biar saya minta OB membuatkan lagi untuk Ibu.”

“Tidak usah, ini sudah cukup.”

Hae Bin menelan roti dengan cepat. “Terima kasih, ya.”

“Sama-sama.”

“Min Jung!” Hae Bin menghentikan langkah Min Jung. “Apa bu Ji Eun sudah datang?”

“Ibu belum tahu beritanya?” Min Jung memandang aneh.

“Berita apa?” Hae Bin menatap bingung.

“Bu Ji Eun kecelakaan di Jepang kemarin pagi. Sore ini mau dibawa ke Seoul untuk dirawat di sini saja. Itu pun kalau keadaannya sudah stabil.”

“Astaga.” Hae Bin duduk dengan lemas.

Jadi siapa yang meneleponku kemarin di hotel?

“Siapa yang ada di sana sekarang?”

“Pak Jung Ji Hoon. Mau saya sambungkan?”

Kenapa Ji Hoon? Bukankah Ji Eun itu bermusuhan denganya?

“Tidak usah, Min Jung, nanti saja saya telepon sendiri.”

Hae Bin membiarkan Min Jung keluar dari ruangannya. Hatinya makin tidak keruan. Kalau saja ada satu orang yang bisa dihubungkan dengan semua kejadian ini.

Tadinya Hae Bin yakin sekali bahwa Ji Eun terlibat dengan semua kejadian ini. Sejak awal, Ji Eun, teman kuliahnya, yang menawarkan pindah kerja ke kantornya. Ji Eun membuatnya percaya untuk menceritakan kenapa Hae Bin tak mempunyai pacar selama bekerja bersamanya. Dan, Ji Eun datang membawa banyak berita tentang kesuksesan Bong Gun setelah Bong Gun menikah. Seluruh kehidupan Bong Gun yang seperti selebriti selalu diantarkan Ji Eun untuk Hae Bin setiap hari.

Hanya Ji Eun yang tahu bahwa dia akan makan siang dengan Seong Woo. Hanya, Hae Bin tidak memberi tahu di mana dia menginap. Tetapi, Hae Bin tahu betul jam berapa dia bertemu para klien, karena Ji Eun memintanya untuk terus melapor, setiap kali pertemuan de¬ngan klien usai. Hanya Ji Eun yang tahu siapa dirinya di mata Bong Gun.

Bagaimana mungkin Ji Eun juga menjadi korban? Semua orang yang terhubung dengannya celaka....

Hae Bin panik. Di mana Bong Gun? Hae Bin melihat ponselnya berkedip-kedip, lalu membuka flip-nya. ‘Saya tunggu di minimarket basement, jam sebelas tepat. LDH.’

Astaga... itu enam menit lagi. Hae Bin mengemasi barangnya dan keluar ruangan dengan tergesa. Suasana kantor, entah mengapa, dirasa sangat mencekam. Mungkin, karena peristiwa Ji Eun yang masih belum jelas keadaannya. Atau, memang setiap hari sepi se¬perti ini. Atau, perasaannya saja.

“Min Jung, bilang pada bosmu, aku ke studio.”

“Kalau begitu, bisa tolong titip berkas ini untuk Lee Bo Young, manajer studio, Bu. Saya harus jaga markas, karena semua orang ‘terbang’.”

“Okay.”

Hae Bin turun cepat dan menuju parkir bawah. Satu lantai ke bawah lagi akan sampai di minimarket.

“Naik ke mobil, cepat!” Dong Ho meneleponnya.

Sebuah mobil dengan kaca cukup gelap menghampirinya perlahan. Hae Bin masuk, duduk dengan gemetar. Dong Ho duduk di sam¬pingnya dengan wajah yang terlihat tegang.

“Di mana Bong Gun?” itu pertanyaan pertama yang muncul di kepala Hae Bin.

“Pak Bong Gun aman.” Dong Ho menjawab dengan tenang. “Maaf, keadaan tidak terkendali.”

“Ada apa sebenarnya?” Hae Bin menyandar dengan lesu. “Tolonf ceritakan.”

“Mereka memancing Pak Bong Gun untuk keluar. Karena Bu Yeon Yi dan anaknya di luar negeri, mereka memancingnya dengan berusaha mencelakai Bu Hae Bin.”

“Siapa mereka?”

“Itu yang sedang kami selidiki.”

“Kami siapa?”

“Saya dan kru.”

“Kamu dan kru apa?” Hae Bin ingin sekali berteriak.

“Anggap saja kami satuan yang bertugas menyelidiki hal-hal yang mencurigakan. Pak Bong Gun tidak membunuh siapa pun. Orang-orang ini sangat rapi. Bahkan, kami juga tidak tahu siapa yang membunuh orang yang mengeroyok Pak Bong Gun. Motifnya belum jelas.”

“Apa hubungannya dengan saya?”

“Mereka tahu segalanya. Mereka tahu Pak Bong Gun sangat menya¬yangi Ibu, sekalipun Ibu tidak pernah bertemu Pak Bong Gun, setelah Pak Bong Gun menikah. Menurut dugaan kami, mungkin ada orang terdekat Pak Bong Gun yang terlibat.”

“Kapan mereka berhenti mengejar saya?” Hae Bin menelan ludahnya. Setiap hari dia harus berjuang sendiri agar masih bisa bernapas.

“Kami akan terus melindungi Ibu,” Dong Ho menjawab dengan tidak meyakinkan.

“Kalau bukan karena ada orang lain yang menyerobot taksiku.”

“Kami sudah mengaturnya, Bu.” Dong Ho menahan napas. “Yang menyerobot taksi Ibu adalah orang kami. Di detik terakhir, kami tahu ada bom di dalam taksi dan tak cukup waktu untuk meng¬hentikannya, sehingga harus ada orang yang menggantikan Ibu.”

“Ya, ampun....” Hae Bin merasa tulang-tulangnya remuk. “Kita mau ke mana?”

“Mencarikan tempat aman untuk Ibu. Malam ini akan ada lagi percobaan pembunuhan pada Bu Hae Bin.”

“Astaga....”

“Sebenarnya kami ingin membuat jebakan.” Dong Ho meminggirkan mobilnya. “Kalau Ibu setuju.”

“Aku? Maksudmu aku jadi umpan? Apa kau sudah gila?!”

Beruntung aku masih hidup.

“Tidak apa-apa, kalau Ibu tidak mau. Kami sangat mengerti bagaimana perasaan Ibu.” Dong Ho mulai menjalankan mobilnya. “Kami akan tetap mencari cara untuk....”

“Apakah ini akan menyelamatkan Bong Gun?”

“Tidak, hanya akan menghentikan korban-korban lain yang ada di dekat Ibu.”

“Bagaimana rencana kalian?”

“Kami tidak mau memaksa Ibu. Kepanikan adalah penyebab pertama kematian.”

“Aku bersedia,” Hae Bin menyerah. “Setelah kau memberi makanan padaku. Aku lapar sekali.”

Hae Bin meneguk air mineral dari botol yang diangsurkan Dong Ho. Dong Ho hanya mengangguk dan membelokkan mobil ke arah sebuah gedung salon dan bridal, langsung menuju parkir basement.

“Kita turun.” Dong Ho membuka pintu dan dengan cepat Hae Bin mengikutinya. “Tinggalkan ponselmu di mobil.”

Hae Bin menurut dan melempar ponselnya di jok belakang.

Mereka naik ke tangga dan membuka pintu belakang. Dong Ho menekankan ibu jarinya dan menggesekkan kartunya. Pintu itu terbuka dan seorang berpakaian seperti tentara menghormat ala militer. Dong Ho melakukan hal yang sama di pintu kedua dan ketiga, lalu mereka masuk ke sebuah ruangan kantor yang sangat luas. Penuh dengan komputer dan layar lebar serta banyak peralatan lain yang Hae Bin tidak tahu namanya. Seperti dalam film-film detektif dan semacamnya.

“Guys, ini Ibu Hae Bin.”

Dong Ho membuat seluruh orang di ruangan mengangguk pada Hae Bin, sambil memandang kasihan. Lalu, Dong Ho membawa Hae Bin masuk sebuah pintu lain. Hae Bin berhenti sebentar, lalu berkata, “Panggil Hae Bin saja.”

“Kau bisa istirahat dulu. Kami akan mengantar makanan sebentar lagi. Itu pintu ke kamar tidur yang akan kau pakai tidur malam ini.”

“Kalau masih hidup,” Hae Bin menggumam, lalu duduk di sofa yang nyaman. Ia merasa sangat letih dan lapar. Sudah dua hari ini ia hanya makan sisa nasi goreng dan sepotong kecil roti bakar, meminum kopi sisa Min Jung, dan setengah air putih bekas tamu kantornya.

“Nah, setelah kau makan, kita akan segera membicarakan rencana nanti malam.”

Hae Bin mendengarkan saja semua rencana Dong Ho dan temannya. Toh, aku memang sudah mati.... Sejak Bong Gun menikahi Yeon Yi, setengah jiwaku sudah mati.

***

Hae Bin mengendarai mobilnya dan keluar apartemen, setelah diantar pulang oleh teman Dong Ho. Dia melihat spion beberapa kali untuk memastikan ada mobil yang mengikutinya secara bergantian dangan tanda khusus.

Ia memasuki parkiran mal dengan was-was, lalu mencari tempat parkir yang sudah ditentukan. Hae Bin keluar mal dan mulai berbelanja. Uangku tidak akan habis kalau hanya untuk membuat mobilku penuh belanjaan....

Pukul dua puluh satu lebih empat puluh lima menit, Hae Bin mencari tempat parkir yang diinformasikan kepadanya oleh Dong Ho. Mobil Hae Bin sudah ditukar dengan mobil lain yang sama dengan mobilnya. Hae Bin membuka bagasinya dan memasukkan belanjaan.

Di seberangnya tampak seorang wanita cantik memasuki mobil yang mirip miliknya sambil tersenyum manis. Hae Bin merasa sedang membunuhnya.

Tidak akan ada korban, semua sudah disiapkan secara baik....

Hae Bin masuk mobil dan merasa aneh. Ini bukan mobilnya. Semua pintu terkunci otomatis dan tidak bisa dibuka. Hae Bin panik. Panik adalah penyebab pertama kematian. Sebuah benda berkelip-kelip di bawah setir membuatnya berteriak keras, sambil menggedor kaca. Hae Bin mengambil sepatunya dan sekuat tenaga memecahkan kaca, tanpa hasil. Kelap-kelip itu makin cepat dan... blaaar!

Yang dia ingat hanya sosok Dong Ho yang berteriak di depan mobil. Semua cepat sekali terjadi dan Hae Bin merasa melayang, lalu gelap dan sepi sekali....

“Selamat pagi, Hae Bin,”

Hae Bin mendengar suara samar-samar. Semua terlihat buram. Hae Bin berusaha menggerakkan jarinya, sakit luar biasa. Dong Ho terlihat samar-samar tersenyum di antara perban-perban di wajahnya.

Hae Bin memejamkan matanya, sambil terus berusaha untuk mengingat kejadian terakhir. Semua masih gelap samar-samar. Barangkali aku sudah mati....

“Kau lihat aku, Hae Bin?” suara Dong Ho terdengar jauh sekali.

“Sedikit gelap,” Hae Bin mengerjapkan matanya. “Aku sudah mati?”

“Kau masih hidup.” Dong Ho mendekatkan wajahnya, dekat sekali. “Kau koma selama dua hari.”

“Di mana aku?”

“Markas.” Dong Ho meneliti telinga Hae Bin, menyentuhkan jarinya di belakang daun telinga. ”Sakit?”

“Tidak. Tapi, semua badanku sakit.”

“Syukurlah tidak ada cedera kepala. Beberapa tulangmu retak karena terbentur tembok. Kita terhindar dari ledakan. Aku minta maaf, semua jadi kacau. Ada kebocoran rencana, semua jadi tidak terkendali.”

“Di mana Bong Gun?”

Dong Ho menghela napas panjang. “Kami mau minta maaf. Pak Bong Gun....”

“Dong Ho....” Hae Bin merasakan sakit yang luar biasa, saat menggerakkan tangannya untuk menekan tangan Dong Ho. Karena, lama sekali Dong Ho menggantung kalimatnya.

“Kami minta maaf. Pak Bong Gun memilih untuk....”

“Dia menyusul Yeon Yi?” Hae Bin melayangkan pandangan ke arah jendela. Hamparan laut lepas membuat dirinya merasa melayang. “Dong Ho?”

“Kami kecolongan. Pak Bong Gun menjatuhkan dirinya dari atas gedung ini.”

Hae Bin merasa semua menjadi sepi. Sangat hening....

“Kau janji padaku untuk melindunginya,” Hae Bin berbisik serak. Dadanya sesak sekali, dan dia hanya ingin menangis.

“Maafkan saya.”

Dong Ho menyentuhkan tangannya pada tangan Hae Bin yang penuh perban. Hae Bin merasakan pipinya perih sekali. Ada air mata yang terus mengaliri lukanya. Tapi, luka di hatinya jauh lebih sakit. Bong Gun sudah meninggalkannya.

“Tolong, tinggalkan saya....”

Hae Bin memalingkan wajahnya ke arah jendela. Hamparan laut lepas sekarang membuatnya sangat ketakutan. Dia melihat dirinya sendiri berkejaran dengan Bong Gun di pantai. Bong Gun tertawa terbahak-bahak, saat Hae Bin jatuh dan basah kuyup, lalu Bong Gun menariknya untuk berenang ke tengah, ke tengah, dan ke tengah lagi. Dingin... dingin sekali....

Hae Bin seperti mendengar jeritannya sendiri. Di mana aku? Siapa aku? Mengapa aku? Hae Bin merasa sudah ikut mati.

***

“Ahn Jae Wook sengaja menciptakan gedung dengan kualitas rendah untuk menurunkan Bong Gun dan menggantikannya dengan Kang Woo Jin, me-nantunya yang lain. Tindakan itu diambil, saat Ahn Jae Wook tahu bahwa Bong Gun dan Yeon Yi sepakat untuk bercerai. Sudah lama Bong Gun ingin menceraikan Yeon Yi dan mencarimu untuk dinikahi. Bong Gun dianggap menantu durhaka tentu saja, orang yang tidak tahu berterima kasih, dan terus menyakiti hati anak kesayangannya, Yeon Yi. Semua kejadian direncanakan oleh Ahn Jae Wook sendiri. Sekarang semua sudah selesai, Ahn Jae Wook sudah ditangkap kembali atas banyak tuduhan pembunuhan.”

Hae Bin terkulai lemah.

Akulah penyebab semua ini. Aku membuat banyak orang terbunuh, dan aku yang menciptakan seorang Ahn Jae Wook menjadi monster pembunuh.... Seharusnya aku meninggalkan Bong Gun, ketika Bong Gun menikah. Seharusnya aku membuka hatiku untuk Seong Woo. Seharusnya aku tidak perlu menjadi katak dalam tempurung cintaku.

Semua sudah selesai, kisah ini sudah selesai, karena Bong Gun sudah menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Bong Gun mati untuk membuatku bernyawa. Karena dia tahu, Ahn Jae Wook tidak akan mau melepaskanku....

Hae Bin duduk di mobil dengan kaca gelap, melihat dirinya ikut terkubur dalam peti mati Bong Gun. Tidak ada Yeon Yi dan anaknya di sana, hanya beberapa kerabat Bong Gun dan para petugas kepolisian. Dong Ho menyentuh pundak sopir dan mobil berjalan ke luar pemakaman menuju bandara.

“Paspormu dan identitas baru. Kau punya rumah, pekerjaan, dan saudara baru di sana.”

Dong Ho memeluknya dan mengantar sampai pintu keberangkatan.

“Terima kasih.”

Hae Bin memeluk Dong Ho erat dan menangis. Alangkah leganya bisa menangis....

“Jaga dirimu, Go Ah Ra.”

Dong Ho menyapanya dengan nama barunya.

Hae Bin tersenyum kecil. “Aku suka nama Go Ah Ra.”

“Aku memikirkan nama barumu selama seminggu. Syukurlah kau suka. Pesawatmu akan berangkat.” Dong Ho memeluk pundaknya.

“Bagaimana aku menghubungimu?”

“Aku yang akan menghubungimu. Bong Gun beruntung mencintai orang sepertimu.”

Hae Bin tersenyum kecil, memeluk Dong Ho, lalu melangkah masuk pesawat, duduk di samping jendela dan menge¬ratkan sabuk pengaman. Akan lebih dari sepuluh jam perjalanan menuju negara barunya.

Akhirnya aku punya waktu panjang untuk tidur.

Hari baru telah menungguku....


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar