Silahkan Mencari !!!

Info!!!

kelanjutan fan fiction & recap drama semua ada di blog q yang baru
fanfic : www.ff-lovers86.blogspot.com
recap : www.korea-recaps86.blogspot.com
terima kasih...

Jumat, 16 Juli 2010

Antara Chuncheon-Gwangju

Title : Antara Chuncheon-Gwangju
Author : Sweety Qliquers
Genre : Romance 21+,Love In Bus
Production : www.rainlovers86.blogspot.com
Production Date : 21 Mei 2010 – 04.39 PM
Cast :
Kim So Eun as Sung Chun Hyang
* Mahasiswi Universitas Shinhwa-Fakultas Hukum
*Menuduh Lee Mong Ryong-teman seperjalanannya di bus, telah mencuri dompetnya
* Memberi nilai 7 untuk senyum manis Lee Mong Ryong

Zac Efron as Lee Mong Ryong
* Mahasiswa tingkat akhir Universitas Shinhwa-Fakultas Teknik Sipil
*Jatuh hati pada pandangan pertama dengan Sung Chun Hyang di Bus jurusan Chuncheon-Gwangju

Song Hye Gyo (Cameo)
* Kakak Sung Chun Hyang
* Merasa yakin kalau bukan Lee Mong Ryong yang mencopet dompet Sung Chun Hyang-adiknya setelah membaca surat redaksi sebuah Koran ibu kota


Antara Chuncheon-Gwangju
(Sweety Qliquers)

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 4 sore tepat. Tapi bus yang kutumpangi ini belum penuh terisi penumpang, berarti akan ngetem cukup lama. Wah, alamat telat deh tiba di kampus. Kuhapus peluh di pelipis dengan tissue. Panasnya amit-amit deh. Padahal baru saja mandi sore. Percuma menaburkan bedak baby ke tubuh toh sampai di kampus udah bau keringat lagi.

"Boleh duduk di sini?" tanya seorang cowok berkulit hitam, mengejutkan aku. Tangannya menunjuk bangku kosong di sampingku. Aku mengangguk dengan heran. Baru kali ini ada orang yang bertanya seperti itu padaku dalam bus kota. Bukankah ini kendaraan umum, siapa saja berhak untuk duduk di bangku yang dipilihnya, kenapa harus tanya segala?

"Kuliah?" Cowok itu bertanya setelah duduk di sampingku. Aku manggut.

"Universitas Shinhwa?“ tanyanya lagi. Aku mengangguk.

"Fakultas apa?"

"Hukum," sahutku pendek.

"Ouw.... mau jadi hakim rupanya?" Dia tersenyum. Lumayan. Nilai 7. Aku menikmati senyumnya yang enak dipandang.

"Kalau jadi hakim yang benar, jangan asal menghukum orang," katanya sok tua. Aku tersenyum tipis.

"Saya tidak mau jadi hakim. Mau jadi pengacara saja!" ujarku.

"Hmm, mau menyaingi Hotman Paris!” guraunya.

"Kalo bisa sih…..” Aku tertawa. Sementara bus mulai penuh lalu bergerak meninggalkan terminal Chuncheon. Kamipun membisu dalam pengapnya udara dalam bus. Aku melayangkan pandang ke luar lewat jendela yang tertutup. Memerhatikan kendaraan yang lalu lalang, berharap mendapatkan ilham cemerlang. Soalnya, sudah dua minggu ini, otakku blank. Tidak ada satupun ide menarik yang bisa kutuangkan dalam sebuah cerpen.

"Terima kasih," Suara yang halus itu mengusikku. Aku menoleh. Cowok itu sedang bangkit berdiri dan mempersilakan seorang gadis seusiaku untuk duduk di bangkunya. Boleh juga cowok ini. Sudah wajahnya lumayan cakep, sopan pula. Sayang, kulitnya terlalu hitam.

“Ke tengah bu. Masih kosong!” seruan kondektur menepis lamunanku.

Seorang ibu yang sedang hamil tua berjalan pelan dan berdiri dekat tempat dudukku.

“Bu..,” panggilku sembari bangkit dari dudukku. Ibu itu tersenyum dan menggumamkan ucapan terima kasih.

"Akhirnya kita sama-sama berdiri," Cowok bernilai 7 itu tersenyum ketika aku berdiri di sampingnya. Aku balas tersenyum. Bus melaju cepat. Kadang oleng ke kiri, kadang oleng ke kanan. Penumpang bertambah banyak. Udara semakin pengap.

Cittt…!! Bus direm mendadak menghindari sebuah mobil yang nyelonong seenaknya. Supir dan kondektur memaki bersamaan. Aku dan beberapa penumpang terdorong ke samping.

"Hati-hati, nanti jatuh!” Si hitam manis nilai 7 memegang lenganku, menahan agar tidak jatuh.

"Terima kasih." Kataku merasa risih dengan cekalan tangannya. Dia mengangguk sambil melepaskan pegangannya.

"Gwangju! Gwangju!" Seruan kondektur membuatku bersiap turun.

"Sampai jumpa lagi!" Masih sempat kudengar ucapan itu, dari si hitam manis nilai 7 sebelum aku melangkah ke pintu.

Dalam Metrommi yang membawaku melanjutkan perjalanan ke kampus, aku meraba tas mungilku. Resletingnya terbuka Akh, perasaan tadi sudah kututup. Barangkali longgar, pikirku lalu mengancingkannya kembali.

"Halte, pak!" teriakku ketika metromini melaju di depan halte yang terletak dekat Universitas Shinhwa. Kurogoh saku celana jinsku dan menyerahkan sejumlah uang pada abang Kondektur sebelum turun.

Tiba di kampus aku membuka tasku mencari sisir, tetapi….hei, mana dompetku? Kuraba-raba dasar tas kulitku. Tapi…alamaaakk! Dompetku hilang! Dan… wajah si hitam manis nilai 7 melintas di benak. Rese! Pantas, dia begitu ramah. Pantas…. oh, my God! Tulang-tulangku melunglai! Lenyap sudah honor cerpenku yang baru saja kuambil tadi siang!

***

Beberapa minggu setelah peristiwa ‘sial itu’, aku bertemu lagi dengan si ‘Pencopet' lihai itu. Dia duduk di sudut kiri bangku ke empat, dekat jendela. Mengenakan kaos putih yang kontras sekali dengan warna kulitnya, Tapi dia tidak melihatku. Matanya sedang sibuk memerhatikan orang-orang yang lalu lalang di terminal Chuncheon.

“Hallo!" sapaku pura-pura ramah sambil duduk di belakangnya. Dia menoleh.

“Hai, kita bertemu lagi,“ Ucapnya hangat. Kurang ajar! Pikirku kecewa karena tidak menemukan roman wajah yang terkejut, apalagi malu. Benar-benar pencopet yang pandai bersandiwara. Kalau jadi bintang film, mungkin bisa dapat piala Citra.

“Mau kemana? Cari obyekan?” sindirku. Dia tersenyum.

“Obyekan apa? Aku mau ke rumah teman!" Jawabnya kalem. Bohong! Pekik hatiku gemas. Tapi, kucoba menahan emosi yang menggelegak.

“Kau sendiri, mau kuliah?" tanyanya.

"Begitulah," sahutku, sebal dengan sikap 'sok akrab'nya.

Selanjutnya kami sama-sama diam. Tak ada percakapan sampai kami turun di terminal Gwangju. "Kenapa turun di sini? Biasanya di Universitas Shinhwa." Katanya sambil mengiringi langkahku.

"Lagi ingin jalan kaki saja,” jawabku tak acuh. "Ya sudah, aku mau menyeberang.” Aku bergegas menyeberangi jalan. Namun ketika aku menoleh….Astaga! Dia berdiri dekat lampu lalu lintas, sedang memerhatikan aku dengan senyum tersungging di bibir. Senyum seorang pencopet yang menawan Akh, persetan dengan senyumnya. Aku memutar kepala. Senyum itu tak ada artinya ketimbang honorku yang lenyap bak asap. Belum lagi, KTP, kartu mahasiswa, kartu anggota perpustakaan dan lain-lain.

***

Aku sudah mulai melupakan pertemuanku dengan Pencopet itu, ketika sore ini saat aku baru saja duduk di bangku bus, seseorang mencolek bahuku. Aku menoleh. Arrggghh! Dia lagiiiii!!

“Hai!” sapanya ramah. Aku diam saja.

“Namamu siapa? Tidak enak kalau sering jumpa tapi tidak tahu nama." Ujarnya sambil lagi-lagi memamerkan senyum mautnya. Aku tetap diam. Dasar muka tembok, sudah mencopet masih berani tanya nama! Dikira aku tertarik sama penampilannya yang keren dan facenya yang lumayan! Huh, tak usah ya…!

“Aku Lee Mong Ryong. Kau?" tanyanya seolah tak peduli dengan sikapku yang cuek,

"Sung ehm, Sung Chun Hyang,” Jawabku jujur. Padahal inginnya berbohong tapi percuma, toh dia sudah tahu dari KTP-ku.

"Rumahmu pasti di sekitar Chuncheon?" tanyanya lagi. Aku mengangguk sambil memutar kepala, memandang ke luar jendela. Pegal sih noleh ke belakang terus.

"Aku pindah saja, biar lebih leluasa mengobrolnya." Tahu-tahu dia sudah duduk di sampingku. Aku menghela nafas kesal. Ini sih namanya muka baja. Bukan tembok lagi!

"Boleh tahu alamatmu?" Gila! Aku menatapnya tajam. Kesabaranku sudah habis.

“Kan sudah tahu, kenapa tanya lagi? Supaya aku tidak mencurigaimu sebagai orang yang telah mencopetku tempo hari?" kataku galak.

“Apa maksudmu? Aku mencopetmu…..,”

“Sudahlah,” Aku tersenyum sinis, “Tidak usah bersandiwara! Aku tahu kau yang mencopet dompetku beberapa waktu yang lalu.”

“Mencopet dompetmu?“ Dia memandangku bingung. “Wah, ini namanya tuduhan tanpa bukti.”

“Tanpa bukti katamu? Sikapmu waktu minta ijin duduk di sampingku itu sudah patut dicurigai. Namanya juga kendaraan umum, siapapun berhak duduk di bangku yang kosong. Tidak usah minta ijin dulu. Tapi kau…..hm, berlagak sopan!” Aku mencibir.

“Itu bukan bukti, nona! Tahu tidak kenapa aku bersikap begitu? Karena aku tertarik padamu dan ingin mengenalmu.”

“Alaa….tidak usah merayu,“ tukasku kesal.

“Aku berkata sejujurnya.“ Tegas suaranya.

“Oh yeah ? Sorry, aku tidak percaya!” Kataku datar.

“Oke, oke….aku akan buktikan bahwa aku bukan pencopet!" Dia bangkit dari duduknya dan meninggalkanku setelah berkata begitu.


***

“Chun Hyang!" panggil Song Hye Gyo, kakakku pada suatu pagi yang cerah.

“Ada apa kak?” Aku menghampirinya dengan sepotong roti di tangan.

“Cowok yang bernama Mong Ryong itu ternyata bukan pencopet." kata kak Hye Gyo sambil menyerahkan koran pagi yang baru saja dibacanya. “Baca kolom “Redaksi Yth”!" Katanya.

Kembalikan dompet Nona Sung Chun Hyang!

Suatu senja yang cerah saya bertemu dengan seorang gadis manis dalam bus kota jurusan Chuncheon - Gwangju. Saya terpesona. Mungkin juga Jatuh cinta pada pandang pertama. Maka saya beranikan diri menegurnya, pura-pura minta ijin duduk di sampingnya. Percakapanpun terjalin. Tapi tak lama, karena saya dan dia memberikan tempat duduk kami pada orang yang saya (mungkin juga dia) anggap lebih membutuhkan tempat duduk ketimbang kami yang masih segar dan kuat berdiri.

Selama berdiri berdampingan dalam bus itu, saya tak bisa mengajaknya bercakap-cakap lagi (meskipun ingin), karena bus begitu penuh sesak. Dan, saya harus menanggung kecewa, ketika dia turun di depan Edelweiss Residence. Dalam hati, saya berharap dapat berjumpa lagi dengannya.

Harapan saya terkabul. Saya bertemu lagi dengan gadis itu, tapi astaga, saya lupa menanyakan namanya. Kembali saya berharap akan dapat berjumpa lagi dengannya.

Tuhan sedang berbaik hati pada saya rupanya, tanpa diduga saya bersua dengannya lagi di bus yang sama. Kali ini saya tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Saya tanyakan namanya. Sung Chun Hyang! Mm, nama yang cantik, pikir saya. Tetapi sewaktu saya tanya alamatnya, dia marah-marah, menuduh saya telah mencopet dompetnya pada pertemuan kamii yang pertama! Rupanya dia curiga akan sikap saya yang minta izin duduk di sampingnya. Saya dianggap berlagak sopan.

Oh, hati saya bagai dipecut seribu cambuk! Tuduhan itu saya bantah beserta alasannya, tapi dia tidak percaya. Duh! Saya jadi bingung bagaimana membuktikan bahwa saya bukan pencopet? Saya toh, tidak mungkin membekuk semua pencopet yang berkeliaran di bus jurusan Chuncheon – Gwangju. Untunglah saya tidak kehilangan akal. Melalui surat ini, saya menghimbau padamu, wahai pencopet yang telah menggerayangi dompet nona Sung Chun Hyang di bus no. 202, sudilah kiranya tuan pencopet membersihkan nama saya dari tuduhan “Pencopet”.

Caranya: Kembalikan dompet nona Sung Chun Hyang. Terutama KTP dan surat-surat lainnva. Pasti dia sangat memerlukannya.

Terima kasih atas perhatiannya!
Lee Mong Ryong

Alamat diketahui Redaksi


“Gila! Benar-benar gila! Dia pikir dengan menulis surat ini aku bakal percaya kalau dia bukan pencopet!" sungutku sebal seraya melempar koran itu.

“Kurasa dia bukan pencopet, Chun Hyang. Surat itu merupakan bukti….,”

“Kak Hye Gyo, tahu apa tentang bukti?" Aku memotong. “Jaman sekarang jangan mudah percaya dengan orang lain!” kataku lalu meninggalkannya.


***

Mendung menggantung di bibir awan. Langit tampak gelap meskipun baru pukul 6 sore. Aku memandang punggung supir bus dengan kesal. Cepetan jalan! Sudah mau hujan nih! Gumam hatiku. Kualihkan pandangan keluar jendela. Tuh ‘kan, gerimis mulai turun. Makin lama makin deras. Waduh, alamat kehujanan sampai di kampus.

“Gwangju! Gwangju!” Seiring teriakan pak Kondektur, bus bergerak menerobos curah hujan. Beberapa penumpang terpaksa berdiri menghindari tetesan air dari atap bus yang bocor.

Bus sudah miring ke kiri dijejali penumpang. Aku menahan nafas ketika aroma tak sedap dari seorang bapak yang tangannya terangkat memegang bulatan besi pada atap bus, hinggap pada hidungku. Moga-moga bapak ini lekas turun, doaku dalam hati.

"Copet! Copet! Eh, mau kemana kau?" Tiba-tiba terdengar seruan dari bangku paling belakang. Kemudian bus berhenti. Beberapa penumpang turun. Dan di antara tirai hujan aku melihat dua sosok tubuh bergelut di tanah yang becek. Astaga! Salah seorang yang sedang berkelahi itu adalah Lee Mong Ryong. Hm, pasti dia mencopet lagi. Rasain! Biar babak belur deh! Aku tersenyum gemas. Tetapi .... yaaaa….. ternyata dia lebih kuat dan…. lawannya itu.... kok, yang digiring rame-rame. Apa nggak salah tuh?

“Pak…. Pak… Pencopetnya yang pakai kemeja biru ‘kan? Kenapa yang ditangkap yang pakai kaos hitam?" tanyaku pada si bapak berbau 'harum'.

“Oh, bukan non. Yang pakai kaos hitam itu yang mencopet. Saya sering meliat dia beraksi di bus ini, tapi saya diam aja. Ngeri! Siapa tahu dia ada temannya.”

“Sukurin! Kali ini ada orang yang berani nangkap dia.” Celetuk seorang ibu.

Aku tercenung. Bus berjalan lagi. Akh, sejuta sesal menyesak di dada. Aku harus minta maaf, tapi… kapan ya aku bisa ketemu dia lagi?


***

Hari masih pagi. Jam baru menunjukkan angka enam lewat sepuluh menit. Tapi aku sudah nangkring dalam bus langgananku dengan sebuah diktat di tangan. Hari ini ada final test, jadi harus datang lebih awal.

"Belajar apa, non?" Seseorang menegurku. Aku mengangkat kepala. Lee Mong Ryong. Dia tersenyum padaku. Senyum yang.... hmm, kali ini hatiku tergetar dalam pesona senyumannya. “Akhirnya kita ketemu lagi. Bagaimana? Sudah baca suratku di koran?” tanyanya sambil duduk di sampingku.

"Sudah. Bahkan, aku sudah melihat kehebatanmu menaklukkan pencopet yang katanya hobi beraksi di bus ini.” Aku balas tersenyum.

“Tapi aku tidak tahu apakah pencopet itu yang sudah mencopet dompetmu. Terlalu banyak tukang copet yang berkeliaran di bus ini!" Keluhnya.

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi.” Aku mengibaskan tangan. “Yang penting, aku sudah tahu kalau kau bukan Pencopetnya. Aku minta maaf ya ‘karena sudah menuduhmu….”

“Sure!” Dia menukas. “Berarti kita sekarang berteman?”

Aku mengangguk.

“Kalau teman, boleh tahu alamatmu?” Matanya mengedip jenaka.

“Tentu, tapi kau harus jawab pertanyaanku dulu. Kau itu masih kuliah atau sudah …,”

“Tinggal skripsi kok. Di Fakultas Teknik Sipil Universitas Shinhwa,” sahutnya lalu menadahkan tangannya. “Adressmu? Malam Minggu besok aku mau ke rumahmu.”

Malam minggu? Aku terlongo. Secepat itu? Oh, papi… hatiku pun bernyanyi (dengan irama lagu ‘Antara Anyer dan Jakarta’ nya Sheila Majid) : Antara Chuncheon aku jatuh cinta…..Antara Chun……cheon Gwangju….,


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.rainlovers86.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar